Piala Dunia menjadi ajang paling diminati setiap pemain sepakbola. Bisa tampil di turnamen empat tahunan itu merupakan sesuatu yang amat luar biasa. Dalam sejarahnya, Tim Nasional Brasil menjadi negara paling banyak mengoleksi trofi tersebut. Dibawahnya, ada nama Jerman dan Italia yang sukses kumpulkan empat gelar.
Bicara tentang Italia, semua pasti setuju kalau negara ini merupakan penghasil bek-bek super tangguh di dunia. Dimulai dari era Franco Baresi, Giuseppe Bergomi, Mauro Tassotti, Alessandro Costacurta, Alessandro Nesta, hingga Paolo Maldini, semua pemain tersebut merupakan produk asli Negri Pizza. Prestasinya? Tak perlu diragukan lagi.
Namun ada satu nama luar biasa lainnya selain deretan para legenda tersebut. Dia adalah Fabio Cannavaro. Cannavaro disebut sebagai pahlawan Italia setelah sukses antarkan Gli Azzuri rajai persepakbolaan dunia.
Cannavaro muda bermain sebagai gelandang kanan. Namun, ia merasa posisi ini bukan ditakdirkan untuknya. Pemain kelahiran 13 September 1973 akhirnya meniatkan hati untuk bermain sebagai bek tengah. Keputusan itu sebenarnya sedikit mengagetkan, lantaran tinggi badannya tak ideal untuk profil seorang bek tengah.
Sebagai bek tengah, tinggi badan Cannavaro hanya 176 sentimeter, jauh dari ukuran ideal untuk seorang bek tengah kala itu yang identik dengan tubuh tinggi, berbadan besar, dan jago menubrukkan badan. Ketika itu, Cannavaro dianggap terlalu kecil untuk berduel dengan pemain lawan.
Akan tetapi, ia anak yang terlahir dari kerasnya kota Naples. Ia paham makna kerja keras dan bertarung.
Lompatannya saat itu membuat Cannavaro terkenal di kerasnya kota Naples, sebuah kawasan dengan ekonomi rendah dimana sepakbola jalanan menjadi primadona. Fabio Cannavaro, menentang arus seperti ikan salmon, melompat, dan menggapai cita-citanya.
Cannavaro terus memainkan sepakbola jalanan di kota Naples selama bertahun-tahun. Ia menjadi seorang pemain tangguh yang kerap kejutkan lawan dengan skill menempel musuh dan mencuri bola. Dalam benaknya, ia bermimpi untuk bisa membela Napoli suatu saat nanti.
Sepanjang sejarah, Napoli sendiri tergolong dalam klub biasa-biasa saja. Namun, sejak kedatangan Diego Armando Maradona di Kota Naples, klub tersebut menjadi salah satu kekuatan terbesar sepakbola Italia, bahkan dunia. Mereka mendominasi sepakbola Negri Pizza dengan memenangi turnamen Copa Italia, scudetto, hingga Piala Eropa.
Saat Napoli mengalami masa jaya, Cannavaro masih berusia 12 tahun. Ia turut menjadi saksi dari keberhasilan klub yang bermarkas di Stadion San Paolo. Cannavaro kerap menonton pertandingan il Partenopei dan merayakan kemenangan bersama klub idolanya.
Setelah menunggu waktu yang cukup lama, Cannavaro akhirnya punya kesempatan untuk membela Napoli. Namun saat dirinya melakukan debut, masa kejayaan Napoli telah habis. Era Diego Maradona telah berakhir menyusul ditangkapnya sang legenda akibat terjera kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Namun karena sukses tampilkan permainan konsisten, Cannavaro direkrut oleh klub Parma pada musim panas 1995. Kala itu, Napoli mengalami masalah finansial hingga harus menjual aset mudanya.
Tiba di Ennio Tardini pada usia 21 tahun, Cannavaro telah memulai kilau sejarah dalam kariernya. Bersama Parma, Cannavaro tumbuh menjadi bek luar biasa.
Kekurangan dalam hal tinggi badan ia tutupi dengan kemampuan melompat yang luar biasa. Cannavaro juga diberkahi kecepatan, sebuah berkah yang membantunya menyerobot bola dari kaki lawan. Dua kelebihan itu, daya melompat dan kecepatan, dibingkai dengan kemampuan membaca pertandingan.
Lagi-lagi, ia menyadari kalau tinggi badan bisa menjadi masalah, terutama ketika harus menghalau bola dan beradu sundulan dengan pemain lawan yang lebih tinggi. Namun teknik bertahan Cannavaro memang berada pada level elite. Oleh sebab itu, segala situasi genting bisa ditaklukkan dengan sangat baik.
Di Parma, kedatangan Lillian Thuram dan Gianluigi Buffon semakin memperkokoh lini pertahan il Gialloblu. Mereka bertiga sukses membentuk salah satu pertahanan paling ketat di sepakbola Eropa.
Kualitas bertahan Parma saat itu banyak mendapat sanjungan, terutama dengan keberadaan Cannavaro. Bahkan, sebulan setelah jalani laga Internasional melawan Irlandia Utara pada Januari 1997, Cannavaro diikutsertakan oleh pelatih Cesare Maldini kedalam skuat Azzuri yang akan jalani laga kualifikasi Piala Dunia melawan Inggris di Wembley.
Meski saat itu ia ditugaskan untuk mengawal Alan Shearer yang notabene merupakan striker haus gol, Cannavaro sukses redam kehebatan sang penyerang dengan baik. Setelah pertandingan mengesankan itu, Cannavaro terus menjadi andalan Timnas Italia dalam berbagai laga.
Bersanding dengan Alessandro Nesta yang mulai populer dengan Lazio, keduanya membentuk lini pertahanan Italia yang dikenal paling terorganisir, berwibawa, dan tanpa celah. Saat itu juga, baik Cannavaro maupun Nesta langsung diplot sebagai masa depan Timnas Italia untuk beberapa tahun kedepan.
Akan tetapi, hati Cannavaro pernah tersayat setelah tak mampu redam ketajaman David Trezeguet di laga final Piala Eropa tahun 2000.
Kembali ke level klub, Cannavaro terus merasakan kejayaan bersama Parma dengan memborong dua gelar Copa Italia dan Piala Eropa, sebelum akhirnya ia diboyong Inter Milan di tahun 2002. Tahun tersebut juga menjadi sejarah bagi Cannavaro setelah ia diberi mandat untuk gantikan peran Paolo Maldini sebagai kapten Timnas Italia yang putuskan pensiun setelah gagal juarai turnamen empat tahunan di Korea Jepang.
Dengan penuh keyakinan, Cannavaro terus melaju dan tingkatkan kualitas demi bisa menjadi jawara suatu saat nanti.
Waktunya bersama Inter Milan tak berlangsung lama. Cannavaro sempat mengalami kegagalan dan membuatnya direkrut Juventus pada tahun 2004. Kembali bertemu dengan Buffon dan Lillian Thuram, Cannavaro temukan permainan terbaiknya.
Membela panji La Vecchia Signora, Cannavaro sukses berikan dua scudetto secara beruntun, meski pada akhirnya gelar tersebut harus dicabut setelah Juventus terlibat dalam kasus calciopoli. Meski begitu, kualitas Cannavaro tetap tak terbantahkan. Hal itu terbukti saat dirinya mendapat penghargaan sebagai bek terbaik.
Berkat capaiannya itu, Cannavaro akhirnya dipanggil kedalam skuat Italia yang berlaga di Piala Dunia Jerman tahun 2006. Bersama Buffon yang berada dibawah mistar, Cannavaro tampak gagah dengan ban kapten yang melingkar.
Saat itu, Italia dibawah asuhan Marcello Lippi tidak terlalu diunggulkan. Pasalnya, sepakbola Italia sedang dihantam kasus korupsi yang amat memalukan. Tapi, semua yakin jika keajaiban bisa terjadi.
Berada satu grup dengan Ghana, Amerika Serikat, dan Rrepublik Ceko, Italia mampu menjadi jawara grup dengan koleksi tujuh poin. Mentalitas tim saat itu benar-benar menjadi kunci sukses Italia. Mereka menerapkan pola pertahanan disiplin dan melakukan serangan efektif melalui Luca Toni, Incenzo Iaquinta, Alberto Gilardino dan Alessandro Del Piero. Selain itu, peran Gianluca Zambrotta dan Fabio Grosso juga semakin menambah dimensi permainan Italia.
Saat bertemu Timnas Jerman di partai semifinal, Cannavaro tampil begitu memukau. Tim Panser yang diisi pemain-pemain superior soal tinggi badan, mampu diredam dengan sangat baik oleh Cannavaro. Cannavaro dengan kemampuan timing yang tepat beberapa kali memenangkan duel dengan para penggawa Timnas Jerman.
Setelah sukses bawa Timnas Italia menang dengan skor 2-0 melawan tim tuan rumah, Cannavaro semakin bersemangat tampil di final. Pasalnya, ia bakal bertemu Prancis yang dulu pernah menyakitinya di partai final Piala Eropa tahun 2000.
Dengan misi balas dendam, Cannavaro tampil gagah dalam meminpin rekan-rekannya. Ia berkali-kali gagalkan serangan hingga membuat lawan frustasi. Setelah pertandingan berakhir imbang hingga waktu perpanjangan, kedua tim harap-harap cemas dalam drama adu pinalti yang sangat menentukan.
Kala itu, Trezeguet yang sempat menjadi pahlawan Prancis di Piala Eropa, harus berubah menjadi pecundang karena sepakan 12 pas nya gagal menjebol jala Gianluigi Buffon. Italia pun menang dengan skor 5-3 setelah Fabio Grosso menjadi penentu kemenangan Gli Azzuri.
Olympiastadion yang terletak di Berlin menjadi saksi dari perjalanan Timnas Italia dalam meraih gelar juara dunia ketiga, khususnya perjalanan sang defender yang pada akhirnya meraih trofi Ballon D’or, Fabio Cannavaro.
Akibat aksinya yang tangguh menggalang lini pertahanan Italia, dengan hanya kebobolan dua gol selama ajang Piala Dunia 2006, Cannavaro pun dijuluki sebagai “Tembok Berlin”.