Piala Dunia tak pernah lelah untuk terus torehkan cerita istimewa. Momen-momen indah nan bersejarah tak pernah lepas dari tangkapan kamera. Gelaran empat tahunan yang temukan negara-negara terbaik seantero dunia itu kian hari kian dinanti. Satu yang paling membekas di hati tentu gelaran Piala Dunia tahun 2002.
Setelah hanya mengitari benua Eropa dan Amerika, FIFA membuat gebrakan menjelang Piala Dunia 2002. Mereka memutuskan ajang empat tahunan saat itu digelar di Asia. Yang menarik, mereka menjadikan dua negara Asia Timur sebagai tuan rumah, yaitu Korea Selatan dan Jepang.
Turnamen kali ini juga menjadi Piala Dunia dengan stadion terbanyak. Tercatat, FIFA memilih masing-masing 10 stadion dari dua negara sehingga ada 20 stadion di 20 kota berbeda. Terkait peserta, ada dua negara debutan yang saat itu baru merasakan Piala Dunia untuk kali pertama, yaitu Senegal dan Cina.
Dalam edisi tersebut, sejumlah momen unik dan tak terlupakan juga banyak tersaji. Diantaranya, Juara bertahan Prancis yang kalah 0-1 dari Senegal yang baru pertama kali main di Piala Dunia, Jerman yang mencukur habis Arab Saudi dengan gelontoran 8 gol tanpa balas, Ronaldo de Lima yang tampil dengan gaya yang hanya menyisakan sedikit rambut di kepalanya, hingga Timnas Italia yang kalah dalam sebuah tragedi melawan Tuan Rumah Korea Selatan.
Untuk poin terakhir, laga itu menjadikan Piala Dunia 2002 sebagai salah satu gelaran paling kontroversial sepanjang sejarah.
Ketika itu, dibawah panduan Guus Hiddink, timnas Negeri Ginseng jauh mengungguli rekan sesama penyelenggara Piala Dunia 2002. Semasa fase grup, timnas Korea melenggang tanpa satu pun insiden berarti. Korea Selatan menang dengan menyakinkan atas Portugal dan Polandia dan bermain imbang dengan skor 1-1 melawan Amerika Serikat. Memang, ada sedikit kontroversi dalam partai melawan Portugal. Dua anggota skuad Portugal, Beto dan Joao Pinto diusir ke luar lapangan. Namun, saat itu, Korea Selatan memang pantas keluar sebagai kampiun dan menjadi pemuncak grup.
Yang kerap dianggap sebagai pertandingan kontroversial adalah pertemuan Korea Selatan melawan Italia di babak 16 besar, yang dimenangkan Korea Selatan dengan skor 2-1.
Nasib tim nasional Italia di Piala Dunia 2002 silam merupakan sebuah ironi. Bagaimana tidak, tim asuhan Giovanni Trapattoni datang dengan status sebagai salah satu tim yang paling diunggulkan di turnamen. Mereka memiliki liga terbaik di dunia kala itu dalam wujud Serie A Italia dan skuatnya dijejali bintang papan atas sepakbola, yang bahkan namanya tak ada yang tak diketahui publik.
Namun apa yang kemudian terjadi sungguh di luar prediksi.
Italia melalui babak fase grup dengan susah payah. Padahal Paulo Maldini cs hanya harus bersaing dengan tiga kuda hitam, yakni Kroasia, Meksiko, dan tim debutan, Ekuador. Mereka kemudian tersisih begitu dini di babak perdelapan-final, oleh tim yang tak pernah diduga, yakni sang tuan rumah Korea Selatan.
Saat itu keputusan kontroversial wasit membuat Italia menderita di Korea-Jepang.
Semua bermula pada sebuah hari Daejeon World Cup Stadium, 18 Juni 2002. Sekitar 38.588 orang yang memadati stadion tersebut menjadi saksi bagaimana marahnya Italia melihat sederet perlakuan dari Moreno.
Stadion itu benar-benar jadi neraka buat Gli Azzurri. Di tribune, pendukung Korsel dengan tega memasang spanduk ‘Again 1966’ untuk mengingatkan Italia pada memori kelam Piala Dunia 1966. Kala itu, Alessandro Mazzola dan kolega angkat koper di babak penyisihan setelah takluk 0-1 dari Korea Utara.
Saat itu bisa dibilang komposisi Italia juga tidak terlalu sempurna. Tak ada Fabio Cannavaro dan Alessandro Nesta sebagai pelindung Gianluigi Buffon. Mau tak mau, Giovanni Trapattoni menggeser Christian Panucci ke tengah untuk berduet dengan Paolo Maldini. Sementara sisi tepi dihuni Francesco Coco dan Mark Iuliano.
Baru empat menit berjalan, Moreno langsung menghadiahi Korsel tendangan penalti setelah Panucci menjatuhkan Seol Ki-Hyeon di kotak terlarang. Beruntung bagi Italia, sepakan Ahn Jung-Hwan masih bisa dihalau Buffon.
Gli Azzurri kemudian membuktikan bahwa mereka bukan sembarang kesebelan. Italia unggul 1-0 setelah sepak pojok Francesco Totti dikonversi menjadi gol oleh Christian Vieri melalui sundulan. Namun, itulah gol terakhir Italia pada Piala Dunia 2002.
Petaka Italia dimulai di menit ke-88, kala Seol Ki-Hyeon mengoyak jala gawang Buffon. Artinya laga mesti dilanjutkan via babak tambahan. Pada menit-menit darurat itulah peran Moreno yang dicap sebagai wasit paling kontroversial mulai nampak.
Pertolongan pertama diberikannya dengan mengusir Totti di menit ke-103. Trequartista yang sukses membawa AS Roma menjadi runner-up Serie A di tahun yang sama tersebut dianggap melakukan diving di kotak penalti saat berduel dengan Song Chong-gug. Totti dapat kartu kuning kedua dan Italia bermain dengan 10 orang.
Kejanggalan selanjutnya tertuang dalam gol Damiano Tommasi yang dianulir. Keputusan Moreno itu kian bikin Mr. Trap marah bukan main. Puncak dari segala klimaksnya terjadi di menit ke-117. Korsel berhasil mengakhiri laga yang kala itu masih menerapkan sistem golden goal via Ahn Jung-hwan.
Ironisnya, momok Italia itu merupakan penggawa salah satu klub Serie A, Perugia.
Di Italia sendiri, banyak yang menolak mengakui kemenangan Korea Selatan. Bahkan sebagai bentuk balas dendam, status pinjaman Jung-hwan dihapus dari tim Serie A, Perugia. Headline surat kabar Italia tak kalah pedasnya. Giorgio Tosatti, seorang jurnalis sepakbola legendaris Italia, bahkan sampai menulis di Corriere della Sera,
“Italia didepak dari Piala Dunia kotor yang mengubah wasit dan hakim garis menjadi pembunuh bayaran.”
Saat itu, kabar awal yang beredar menyebut jika Moreno memang sengaja menyudutkan Italia, karena dendam timnas negaranya, Ekuador, dikalahkan La Nazionale pada turnamen tersebut hingga gagal lolos dari babak grup.
Selang beberapa saat, beberapa teori konspirasi mengenai pengadil asal Ekuador itu pun mulai marak tersebar. Imbasnya, FIFA segera menyelidiki serangkaian kontroversi yang melibatkan Moreno. Bahkan orang nomor satu di FIFA saat itu Sepp Blatter sampai angkat bicara. Namun baginya, kesalahan yang terjadi di lapangan murni “kesalahan manusia, dan bukan sesuatu yang direncanakan.”
Tentu saja, ucapan Blatter tak serta ditelan mentah-mentah oleh publik sepakbola Italia. Opini yang berkembang di Italia saat itu adalah bahwa pertandingan itu sudah diatur sedemikian rupa agar Korea Selatan bertahan lebih lama dalam turnamen dan kepentingan FIFA di Asia bisa diselamatkan tanpa memerdulikan prinsip fair play sepakbola.
Setelah lolos dari hadangan dari Timnas Italia untuk kemudian bertemu Spanyol, Timnas Korea juga kembali tauai skandal. Beberapa keputusan wasit dianggap merugikan Negeri Matador hingga membuat tim tersebut takluk dari Sang Tuan Rumah.
Setelah terus dilakukan penyelidikan, sekitar tahun 2015 lalu, belasan pejabat asosiasi sepak bola dunia, FIFA, akhirnya ditangkap Kejaksaan Agung Amerika Serikat dan anggota FBI dengan tuduhan pencucian uang, pengaturan skor dan pemerasan. Kejaksaan Agung Amerika Serikat saat itu menyelidiki adanya dugaan pengaturan skor di Piala Dunia 2002.
Beberapa partai di Piala Dunia 2002 mengundang amarah pecinta sepak bola dunia, terutama pertandingan yang dijalani oleh Korea Selatan. Di setiap pertandingan Korea Selatan diduga telah terjadi pengaturan skor.
Mantan wakil presiden FIFA, Jack Warner dituduh menjadi pelaku utamanya. Dia menjadi tersangka utama karena telah menginstruksikan wasit asal Mesir, Gamal Al Ghandour yang memimpin pertandingan Korea Selatan melawan Spanyol, untuk mempermudah Tuan Rumah lolos ke babak selanjutnya.
Lalu, Warner juga mengatur pertandingan Portugal melawan Korea Selatan di babak penyisihan grup. Dirinya menyuruh wasit yang memimpin pertandingan, Angel Sanchez, untuk mengatur skor. Sanchez memberikan kartu merah untuk dua pemain Portugal, yakni Beto dan Joao Pinto dan membuat Korea Selatan menang 1-0 serta keluar sebagai juara grup.
Yang paling kontroversial tentu adalah ketika Warner memerintahkan wasit Bryan Moreno untuk memenangkan pertandingan Korea Selatan melawan Italia.