Sebelum era generasi emas Spanyol pada dekade 2000-an, timnas Spanyol hanya raih satu trofi yakni piala eropa 1964. Kejayaan di piala eropa yang dihelat di negeri sendiri tersebut merupakan pencapaian tertinggi sepak bola Spanyol di abad ke 20.
Setelahnya Spanyol harus menunggu bertahun-tahun lamanya untuk kembali berprestasi di ajang bergengsi. Diluar sepak bola sama suramnya dan Spanyol terus bergejolak saat dipimpin diktator Franco sampai ia meninggal di tahun 1975.
Pada 21 desember 1983, tim nasional sepak bola Spanyol mengejutkan tanah air mereka dan seluruh eropa. Meskipun cerita itu terjadi dalam sebuah pertandingan di stadion Benito Villamarin.
Namun, sebelumnya atau tepatnya pada bulan juli 1982 Spanyol harus menerima kenyataan pahit, tampil kurang menyakinkan mereka harus tersisih di putaran kedua piala dunia 1982.
Itu merupakan turnamen Internasional keempat yang diikuti Spanyol sejak 1964. Dalam rentang waktu tersebut timnas Spanyol absen dalam lima turnamen besar (dua di piala dunia dan tiga piala eropa).
Dan jika pun mengikuti turnamen bergengsi, prestasi mereka hanya mentok sampai di babak grup seperti yang terjadi di piala dunia 1966 dan 1978 serta piala eropa 1980.
Tampil di piala dunia 1982 di kandang sendiri sebenarnya bisa menjadi harapan besar sepak bola spanyol untuk kembali berjaya. Namun sekali lagi, para penggemar si kulit bundar di negara matador kembali dibuat kecewa.
Pelatih yang menukangi La Furia Roja di Piala dunia 1982, Jose Santamaria dipecat dan digantikan oleh mantan juru taktik Real Madrid, Miguel Munoz. Munoz merupakan pelatih kelahiran Madrid yang telah memenangkan 9 gelar la liga dan dua piala champions.
Sejak pertama kali ditunjuk, Munoz berjanji akan membawa kembali Spanyol kepada kejayaan. Tantangan pertama Munoz adalah membawa Spanyol untuk melewati babak kualifikasi piala eropa 1984, yang mana tim matador tergabung bersama Belanda, Irlandia, Islandia dan Malta.
Kemenangan 1-0 atas Islandia membuka perjalanan Mereka di kualifikasi, setelah itu Spanyol ditahan imbang Irlandia di pertandingan kedua. Dalam empat laga berikutnya, Spanyol menang beruntun yang membuatnya berada di puncak klasemen.
Sayang, dalam laga ketujuh, Spanyol harus akui keunggulan tuan rumah Belanda, Gol Houtman dan Gullit kala itu memberi kemenangan 2-1 bagi tim oranye. Kemudian, kemenangan 5-0 Belanda atas Malta di laga terakhir mereka membuat Spanyol berada di ujung tanduk.
Situasi saat itu adalah Belanda yang sudah memainkan laga terakhirnya unggul dua angka atas Spanyol. Andaikan Spanyol menang lawan Malta pun keadaan masih menguntungkan Belanda karena mereka unggul selisih gol yakni +16 dibanding Spanyol yang hanya +5.
Artinya, Spanyol harus menang dengan selisih 11 gol kontra Malta untuk menyalip Belanda dengan keunggulan produktivitas gol.
Malta sendiri merupakan tim terlemah di grup dan menjadi lumbung gol, mereka hanya meraup dua angka saja. Tetapi membuat 11 gol ke gawang Malta bukanlah tugas mudah bagi Timnas Spanyol.
Malta, Meski sempat dikalahkan Irlandia dengan dibobol delapan gol tanpa balas, Sebelum itu, Malta tidak pernah kebobolan sembilan atau lebih dalam 36 tahun sejarah sepak bola mereka.
Di sisi lain, tuan rumah Spanyol juga tidak produktif, dalam tujuh laga sebelumnya, mereka hanya mencetak total 12 gol. Sebelum pertandingan, kiper Malta, John Bonnelo sempat sesumbar bahwa Spanyol tidak akan mampu mencetak banyak gol.
“Spanyol bahkan tidak bisa mencetak 11 gol melawan tim anak-anak.” Ujar John Bonnelo (Dikutip dari Thesefootballthemes).
Lebih dari 19000 penonton memadati Benito Villamarin untuk melihat apakah tim nasional mereka dapat membuat sejarah. Laga berjalan dan Spanyol sempat mendapat hadiah penalti di menit awal. Namun, tendangan 12 pas gagal dikonversi menjadi gol oleh Juan Antonio Senor.
Spanyol baru bisa memimpin di menit 15 melalui Carlos Alonso Gonzalez alias Santillana. Sembilan menit kemudian Malta mencetak gol kejutan lewat Michael Degiorgio. Dua gol tambahan dari Santillana sampai babak pertama selesai tetap saja membuat publik merasa tak yakin Spanyol bisa lolos.
Pasalnya pada babak pertama, selain tiga gol yang mereka ciptakan, Spanyol sebenarnya juga mendominasi pertandingan, menciptakan banyak peluang untuk mencetak gol namun di sia-siakan. Hal inilah yang membuat penggemar merasa pesimis.
Di babak kedua, Timnas Spanyol perlu mencetak gol setiap lima menit jika mereka ingin membuat defisit sembilan gol dan mencapai putaran final piala eropa.
Spanyol memulai babak kedua dengan sempurna. Tampil kesetanan, Rincon membuat gol melalui upaya solo run-nya hanya satu menit setelah babak kedua di mulai. Butuh sembilan menit baginya untuk kembali mencetak gol.
Setelah itu Antonio Macheda mencetak dua gol tambahan hanya dalam waktu dua menit, Sekali lagi Rincon kembali memperbesar keunggulan Spanyol menjadi 8-1 di menit ke-63.
Terus menerus menyerang, Spanyol memaksa para pemain Malta bertahan, hingga gol ke sembilan pun tercipta melalui kaki Santillana pada menit ke-75 yang membuat Quatrick dalam laga tersebut. Tiga menit berselang Rincon membuat Spanyol diatas angin, Gol nya membuat La Roja unggul 10-1.
Seakan tidak mau kalah, Manuel Sarabia menceploskan bola ke gawang John Bonnelo. Pertandingan tersisa 10 menit, hanya masalah siapa yang akan menciptakan gol yang ke dua belas. Dan tepat, predator kotak penalti, Juan Antonio Senor Gomez menggenapkan kemenangan menjadi 12-1 di menit ke 84.
Jelang laga berakhir Spanyol sebenarnya mampu mencetak gol ke-13 melalui Rafael Gordillo namun dianulir oleh wasit. Dan ketika peluit panjang ditiup, ratusan penggemar Spanyol berduyun-duyun dari tribun untuk memeluk pahlawan mereka di lapangan.
Dua pemain Malta, Silvio Demanuele dan Carmel Busuttil menganggap pemain Spanyol memakai doping karena terdapat busa di mulutnya. Selain itu, mereka juga menuduh pemain Malta di bius melalui irisan Lemon saat jeda babak pertama. Tapi, hingga tahun 2018 tuduhan tersebut tidak terbuki.
Keberhasilan Spanyol yang menjadi kemenangan bersejarah dalam sepak bola mereka tersebut tak hanya menjadi duka bagi Belanda yang batal lolos. Namun tentu saja bagi Malta yang terluka berat akibat kekalahan tersebut. Termasuk bagi pemain mereka,Ray Farrugia yang menyebut bahwa kekalahan itu merupakan noda besar dalam karier sepak bolanya.
Keberhasilan membobardir gawang Malta dengan 12 gol selain mengamankan tiket ke piala eropa 1984 juga tentunya menjadi inspirasi bagi generasi timnas Spanyol selanjutnya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di sepak bola.
Di turnamen piala eropa 1984 sendiri Spanyol sanggup masuk ke babak final namun kalah dari tuan rumah Prancis yang diperkuat megabintang Michel Platini.