Nama RB Leipzig mungkin tak sepopuler Bayern Munchen, Borrusia Dortmund, Schalke 04 atau Bayer Leverkusen. Wajar saja karena dalam kancah sepakbola Jerman, RB Leipzig hanyalah klub yang baru berusia seumur jagung.
RasenBallsport Leipzig atau lebih dikenal sebagai RB Leipzig, adalah klub asosiasi sepakbola jerman yang berbasis di Leipzig, sebuah kota yang terletak di Jerman bagian timur.
RB Leipzig didirikan pada 19 mei 2009 oleh inisiatif pembuat minuman energi Red Bull, Dietrich Mateschitz, yang membeli hak tim divisi kelima,SSV Markranstad.
Mateschitz membeli klub tersebut karena ingin memajukan sepakbola di wilayah jerman bagian timur. Ia juga memiliki target untuk mempromosikan klub baru tersebut ke kasta teratas sepakbola jerman dalam waktu 8 tahun.
Pembelian tersebut membuat Red Bull berhak mengganti nama, lambang dan jersey klub. RB Leipzig terbentuk dengan budget transfer 100 juta Euro atau setara 1,4 triliun rupiah. Angka fantastis ini pun membuat klub ini merangkak musim per musim sampai berada di Bundesliga.
Sebelum menjalani musim di Bundesliga, RB Leipzig harus bermain di divisi kelima liga jerman. Hanya satu musim berada di divisi kelima, mereka langsung promosi ke divisi keempat dengan status juara divisi kelima.
Bermain di divisi 4 pada Musim 2010/11 dan 2011/12, RB Leipzig selalu gagal promosi. Barulah pada musim 2012/13, mereka berhasil naik level ke divisi 3 liga Jerman setelah menjadi juara di kompetisi tersebut.
Hanya butuh dua musim bagi RB Leipzig berkompetisi di divisi ketiga, musim selanjutnya mereka berhasil naik ke Bundesliga 2. Untuk naik ke Bundesliga Jerman, RB Leipzig harus berjuang lagi-lagi selama dua musim. Setelah pada musim 2014/15, hanya finish di posisi kelima. Barulah pada musim 2015/16 mereka naik kasta ke Bundesliga setelah finis sebagai runner up Bundesliga 2.
Musim 2016/17 menjadi awal bagi klub yang bermarkas di Zentralstadion tersebut bermain di salah satu kompetisi terbaik di eropa. Sebagai tim debutan, penampilan RB Leipzig sangat mengejutkan banyak pihak. Mereka tak terkalahkan dalam 13 pertandingan awal liga dan mencatat rekor sebagai tim promosi pertama yang melakukannya.
Di akhir musim itu, RB Leipzig bercokol di posisi runner up di bawah FC Bayern dengan koleksi 67 poin setelah meraih 20 kemenangan, 7 hasil seri, dan 7 kekalahan. Mereka pun berhak atas tiket ke Liga Champions Eropa.
Atas hasil itu, RB Leipzig menjadi tim debutan Bundesliga pertama sejak jerman bersatu yang lolos ke kompetisi eropa. Atau yang pertama dari area bekas Jerman timur setelah Union Berlin pada tahun 2002. Kelolosan mereka ke liga champions dirayakan lebih dari 30.000 penggemar.
Tangan dingin sang pelatih Ralph Hassenhuetl, telah banyak memunculkan para pemain yang tampil gemilang di musim itu, Salah satunya adalah striker muda, Timo werner. Berkat sinar terangnya bersama RB Leipzig Werner pun dipanggil untuk memperkuat timnas jerman.
Pada musim selanjutnya. RB Leipzig kembali tampil menjanjikan. Sempat kalah dari Schalke 04 di laga pertama, Leipzig mengamuk di laga kedua dengan menaklukkan Freiburg 4-1.
Penampilan memukau RB Leipzig tidak sampai disitu, pada oktober 2017 mereka mengalahkan Dortmund 3-2 di kandangnya. Sebelum musim berakhir mereka sempat mengalahkan Bayern munchen dengan skor 2-1. Di akhir musim mereka cuma menduduki peringkat ke 6 Bundesliga.
Sementara musim pertamanya bermain di liga champions, RB Leipzig tak mampu berbuat banyak. Mereka gagal lolos dari fase grup karena hanya menempati peringkat ketiga grup G di bawah Besiktas dan FC Porto. Dan harus terlempar ke Europa League.
Pada musim 2018/19 RB Leipzig menyelesaikan musim Bundesliga di posisi ke-3, dengan total 66 poin. Di musim yang sama klub yang khas dengan Banteng ini lolos ke final DFB Pokal untuk pertama kalinya. Sayang mereka harus akui kehebatan FC Bayern dengan skor telak 3-0.
Sebagai tim muda, prestasi yang di torehkan RB Leipzig terbilang sangat luar biasa, dalam tiga musim pertamanya di Bundesliga mereka mampu merepotkan bahkan mengalahkan tim-tim tua seperti Eintracht Frankfurt, Hamburger SV, Herta Berlin, Dortmund, Hannover 96 bahkan Bayern Munchen.
Namun terlepas dari kehebatan klub berkostum putih merah tersebut, ternyata mereka sangat di benci oleh publik sepakbola jerman. Mengapa ?
Kata “RB” adalah alasan pertama kenapa tim ini dibenci. RB yang merupakan singkatan dari Rasenballsport sendiri adalah cara Leipzig untuk menyembunyikan sponsor dalam nama klub.
Penggunaan sponsor dalam nama klub dilarang oleh asosiasi sepakbola Jerman. Akhirnya, klub berusaha menutupi pemilik utama dengan menyingkat nama jadi RB yang bisa berarti Red Bull dan Rasenballsport.
Padahal, asosiasi sepakbola Jerman melarang adanya investor besar untuk memiliki sebuah klub. Dengan peraturan 50+1, di mana saham mayoritas harus dimiliki oleh anggota klub. Selain itu, hanya investor yang sudah bersama sebuah klub selama lebih dari 20 tahun yang dapat melewati peraturan 50+1 ini.
Sementara Red Bull tidak pernah membuat investasi di Liga Jerman. Kita semua tahu bahwa Red Bull memang identik dengan Olahraga namun bukan di sepakbola.
50+1 ini memungkinkan sebuah klub memiliki investor ramai yang bisa datang dari suporter. Misalnya saja Borussia Dortmund yang memiliki 139.000 anggota atau ‘investor’ yang memiliki hak veto untuk ikut membuat keputusan, seperti harga tiket stadion. Dortmund hanya mematok 62 Euro atau setara 877.000 rupiah per tahun.
Kehadiran Red Bull di Leipzig memang tidak melanggar aturan “50+1”. Akan tetapi mereka memanipulasi aturan tersebut sehingga menimbulkan kontroversi dan kemarahan di seantero Jerman.
Leipzig diketahui tetap memiliki anggota klub yang menguasai 51 persen saham klub, namun cuma berisikan 17 orang yang seluruhnya merupakan pegawai Red Bull. Tiap anggota diharuskan membayar 800 euro atau sekitar Rp 12,8 juta per tahun. Jumlah tersebut dua belas kali lipat lebih mahal dari iuran anggota klub di Dortmund yang hanya 62 euro per tahun.
Sejumlah pihak, mulai dari fans hingga petinggi klub lain, sepakat menyebut Leipzig sebagai sebuah alat marketing dari Red Bull. Hal ini dikhawatirkan bisa merusak nilai-nilai sepakbola Jerman yang berpegang kuat pada tradisi dan keberpihakan pada para suporternya.
“Mereka [RB Leipzig] melakukan hal yang sangat bagus dari aspek olahraga. Tapi klub itu dibangun untuk meningkatkan pendapatan Red Bull, tidak lebih dari itu,” ujar CEO Die Borrusen Hans-Joachim Watzke. (Dikutip dari BBC)
Perjalanan RB Leipzig di kancah sepakbola memang bak meteor. Mereka begitu cepat melesat dari divisi antah berantah hingga bersaing di papan atas Bundesliga.
Melihat apa yang diraih RB Leipzig dan bagaimana cara-cara yang Leipzig tempuh tersebut secara otomatis menimbulkan kemarahan dari hampir seluruh Jerman. Sepuluh tahun berlalu sejak kemunculan RB Leipzig, banyak klub yang menolak untuk bertanding melawan mereka, bahkan di laga persahabatan.
Di Bundesliga, suporter Borussia Dortmund adalah yang paling kencang menyuarakan keberatan mereka. Pada musim 2016/17, suporter Dortmund memboikot laga tandang ke Leipzig dan lebih memilih untuk menyaksikan laga tim junior.
Kemudian, ketika RB Leipzig bertandang ke Signal Iduna Park, sebagian suporter garis keras Dortmund pun menyerang suporter Leipzig di stasiun kereta.
Fans dari Hallescher FC, sebuah klub yang berjarak sekitar 45 km dari Leipzig, memiliki sebuah kaus khusus untuk menyindir RB Leipzig yang bertuliskan “Tradition Hat Einen Namen” yang berarti “Tradisi Memiliki Nama”.
Hallescher FC sendiri secara historis memiliki rivalitas sengit dengan FC Magdeburg. Namun semenjak kehadiran RB Leipzig, terjadi pergeseran peta kebencian.
“Kini, kami lebih membenci RB. Sebuah klub merupakan warna dan identitas [dari pendukungnya]. Tapi mereka hanya berdasarkan uang,” tutur salah seorang suporter Hallescher FC (Dikutip dari Goal).
Jika Hellescher FC dan juga klub-klub lain di Jerman bersikap antipati, tentu tak terbayangkan betapa bencinya Lokomotive Leipzig, klub tertua di Kota Leipzig, terhadap RB Leipzig.
Sementara itu pada pertandingan di ajang DFB Pokal 2016, tuan rumah Dynamo Dresden membuat ‘sambutan’ bagi klub yang dibenci. Sepotong kepala banteng dilempar ke tepi lapangan dalam stadion sebelum bertanding melawan RB Leipzig.
Kebencian itu memang datang dari supoter dan petinggi klub lain yang menilai RB Leipzig telah merusak nilai-nilai tradisional klub Jerman. Akan tetapi, tidak halnya dengan masyarakat Kota Leipzig.
Warga di kota Leipzig justru senang dengan kehadiran Die Rotten Bullen. Maklum saja, meski punya stadion yang dipakai di Piala Dunia 2006, Leipzig tak punya klub di kasta atas Liga Jerman. Putusan Mateschitz memilih Leipzig tepat. Tak ada klub lain di wilayah timur Jerman itu yang tampil di kasta teratas sejak Energi Cottbus dan Hansa Rostock terdegradasi pada 12 tahun lalu.