Untuk semua yang tidak percaya akan kutukan, itu sah sah saja. Namun jika diminta untuk menceritakan tentang bagaimana rasanya bila tidak bisa memenangkan gelar selama 100 tahun akibat sebuah sumpah serapah, seluruh anggota klub Benfica bisa jadi yang paling tahu.
Pasca menjadi jawara Eropa ditahun 1962, Benfica tak pernah lagi memenangkan final kejuaraan Eropa apapun. Kabarnya, itu merupakan kutukan dari pelatih yang pernah mengukir tinta emas di klub asal Portugal tersebut.
Bela Guttman, pelatih terakhir yang berhasil membawa Benfica merajai kawasan domestik dan Eropa. Namun, ia pula yang menutup kesuksesan tersebut.
Bela Guttmann merupakan Yahudi kelahiran Budapest yang saat itu masih merupakan bagian dari Austria-Hungaria pada 1899. Dengan kata lain, Guttmann telah melewati dua perang dunia selama hidupnya. Melewati dua perang besar ditambah sempat masuk dalam kamp milik Nazi jelas berpengaruh bukan hanya dari segi karier, tapi juga mental.
David Bolchover, penulis kelahiran Inggris, yang menulis biografi Guttmann, Greatest Comeback: From Genocide to Football Glory, menceritakan bagaimana Guttman bertahan di Hungaria sembari bersembunyi di atap sebelum tertangkap dan dimasukkan ke kamp. Guttmann lolos setelah melompat dari jendela dapur kamp tersebut. Setelah lolos dari cengkraman dan ancaman Holocaust, Guttmann melatih kesebelasan Hungaria, Vasas SC.
Kala masih menjadi pemain, Guttmann memang tak begitu terkenal. Saat mudanya Guttmann hanya bermain 4 kali bersama Tim Nasional Hungaria. Selain di kesebelasan Torekves SE dan MTK Hungaria, Guttman bermain di luar negara kelahirannya, namun tak sekali pun ia pernah bermain di kesebelasan ternama Eropa.
Tercatat, Ia hanya memperkuat beberapa kesebelasan eksekutif Yahudi seperti Hakoah Wien (Austria), New York Hakoah, dan Hakoah All-Stars (Amerika Serikat).
Meski begitu, Guttman dikenal sebagai sosok pelatih yang amat jenius. Bahkan, strateginya untuk mempertahankan skuat terbaik agar tetap langgeng sampai ditiru oleh pelatih sekaliber Sir Alex Ferguson dan Pep Guardiola.
Bagi Guttman, melatih sebuah kesebelasan akan temui masa sulit ditahun ketiga. Itu mengapa Ferguson selalu melakukan perombakan setiap tiga tahun untuk menjaga “kesegaran” tim. Pun dengan Pep Guardiola yang selalu memunculkan bakat-bakat muda yang siap berkembang dalam tempo tiga tahun sekali.
“Saat musim pertama, pelatih bekerja dengan tenang, musim kedua lebih sulit, dan yang ketiga fatal.” ucap Guttman (dikutip dari Thesefootballtimes)
Strategi itu pula yang pada akhirnya membuat Guttman melatih banyak klub di berbagai belahan dunia. Tercatat Guttman menangani total 25 klub. Dua di antaranya ia tangani selama dua kali yakni Porto dan Benfica. Dari 25 klub tersebut empat di antaranya dilatih Guttmann sebelum Perang Dunia Kedua. Beberapa klub populer yang pernah ditanganinya adalah AC Milan, FC Porto, hingga Benfica.
Perjalanannya di Milan bahkan membuat Guttman harus dipecat lebih cepat, padahal saat itu ia mampu membawa Milan berada di puncak klasemen. Mulai dari situ, ia selalu menjalin kontrak dengan klub yang tak akan memecatnya meski kesebelasan sedang berada diatas klasemen.
Dari lebih dari 20 kesebelasan yang pernah ia latih, Benfica menjadi yang paling membekas. Seperti apa yang sudah disinggung, selain memberikan prestasi mentereng untuk klub tersebut, semua orang juga tidak akan pernah lupa dengan sumpah serapah sang pelatih yang membuat klub tak mampu angkat trofi di belantika sepakbola Eropa selama 100 tahun.
Saat itu, Gutmann didatangkan ke Benfica dari rival abadi mereka, FC Porto. Tak sampai disitu, Gutmann kembali membuat banyak orang mengernyitkan dahi soal keputusannya yang melepas setidaknya 20 pemain.
Meski begitu, keputusan Guttman terbukti ampuh. Merombak hampir keseluruhan skuat, Guttman berjaya dengan satu pemain andalannya, Eusebio, yang hingga kini masih dikenal sebagai salah satu pesepakbola terbaik sepanjang sejarah.
Bersama Eusebio, Gutmann membawa Benfica menjuarai Eropa sebanyak dua kali secara beruntun, yakni pada tahun 1961 dan 1962. Tidak main-main, kesebelasan yang dikalahkan Benfica pada final Piala Eropa itu adalah dua raksasa Spanyol. Barcelona pada 1961 dan Real Madrid pada 1962.
Tak ada yang menyangkal kegemilangan Benfica di awal tahun 60-an itu. Bersama Eusebio, Jose Aguas, Jose Augusto, Costa Pereira, Antonio Simoes, Germano, dan Mario Coluna, Guttmann telah mengubah Benfica yang berisi pemain lokal menjadi kekuatan baru di Eropa kala itu.
Kesuksesan itupun membuat Guttmann meminta untuk menaikkan gajinya. Setelah pulang dari Amsterdam, kota final European Cup 1962, Guttmann mengadakan pertemuan dengan presiden baru Benfica, Antonio Carlos Cabral Fezas Vital.
Namun permintaan yang dianggap tak masuk akal ditolak mentah-mentah oleh manajemen Benfica. Guttmann tersinggung, lalu muncullah kalimat yang mungkin bertahan hingga 100 tahun kedepan.
“Tidak dalam seratus tahun dari sekarang, Benfica akan menjadi juara Eropa,” (dikutip dari Thesefootballtimes)
Ia mengutuk Benfica tidak akan menjadi juara Eropa selama 100 tahun. Kutukan yang konon masih melekat di Benfica hingga hari ini.
Setelah ditinggal Guttmann, Benfica memang tetap bisa menembus partai final European Cup. Tahun itu, mereka bertemu dengan AC Milan di Wembley. Namun mereka kalah tipis dengan skor 2-1.
Setelah itu, Inter menjungkalkan mereka dua tahun kemudian, Skuat Manchester United meraih kemenangan dramatis di Wembley melalui extra-time pada 1968, PSV menjadi juara lewat penalti pada 1988 dan akhirnya AC Milan kembali memupus impian Benfica pada 1990.
Jika kutukan ini benar adanya, maka Benfica harus menunggu sampai tahun 2062 untuk kembali merajai Eropa.
Guttmann sendiri meninggal pada 28 agustus 1982, atau sembilan tahun setelah memutuskan pensiun. Sosoknya abadi dikenang. Untuk menghargai jasa sang pelatih, di stadion Benfica terdapat patung yang menggambarkan Guttmann sedang memegang dua Piala Champions.