Saat masih melatih Chelsea, Antonio Conte sempat dibuat terkesan oleh penampilan Victor Moses. Ia menyebut kalau Moses adalah pemain yang amat luar biasa. Saat itu, Moses yang memang dikenal sebagai pemain potensial menjawab tantangan bermain sebagai wing-back dengan baik.
Apa yang dikatakan Conte sebenarnya tidak berlebihan. Sejak usia muda, Moses memang sudah memiliki bakat yang luar biasa. Ia sudah digadang-gadang sebagai pemain besar sejak usia 14 tahun.
Pada 2005, Moses berhasil membawa sekolahnya, Whifgift School, menjuarai FA Youth Cup setelah mengalahkan Grimsby School di babak final dengan skor 5-0. Moses kecil memborong kelima gol tersebut.
Victor Moses lahir di Lagos, Nigeria. Sekilas, boleh dibilang tidak ada yang terlalu istimewa dari seorang Victor Moses. Namun, pemain yang terkenal punya semangat juang tinggi ini sudah membuktikan kualitasnya di sejumlah tim yang dibelanya.
Kebanyakan pesepakbola mungkin memiliki kisah yang tak terlalu manis dimasa muda. Ada yang tumbuh di jalanan, bahkan harus membantu orang tuanya untuk penuhi kebutuhan.
Dalam hal ini, Moses bisa menjadi kisah paling tragis lagi menyayat hati.
Moses lahir dari pria yang bekerja sebagai seorang pastor. Sementara ibunya, hanya memiliki kesibukan membantu ayah Moses untuk menyebarkan agama.
Moses kecil hanya bocah biasa yang mempunyai mimpi menjadi seorang pesepakbola. Sepulang sekolah, ia dengan semangat bermain bola. Tanpa alas kaki dan pengaman apapun. Baginya, bisa menendang bola diantara tawa teman sebaya sudah menjadi sebuah kebahagiaan tiada tara.
Di kawasan tempat nya bermukim, ada dua kelompok besar agama, yaitu Islam dan Kristen. Namun warga Muslim tergolong lebih sedikit ketimbang umat Kristiani. Namun satu hal yang sangat disayangkan adalah, kedua agama tersebut tak pernah akur. Selalu ada gaduh dan riuh tak berirama.
Mereka kerap rusuh dan timbulkan ketidaknyamanan di kalangan warga.
Hingga tepat pada tahun 2002, sebuah kekacauan membuat keluarga Moses menjadi korban.
Saat itu usia Moses masih 11 tahun. Hal buruk disini adalah, ayah dan ibunya tewas dalam kerusuhan besar yang pecah di Kaduna. Kala itu, Moses selamat dari pembantaian karena sedang pergi bermain bola. Sepulang main bola, Moses kecil mendapati kedua orang tua tercinta tewas bersimbah darah.
Hal itu sangat memukul Moses. Bagaimana tidak, seorang bocah berusia 11 tahun mendapati orang tuanya tak bernyawa. Moses tak membayangkan apa yang harus ia lakukan esok harinya, ketika membuka mata tanpa senyum kedua orang yang paling dicinta.
Saat itu, demi menyelamatkan Moses, sang paman langsung membawanya ke London. Di negeri barunya, Moses masuk sekolah menengah Stanley Technical High School dan bermain di Liga Tandridge bersama klub lokal Cosmos 90 FC.
Namun bukan hal mudah bagi Moses untuk beradaptasi. Ia hidup tanpa orang tua dan harus menentukan masa depannya sendiri.
Moses tak putus asa. Melalui sepak bola, Moses terhubung dengan orang-orang disana. Bak ponsel sejuta umat yang memiliki slogan “connecting people”, sepakbola seolah menjadi penyelamat bagi Moses agar tetap terhubung dengan orang-orang disana.
Bermain gemilang dengan Cosmos 90 FC, bakat Moses ditemukan oleh Crystal Palace. Hanya tiga tahun setelah tragedi yang merenggut nyawa kedua orang tuanya, Moses tampil sebagai bintang muda lapangan hijau. Membela tim U-14 Palace dan tim sekolah Whitgift, Moses mencetak lebih dari 100 gol dan membantu Whitgift memenangi banyak kejuaraan sekolah.
Palace bahkan memberikan debut bersama tim senior pada Moses ketika pemain kelahiran 12 Desember 1990 ini masih berusia 16 tahun. Kala itu, manajer Palace, Neil Warnock, memainkannya di laga divisi Championship saat Palace bermain imbang 1-1 menghadapi Cardiff City.
Kemudian, Moses resmi masuk tim senior klub berjuluk The Eagles pada tahun 2007 dan terus menunjukkan perkembangannya dalam mengolah si kulit bundar. Tiga tahun membela Palace, Moses pindah ke Wigan Athletic, lalu beruntung jadi salah satu punggawa salah satu klub papan atas Inggris, Chelsea.
Moses banyak diminati karena tergolong kedalam pemain serba bisa. Ia tak ragu untuk mempelajari posisi baru yang diberikan padanya. Mengawali karier sebagai penyerang, Moses lebih ingin bermain sebagai gelandang tengah, di mana ia mengidolai Zinedine ZIdane dan Frank Lampard. Namun kecepatan yang ia miliki membuatnya kerap ditempatkan di sisi sayap.
Namun sayang saat berada di Chelsea, ia gagal mencuri perhatian Jose Mourinho. Dari awal kedatangan Mou, yang merupakan periode kedua menangani Chelsea, Moses langsung berstatus pinjaman.
Lalu sampailah Moses pada era Antonio Conte. Moses menjadi andalan Conte di sisi kanan Chelsea dalam skema 3-4-3. Hal tersebut membuktikan bahwa bersama Conte, Moses akan memiliki banyak kesempatan untuk membuktikan kualitasnya. Apalagi jika tanpa ada dirinya, bisa jadi Conte akan kesulitan menerapkan skema tiga bek andalannya di Chelsea.
Memang, karier Moses tak terlalu bersinar di kompetisi liga. Namun, winger bertubuh kekar ini sudah jadi langganan masuk tim nasional Inggris. Pemain bertinggi badan 177 cm sempat bermain untuk timnas Inggris U-16, U-17, U-19, dan U-21, serta berhasil mencetak 11 gol dalam kurun waktu tahun 2005 hingga 2010.
Pada tahun 2011, Moses membuat keputusan besar. Ia memilih Nigeria, yang merupakan tanah kelahirannya, sebagai negara yang ia bela di level internasional. Moses berhasil membawa tim berjuluk The Super Eagles mengangkat trofi Piala Afrika 2013.ÂÂÂ
Sempat dipinjamkan ke beberapa klub, Moses kini memulai petualangan bersama klub Turki, Fenerbache.
Victor Moses, adalah nada-nada indah dalam karya sepakbola, yang tetap berirama tanpa ada pemegang biola diatasnya.