Bicara tentang AC Milan, puing-puing sejarah masih menjadi topik bahasan paling diminati. Selama nyaris 30 tahun menjadi salah satu kekuatan terbesar di dunia, Milan kini tak lebih dari sebuah perahu kecil yang terombang-ambing ditengah lautan. Lemah, tak berdaya, dan tinggal menunggu kapan harus dilalap amukan sang samudera.
Sebelum klub yang bermarkas di San Siro hancur dibawah kepemimpinan pria tak bertanggung asal Tiongkok, Milan merupakan klub dengan segudang prestasi yang dihuni oleh para pemain top dunia.
Adalah Silvio Berlusconi. Berlusconi mengklaim dirinya sebagai presiden klub tersukses di dunia. Ucapan itu didasarkan pada fakta yang memunculkan AC Milan sebagai klub perebut 29 gelar bergengsi di bawah kepemimpinannya.
Silvio Berlusconi adalah gambaran kesuksesan AC Milan. Wajahnya yang putih pucat tersenyum dan dilengkapi dengan rambut yang tertata rapih, dia tiba dengan menggunakan helikopter pribadinya bak pahlawan. Bermodal kantung tebal dikanan kirinya, Berlusconi dengan gagah “membangun” sebuah industri sepakbola bernama AC Milan.
Sebelum membeli Milan, Berlusconi sudah menjadi jutawan kota Milan yang terkenal karena bisnis real estate-nya. Holding company miliknya, Fininvest SpA, kemudian melebarkan sayap ke bisnis media massa. Lagi-lagi ia untung dan sukses. Bisnisnya ini, terutama televisi kabel, berkembang pesat sehingga pada 1980 mampu membeli hak siar turnamen untuk merayakan 50 tahun Piala Dunia, Mundalito Uruguay. Pada 1984, tiga stasiun televisi berskala nasional pun sukses ia kuasai.
Sementara di pihak AC Milan, kondisi keuangan mereka tengah krisis berat. Giuseppe Farina, yang datang pada tahun 1982 untuk mengangkat Milan dari Serie B dan mengembalikan klub ini ke habitatnya, ternyata tak memiliki kantong tebal seperti yang disangka banyak orang.
Setelah melalui berbagai jalan terjal dan berkat kecerdikan Berlusconi pula, tepat di tahun 1986 pria yang kini berusia 82 tahun itu kemudian menyodorkan dana sebesar 40 juta lira atau setara 97 milliar rupiah, sebagai bukti kepemilikan Milan. Dengan sodoran dana tersebut, Berlusconi pun resmi menjadi presiden ke-20 AC Milan.
Sejak saat itu, rancangan sistem pencetak uang dikepalanya mulai bekerja. Visi Berlusconi untuk mentransformasi klub lebih dari sekadar memenangkan pertandingan dan menyimpan trofi. Dan juga lebih dari sekadar meraih sesuatu yang bisa dinikmati di hari-hari pertandingan saja. Berlusconi ingin AC Milan mewakili gaya hidup. Dengan mengingat hal ini, ia juga mulai melebarkan sayap dengan membuka toko pakaian di dekat Duomo yang terkenal di dunia, dan publikasi majalah “Forza Milan”.
“Milan memang sebuah kesebelasan sepakbola. Tapi itu juga produk yang bisa dijual. Sesuatu yang bisa ditawarkan ke pasar,” jelas Berlusconi mengenai sistemnya dalam menjalankan Milan. (dikutip dari thesefootballtimes)
Berlusconi boleh dibilang inisiator agar klub menjadi bagian dari industri sepakbola modern. Di tangannya, Milan adalah klub yang menerapkan strategi bisnis dan semangat kewirausahaan.
Jika klub Italia lainnya, atau bahkan juga dunia, kala itu masih konservatif, Berlusconi lebih visioner dan agresif. Ia tidak mau jika hanya menghamburkan uang membeli pemain mahal, hanya untuk membeli hati para penggemar. Kepemimpinannya di Milan bukan untuk membuat martabat keluarganya naik tinggi dan tetap di atas. Berlusconi ingin lebih. Milan harus jadi maju secara keuangan.
Nyatanya, langkah yang diterapkan Berlusconi berjalan sangat mulus. Tapi karena kecerdikannya, Berlusconi tak mau dicap sebagai preseiden yang hanya ingin mempertebal kantong sendiri. Dia tak menyangkal bahwa presiden klub harus mau membangun tim guna menjaga keharmonisan dengan para supporter. Jadi, dari sinilah Berlusconi mulai mengumpulkan sejumlah pemain terkenal.
Kala itu, Milan merebut scudetto setahun setelah mendatangkan Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Tapi, prestasi juara pada musim 1987/88 ini hanyalah secuil dari yang diinginkannya. Bagi Berlusconi, ini adalah tonggak awal untuk menjadikan Milan sebagai klub industri dan tim yang berpengaruh dalam sejarah sepakbola.
Dalam kasus ini, lagi-lagi Berlusconi memahami betul bahwa loyalitas suporter tetaplah bermuara pada prestasi klubnya. Apapun akan dilakukan suporter selama klubnya menjadi juara.
Dari awal keberhasilannya di Milan, gelar Liga Champions dua kali berturut-turut di musim 1988/89 dan 1989/90, di bawah kepelatihan Arrigo Sacchi, mulai diamati oleh banyak klub lain. Klub-klub peserta Liga Champions pun berlomba mendatangkan pemain nomor wahid untuk menandingi Milan. Dari gambaran ini, bisa dibilang bahwa sedikit banyak Berlusconi tak cuma membangun Milan, namun juga membangun sepak bola dengan level tinggi di Eropa.
Saat itu, Arrigo Sacchi didapuk sebagai manajer pencetus kesuksesan Milan era Berlusconi.
Mantan pelatih Parma itu mampu mengantar Milan meraih Scudetto (1987/88), Piala Super Italia (1988), Piala Eropa atau Liga Champions (1988/89 dan 1989/90), Piala Super eropa (1989 dan 1990), serta Piala Interkontinental (1989 dan 1990)
Di bawah kendali Sacchi, Milan memiliki pakem empat bek tangguh dalam diri Franco Baresi, Alessandro Costacurta, Mauro Tassotti, dan Paolo Maldini. Keempat bek itu membantu menjaga Giovanni Galli dalam menjaga gawang Milan.
Setelah era keemasan Sacchi terhenti karena sang pelatih harus berpindah jabatan menuju kursi kepelatihan Timnas Italia, Milan menunjuk Fabio Capello sebagai suksesor sang pelatih jenius.
Ketika kali pertama mengambil alih kepelatihan dari Sacchi yang revolusioner, Capello pun sempat diragukan. Namun, berbekal pemain-pemain warisan Sacchi, Capello mampu mengantar Milan meraih Scudetto 1991/92 dengan status tak terkalahkan sepanjang musim.
Setelah itu, Milan kembali berjaya pasca tangan kanan Berlusconi, Galliani, merekrut pelatih Udinese Alberto Zaccheroni untuk mengganti Capello di musim 1998/99. Zaccheroni sukses mengantar Milan meraih scudetto di musim debutnya.
Namun satu sumbangan scudetto tak cukup bagi Zaccheroni untuk bertahan. Usai diselingi beberapa juru taktik yang tak bernasib langgeng, Berlusconi menunjuk mantan gelandang Milan di era Sacchi, Carlo Ancelotti. Ancelotti datang ke Milan sebagai pelatih yang sukses bersama Parma dan Juventus. Ia ditunjuk Berlusconi untuk mengganti Fatih Terim yang dipecat jelang separuh musim 2001/02.
Ancelotti adalah juru taktik sukses Milan di dekade 2000-an. Total tiga final Liga Champions, dimana dua diantaranya berbuah trofi berhasil disumbangkan Ancelotti. Tak hanya itu, pelatih asal Italia juga sukses membawa Milan meraih Scudetto pada musim 2003/04.
Sejak kepergian Don Carlo, sejumlah manajer yang dicap kurang berpengalaman silih berganti mengisi kursi kepelatihan tim.
Ibarat roda yang terus berputar, era keemasan Silvio Berlusconi mulai berada dibawah. Setelah terakhir meraih scudetto di musim 2010/11, Milan dinilai nyaris tak berdetak.
Berlusconi mulai menerapkan apa yang dulu enggan dilakukannya. Milan dikembalikan ke habitat asli klub Italia yang mana dijalankan oleh keluarga dan penopang martabat keluarga. Putrinya yang jauh dari bisnis dan sepakbola disiapkan jadi penerusnya. Barbara Berlusconi yang merupakan lulusan filsafat Vita-Salute San Raffaele University didapuk sebagai Direktur klub pada 2011 dan dipromosikan menjadi CEO pada 2013.
Di era tersebut, Milan mulai menjual sejumlah pemain kuncinya, termasuk Thiago Silva dan Zlatan Ibrahimovic. Setelah mundurnya begitu banyak pemain kunci dan menjual beberapa pemain bintangnya, Milan tak mampu membangun tim yang kompetitif.
Kini, industri sepakbola Inggris yang sempat meniru cara jitu Berlusconi makin maju dan malah berbalik menjadi rujukan klub-klub Italia.
Setelah penantian yang begitu panjang, akhirnya AC Milan secara resmi dijual ke konsorsium Tiongkok pada 13 April 2017. Silvio Berlusconi melalui perusahaannya menjual seluruh saham Milan yang mencapai 99,93%.
Namun hanya semusim berada dikursi kepemimpinan AC Milan, pihak konsorsium Tiongkok langsung terlilit hutang dan melepas status kepemilikan klub kepada manajemen Elliot.
Manajemen Elliott resmi mengambil alih kendali AC Milan setelah Yonghong Li gagal memenuhi kewajiban angsuran utang yang sudah mereka tentukan. Yonghong Li juga gagal menyuntikkan modal sebesar 50 juta euro atau setara 792 milliar rupiah.
Meski kini klub Italia mulai membuka diri dengan menjual tim di tangan asing, Berlusconi tetap yakin, Milan di bawah kendalinya akan selalu menjadi klub industri terbaik yang disegani di seluruh dunia.