Mantan bek Manchester United, Patrice Evra, mengumumkan pensiun sebagai pemain sepakbola profesional. Selama berkarier sebagai pemain, Evra telah memenangkan sebanyak 21 gelar bergengsi dan ditambah dengan catatan 81 caps untuk Tim Nasional Prancis.
Evra dikenal sebagai pribadi yang sangat ceria. Hal itu dibuktikan dengan rentetan video motivasi yang ia bagikan di sosial media pribadinya. Dalam video bertajuk “Monday Motivation“, pria yang kini berusia 38 tahun itu tampil dengan nuansa histeris. Biasanya, Evra berjoget atau sedikit menyanyikan lagu. Dalam aksinya itu, Evra selalu membumbui setiap videonya dengan seruan “I Love This Game”.
Sampai saat ini, media sosial instagramnya sudah memiliki sekitar lebih dari 6 juta pengikut. Seperti biasa, dirinya terus memunculkan sebuah keceriaan pada hampir setiap unggahannya.
Motivasi yang dibagikan Evra di media sosial tampak serasi dengan apa yang sebenarnya ia hadapi. Karier perjalanannya terbilang sudah mendapat pengakuan dari seluruh insan sepakbola dunia.
Semua perjalanan hebatnya dimulai dari Dakar, Senegal. Disana Evra dilahirkan, dan disana pula dia belajar tentang perjuangan hidup. Evra lahir dari keluarga yang tergolong miskin. Karena sulit mendapat pundi-pundi uang, keluarga nya pun akhirnya memilih hijrah ke Prancis. Di Negri Mode, Evra tinggal di wiliayah yang sama dengan mantan penyerang Arsenal, Thierry Henry. Meski tinggal ditempat yang sama, nasib keduanya berbeda.
Evra dibesarkan di jalanan kota yang penuh dengan kejahatan. Dia bahkan kerap dituduh mencuri roti disebuah toko lokal. Namun Evra terselamatkan dengan bakat sepakbolanya. Dia memulai karier di sebuah klub lokal bernama Les Ulis. Namun ia ditolak karena dinilai tidak bisa menjadi seorang penyerang yang baik. Perlu diketahui bahwa dulu posisi Evra adalah sebagai penyerang.
Karena mendapat penolakan dari Les Ulis, Evra akhirnya bergabung dengan CSF Bretigny. Empat tahun bermain disana, Evra langsung menarik minat dua klub ternama, Toulouse dan Paris Saint Germain.
Tepat pada tahun 1997, Evra bergabung dengan Paris Saint Germain. Namun lagi-lagi, Evra ditolak karena gagal menjadi penyerang tajam. Setelah itu, dirinyapun dipulangkan ke CSF Brrtigny. Saat proses kembalinya ke CSF Bretigny itulah, Evra tampil memukau di sebuah gelaran lokal hingga menarik minat pemandu bakat klub asal Italia, Torino.
Namun setelah melakukan trial selama sepuluh hari dengan klub berjuluk el Toro, Evra malah dilego ke Marsala, sebuah klub divisi tiga yang terletak di utara Italia.
Meski saat itu dirinya masih berusia 17 tahun, Evra menunjukkan motivasi berjuang yang amat luar biasa. Keinginannya untuk sukses dijadikannya sebagai sebuah motivasi berharga untuk menapaki perjalanan yang lebih menantang. Berbekal tekad kuat dan semangat berkobar itulah, Evra berhasil menempatkan diri di Italia dengan penuh kepercayaan. Perlu diketahui bahwa saat itu Evra melakukan perjalanan seorang diri dari Prancis menuju Italia. Dirinya hanya bermodal nekat dan hasrat ingin menjadi seorang juara.
Saat tiba di Negri Pizza, Evra yang tidak bisa berbahasa Italia hanya duduk terdiam di stasiun. Dirinya bahkan sempat menangis sambil memanggil nama ibunya. Akan tetapi, ia langsung ingat kalau tujuannya datang ke Italia adalah untuk mewujudkan mimpinya.
Saat itu, Evra harus bersyukur karena bertemu dengan orang asal Senegal yang bermukim di Italia. Dirinya pun lalu meminta orang tersebut untuk mengantarnya ke tempat tujuan. Akan tetapi, Evra tak memahami betul dimana tujuannya itu berada. Dia terus dicerca pertanyaan mengapa tujuannya tak kunjung ditemukan.
Terus melanjutkan perjalanan dengan mental yang mulai terkikis, Evra pun akhirnya sampai ke tempat latihan Marsala. Berhasil menapakkan kaki di Italia setelah mencoba menghindar dari kemiskinan di Senegal dan melakukan perjalanan panjang dari Prancis, Evra merasa sangat bangga.
“Aku tiba di Marsala, sebuah tim di Italia dari kasta ketiga. Mereka menawariku sebuah rumah dan kontrak profesional dan aku langsung katakan oke,”
“Tiba dengan mengenakan baju olahraga dan sandal jepit, aku merasa seperti di surga saat melihat kamp latihan Marsala.” (dikutip dari thesefootballtimes)
Semusim membela Marsala, Evra memainkan sebanyak 27 pertandingan. Dari karier perdana nya di Italia, Evra langsung menarik minat sejumlah klub. Saat itu, Monza datang dari divisi dua untuk menawarinya kontrak.
Namun setelah resmi bergabung dengan Monza, kariernya justru meredup. Pelatih tim saat itu kerap menempatkannya di bangku cadangan dan hanya memberinya sebanyak tiga kesempatan bermain. Setelah kariernya dinilai gagal, Evra lalu putuskan pulang ke Prancis untuk bergabung dengan Nice yang saat itu menjadi klub paling meminatinya.
Dari sinilah, Evra merevolusi kemampuannya dan menampilkan permainan gemilang sepanjang musim. Bisa dibilang, Evra mampu temukan posisi idelanya dari sebuah insiden. Memakai nomor punggung 9 di Nice, Evra dipaksa untuk mengisi pos bek kiri menyusul cederanya pemain yang berada di posisi tersebut.
Setelah bermain setidaknya 15 menit di posisi bek kiri, Evra langsung membuat sang pelatih saat itu, Sandro Salvioni, begitu terkesan. Karena dinilai cocok mengisi pos bek kiri, Evra melawan takdir selama sisa musim untuk menjadi seorang bek. Karena memang punya motivasi tinggi dalam bermain, pujian pun terus hadir.
Berkarier di klub yang bermarkas di Stadion Allianz Riviera, Evra mencatat sebanyak 40 pertandingan hingga menarik minat AS Monaco.
Berada dibawah asuhan Didier Deschamps, Evra semakin matang berada di posisi bek kiri. Meski tampil cukup gemilang selama berseragam Monaco, Evra hanya mampu sumbangkan satu trofi saja, yaitu Piala Liga. Meski begitu, Evra sukses membawa Monaco lolos hingga partai final Liga Champions Eropa di tahun 2004 meski pada akhirnya harus tumbang dari perlawanan FC Porto, yang saat itu dilatih oleh Jose Mourinho.
Setelah melalui berbagai rintangan luar biasa, Patrice Evra akhirnya diminati oleh pelatih MU kala itu, Sir Alex Ferguson. Tepat pada bulan Januari 2006, Evra diboyong ke Old Trafford dengan mahar sebesar 5,5 juta pounds atau setara 102 milliar rupiah.
Resmi menginjakkan kaki di Old Trafford, Evra benar-benar menjadi seorang pria sejati. Dirinya yang kerap berlari kencang dari sisi kiri mampu torehkan prestasi emas di tanah Inggris, bahkan Eropa. Tercatat, Liga Primer Inggris hingga Liga Champions Eropa berhasil ia sumbangkan untuk klub berjuluk The Red Devil.
Bersama Edwin van Der Sar, Rio Ferdinand, Nemanja Vidic, dan Gary Neville, Evra sukses membentuk tembok pertahanan terkuat di seluruh dunia.
Namun, tinta emasnya di seragam kebesaran Manchester United bukan tanpa noda. Sekitar tahun 2011 silam, Evra pernah terlibat kasus dengan Luis Suarez yang saat itu masih membela Liverpool. Setelah keduanya diinvestigasi, Suarez dinyatakan bersalah setelah terbukti melakukan tindak rasis kepada Evra.
Meski menjadi korban dalam insiden ini, Evra sempat memprovokasi Suarez saat timnya, MU, berhasil mengalahkan Liverpool.
Setelah menjalani masa-masa yang begitu luar biasa di MU, karier Evra akhirnya sampai pada lembaran terakhir. Saat MU dinahkodai Louis van Gaal, pelatih asal Belanda itu mendatangkan Luke Shaw yang mana membuat posisinya terancam.
Sebelum akhirnya putuskan hengkang ke Marseille dan bergabung dengan West Ham United, Evra lebih dulu menjadi jawara di Italia bersama klub berjuluk Si Nyonya Tua.
Evra telah menikmati perjalanan panjangnya sebagai seorang pesepakbola. Dia terus berjuang meski lewati jalan terjal dan tak lupa untuk menyebar kebahagiaan dalam situasi apapun.
Terlepas dari kontroversi yang pernah dilakukannya, Evra merupakan salah satu bek kiri terbaik yang pernah ada. Sama seperti apa yang tercantum dalam video motivasinya, Evra selalu berujar, “I love this game.”