Gian Piero Gasperini masih menjadi tajuk paling menarik dalam persepakbolaan Italia. Pria asal Negri Pizza menjadi yang paling menawan dibalik bendera Atalanta.
Saking melambungnya nama sang pemegang permainan, membuat ia diangkat sebagai warga kehormatan kota Bergamo. Itu berkat kesuksesannya membawa Atalanta ke final Copa Italia musim lalu dan menggiring klub tersebut ke pentas Liga Champions Eropa untuk kali pertama.
Sebagai informasi, Bergamo adalah kota tempat klub Atalanta berasal. Adapun Gasperini sudah melatih klub berjuluk La Dea itu selama empat musim. Setelah di dua musim sebelumnya ia berhasil membawa Papu Gomez dan kolega mentas di Liga Europa, kali ini ia sukses membawa prestasi tertinggi dalam sejarah klub, yaitu Liga Champions.
Oleh sebab itu, untuk menghargai jasanya, dewan kota Bergamo pun memberi gelar sebagai warga kehormatan. Ini menjadi penghargaan tertinggi yang diberikan dewan kota untuk warganya.
“Ini suatu kehormatan besar dan aku sangat bangga. Menerima pengakuan ini adalah menjadi kelanjutan ikatan yang sudah terbentuk dengan kota Bergamo, orang-orangnya, dan tentu saja penggemar Atalanta,”
“Aku pikir penghargaan ini menjadi sesuatu yang melampaui hasil dalam olahraga. Ini hadiah yang sangat penting dan mulai hari ini aku bahkan punya lebih banyak tanggung jawab. Tidak hanya di sepak bola, tapi juga di kehidupan pribadiku sebagai seorang pria,” ungkap Gasperini (via football-italia)
Status sebagai warga kehormatan kota Bergamo yang diberikan kepada pelatih berusia 61 tahun ini terbilang menarik. Pasalnya dia bukanlah warga asli Bergamo, melainkan Turin.
Gasperini memang layak disebut sebagai pelatih paling berjasa dalam sejarah Atalanta. Satu tiket ke kompetisi Liga Champions Eropa jelas menjadi alasannya. Apalagi, Atalanta dibawah asuhannya mampu membombardir perlawanan “raksasa Eropa”, AC Milan, dengan skor yang sangat telak.
Gian Piero Gasperini yang datang ke Atalanta pada 2016 berstatus bukan siapa-siapa. Ia hanya mantan pelatih tim medioker, Genoa. Namun jangan salah, performanya di Genoa dulu seolah menjadi pertanda bahwa sorot matanya akan selalu tertuju pada hal-hal yang luar biasa.
Saat itu, pada musim 2014/15, Gian Piero Gasperini berhasil membawa Genoa bercokol di posisi ke 6 klasemen akhir. Musim tersebut pun menjadi yang terbaik baginya saat menangani Atalanta, setelah beberapa musim lainnya hanya bercokol di posisi ke 10 klasemen akhir. Pada 2014/15, Gasperini bisa dibilang benar-benar melakukan transfer dengan sangat efektif.
Lini depan musim tersebut mengalami perombakan yang cukup besar, hampir seluruh pemain depan mereka di musim sebelumnya tidak memperkuat lagi Genoa. Giuseppe Sculli, Emmanuele Calaio dan Moussa Konate kembali dari masa pinjaman mereka ke klub masing-masing. Sedangkan Antonio Floro Flores dan Alberto Gilardino dijual ke klub lain.
Saat itu, Gasperini bergerak cepat dengan mendatangkan dua pemain penting, yakni Alessandro Matri dan Mauricio Pinilla. Dua pemain ini memiliki kontribusi besar dalam mengangkat performa Genoa.
Lalu, transfer Diego Perotti dari Sevilla pun terbilang tepat. Sang pemain bisa melengkapi sisi penyerangan Genoa dalam formasi 3-4-3 favoritnya. Peminjaman Facundo Roncaglia dari Fiorentina juga tak boleh dilupakan, pemain asal Argentina ini menjadi andalan Gasperini dalam formasi tiga bek bertahan. Bersama Sebastian Di Maio dan Nicolas Burdisso mereka berhasil membuat pertahanan kokoh didepan Mattia Perin.
Selain masalah transfer, penerapan berbagai variasi permainan seperti 3-5-1-1, 4-5-1, serta 3-4-2-1, juga dianggap sangat brilian.
Yang tak kalah penting tentu tentang konsistensi permainan. Pola permainan yang diterapkan Gasperini selalu seimbang. Para pemain mendapatkan porsinya sendiri, sehingga mampu ciptakan peluang secara maksimal.
Meski dalam CV nya sempat mengalami periode buruk di Inter Milan, Gasperini tak patah arang. Saat ditarik Atalanta dari Genoa, ia coba manfaatkan pemain yang ada. Tercatat, ia resmi ditunjuk sebagai pelatih utama Atalanta pada 14 Juni 2016.
Namun, Atalanta bukanlah Genoa atau Inter. Klub itu bukan juga Palermo yang dibawa Gasperini ke jurang degradasi pada musim 2012/13. Bersama Gasperini, Atalanta menjelma sebagai kekuatan yang ditakuti di Liga Italia.
Kendati demikian, musim pertamanya tidak berjalan mulus. Dari empat laga awal Serie A 2016/17, Atalanta selalu kalah. Rumor pemecatan dini pun berembus kencang. Gasperini takut kejadian sewaktu di Inter terulang.
Akan tetapi, Gasperini bersyukur mempunyai bos klub seperti Antonio Percassi. Kepada pemain-pemain Atalanta, Percassi mengatakan bahwa ia masih percaya Gasperini.
Kepercayaan itu nyatanya membuat Gasperini semakin percaya diri dalam melatih. Para pemainnya pun semakin percaya pada kemampuan Gasperini. Di musim 2016/17, Atalata memeroleh kemenangan pertamanya saat bertandang ke markas Crotone.
Meski sempat diwarnai kartu merah yang diterima Franck Kessie pada menit ke-62, Atalanta mampu melibas tuan rumah dengan skor 3-1 lewat gol yang dicetak Andrea Petagna, Jasmin Kurtic, dan Alejandro Dario Gomez. Setelah hasil melawan Crotone itu, Atalanta mencatatkan delapan kemenangan dan satu hasil imbang pada sembilan laga selanjutnya.
Performa Atalanta pun terus menanjak, meskipun juga diselingi kekalahan. Atalanta kemudian mengakhiri musim 2016/17 dengan finis di posisi ke-4. Musim selanjutnya tidak terlalu mulus bagi Gasperini dan Atalanta. Meskipun begitu, mereka masih bisa finis di posisi ke-7 pada akhir musim.
Di musim 2018/19, sejarah itu tiba. Atalanta berhasil menorehkan sejarah ke Liga Champions untuk kali pertama sejak klub berdiri pada 1907. Atalanta menang 3-1 atas Sassuolo pada laga pamungkas Serie A 2018/19. Mereka pun mengakhiri musim itu dengan finis di posisi ke-3 dan otomatis lolos ke Liga Champions 2019/20.
Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah, Gasperini menjadi pelatih yang mampu memaksimalkan talenta-talenta mudanya. Nama-nama yang pada akhirnya menjadi bintang tentu, Mattia Caldara, Andrea Conti, Roberto Gagliardini, Leonardo Spinazzola, dan Andrea Petagna.
Karenanya tak heran para pemainnya kemudian dibeli kesebelasan lain, termasuk Gagliardini dan Alessandro Bastoni yang dibeli Inter, atau Franck Kessie dan Conti yang diboyong AC Milan.
Berkat penjualan pemain-pemain akademi, Atalanta pun akhirnya memiliki dana yang cukup untuk membeli stadion Atleti Azzuri d`Italia pada pertengahan 2017 lalu.
Menurut data yang diambil dari italianfootballTV, Atalanta hanya melakukan pembelian pemain senilai 6,7 juta euro atau setara 104 milliar rupiah, dan berhasil mendapat ganti hingga 180 juta euro atau setara 2,8 triliun rupiah.
Pada musim ini, kejeniusan Gasperini di Atalanta masih terus berlanjut. Laga melawan Udinese pada giornata ke-9 Serie A 2019/20 menjadi bukti bahwa mereka masih bertaji. Bertanding di Stadion Gewiss, pada Oktober 2019, tak tanggung-tanggung, Atalanta mengalahkan Udinese dengan skor telak, 7-1.
Kemenangan tersebut mengulang prestasi Atalanta pada Juni 1952 saat mereka menang dengan skor yang sama ketika melawan Triestina.
Sekali lagi, jangan lupakan pula kemenangan besar melawan AC Milan.
Di kompetisi Liga Champions sendiri, Atalanta secara mengejutkan mampu menjadi salah satu tim yang lolos dari fase grup. Dibalik kesuksesan klub asal Bergamo, tentu ada sosok Gian Piero Gasperini. Ia benar-benar menjadi bagian penting bagi armada La Dea, saat mencetak sejarah selama 112 tahun klub ini berdiri.
Atalanta meraih kemenangan dalam laga terakhir Grup C Liga Champions 2019/20, saat jumpa Shakhtar Donetsk. Melawat ke OSK Metalist Stadion, markas Shakhtar, Josip Ilicic cs sukses menggilas tuan rumah 3-0, pada Desember 2019.
Tiga gol kemenangan Atalanta dicetak masing-masing oleh Timothy Castagne, Mario Pasalic, dan Robin Gosens. Berkat hasil tersebut, Atalanta berhak menggenggam satu tiket menuju fase knock out tahap pertama.
Sungguh, tak ada yang menyangka bahwa tim sekelas Atalanta mampu menorehkan sejarah di kompetisi elite Benua Biru. Apalagi, mereka sampai bisa memenangkan persaingan dengan Dinamo Zagreb atau Shakhtar, yang notabene sudah punya pengalaman tampil di ajang ini.
Gasperini pun mengaku tak bisa tenang saat Gosens mencetak gol ketiga kemengan Atalanta. Tapi baginya, dalam sebuah pertandingan terkadang akan ada takdir yang tercipta. Gasperini mempersembahkan keberhasilan ini bagi kota Bergamo, fans, dan tentunya sepakbola Italia.
“Sejujurnya, aku tidak merasa tenang sampai tercipta gol ketiga. Itu pertandingan sulit. Tapi terkadang, ada sebuah takdir,”
“Kami sangat senang melakukan ini, untuk kota Bergamo, untuk fans, dan untuk sepakbola Italia. Kami menunjukkan gaya bermain kami bisa sukses di Eropa. Kami percaya bahwa kami punya kesempatan untuk membuat sejarah. Kalian hanya perlu mengambil kesempatan ini, dan kami melakukannya dengan cara yang terbaik,” ujarnya (via football-italia)
Untuk semua keberhasilan yang telah diraih, Atalanta layak mematenkan nama Gasperini sebagai legenda.
Penyerang sekaligus kapten Atalanta, Alejandro Gomez, bahkan sadar betul bahwa tanpa tangan dingin pelatih mereka, Gian Piero Gasperini, situasi macam ini tidak akan terjadi. Gasperini tak hanya berperan krusial dalam meracik taktik, tapi juga menggenjot mental pemain.
Dalam racikan Gasperini, Gomez berperan sebagai kreator serangan. Ia memang bukan pemain yang paling banyak mencetak gol, namun bukan berarti ia tak punya peran krusial. Kepemimpinan, gaya bermain, serta umpan-umpan kunci yang ia ciptakan, jelas menjadi salah satu alasan mengapa Atalanta tampil begitu superior.
Secara keseluruhan, agresivitas dan fleksibilitas yang diterapkan Gasperini begitu disukai oleh Gomez. Bukan hanya karena memang cocok dengan karakter bermainnya, tapi juga karena Gasperini tidak pernah memberikan beban berlebihan kepada para pemainnya, termasuk nama-nama senior.
Kini, kita tinggal menunggu, sampai mana perjuangan dan pembuktian kualitas penggawa Atalanta, dibawah arahan Gian Piero Gasperini.