Highbury punya banyak kenangan manis bagi Arsenal. Stadion yang telah dihancurkan untuk menjadi sebuah kawasan pemukiman itu pernah menjadi saksi kedigdayaan tim meriam London.
Kala itu, disudut kiri penyerangan Arsenal, terdapat sosok tinggi berjanggut tipis bernama Pires. Robert Pires, pemain asal Prancis, menjadi satu dari sekian sumbu yang terus menyalakan meriam Arsenal.
Bermain sebagai inverted-winger atau inside-out winger, Pires seolah membuat publik sepak bola Inggris terkesima, bahwa ada cara lain untuk memerankan posisi pemain sayap.
Kombinasi Pires dengan Thiery Henry dan Ashley Cole di sisi lateral kiri Arsenal memang memiliki peran penting bagi prestasi The Gunners di awal hingga medio 2000an. Dua trofi Premier League dan 3 Piala FA pun berhasil digondol dalam waktu 5 tahun. Bahkan, di salah satu musimnya mereka sempat tak terkalahkan dan jadi “The Invicibles”.
Oleh rakyat gudang peluru, Pires mendapat julukan D’Artagnan. D’Artagnan sendiri diambil dari tokoh bernama Charles D’Artagnan. Tokoh yang hidup di sekitar tahun 1600-an ini adalah kapten dari regu musketeer, tentara yang menggunakan bayonet, kerajaan Prancis.
Dalam film The Three Musketeers dan The Man In The Iron Mask, sosok D’Artagnan mirip dengan sosok Robert Pires. Dalam hal ini, janggut masih menjadi hal yang paling memikat. Kibasan rambut panjang saat berlari pun semakin membuat Pires dan D’Artagnan terlihat begitu serupa.
Tak hanya dari segi penampilan, dalam diri Pires juga terdapat sosok ksatria seperti apa yang dimiliki D’Artagnan. Pria elegan dengan kemampuan mumpuni mampu menarik hati para penggemar Arsenal kala itu.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, kemampuan Pires sempat diragukan banyak pihak. Bahkan, dirinya sendiri sempat tidak meyakini kalau kaki-kakinya mampu mengantarnya menuju panggung dunia.
Media dan publik Prancis sempat memvonisnya akan gagal di Inggris karena tidak memiliki kekuatan dan kecepatan yang dibutuhkan untuk menaklukkan Premier League.
Dalam diri Pires sendiri, ia sempat meyakini tidak akan menjadi pesepakbola hebat.
Namun berkat kepercayaan diri dari Arsene Wenger dan kemampuannya yang memang menakjubkan, Pires akhirnya mampu taklukkan apa yang tidak ia bayangkan sebelumnya.
Saat teman-temannya yang berusia 15 tahun berpesta, mencari romansa dan mencari jati diri, bagi Pires saat itu hanya belajar, berlatih, tidur dan diulang.
Sepakbola sudah menjadi hal serius. Sosok muda itu menjadi playmaker di tim C klub lokal Reims. Pengorbanan dimulai, dan itu mempengaruhinya. Robert Pires tidak yakin apakah itu sepadan, hingga ibunya, Maribel, mengingatkan mimpinya, tentang apa yang bisa ditawarkan dari hidup seorang pesepakbola.
Setelah tiga tahun menimba ilmu di Reims, Pires lalu pindah ke akademi Metz. Setahun bermain untuk tim junior, Pires langsung dipanggil untuk tampil di skuat utama.
Kala itu, pemain sayap ini sudah berumur 20 tahun ketika menjalani debutnya. Pemain yang memiliki nama tengah Emmanuel ini bertahan hingga tahun 1998 di klub Prancis itu sebelum mendapatkan kepindahannya ke klub besar, Marseille.
Meskipun terhitung sebagai klub kecil, Metz berhasil meraih Piala Liga bersama Pires di tahun 1996. Pires memang terhitung sebagai late bloomer karena ia sudah berusia 25 tahun ketika pindah ke Marseille.
Sayangnya, waktu Pires di klub yang bertempat di pantai Selatan Prancis ini tidak berlangsung dengan baik. Ia gagal memberikan gelar juara dan sempat terlibat isu bentrok dengan pihak klub.
Pada musim pertamanya di Marseille, Pires dan kawan-kawan gagal menjadi juara Ligue One karena terpaut satu angka dari Bordeux sebelum tumbang 3-0 oleh Parma yang diperkuat Hernan Crespo pada final Piala UEFA. Musim berikutnya, Pires mengalami penurunan performa dan bahkan ia dicopot dari jabatan kapten. Pada 2000, masanya di Ligue One berakhir. Total 228 pertandingan, 51 gol, tetapi tidak ada gelar juara liga.
Namun begitu, langkah kaki elegan Pires masih laku di kalangan sepak bola dunia, terutama setelah ia menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa bersama Prancis di tahun 1998 dan 2000.
Sempat menjadi incaran Real Madrid dan Juventus, Pires akhirnya berlabuh di Arsenal. Sang pemain menyatakan, bahwa faktor Arsene Wenger-lah yang menjadi penyebab ia memilih Arsenal. Pemain kelahiran tahun 1973 ini direkrut oleh The Gunners dengan biaya sekitar 8,82 juta pounds.
Meski sempat diragukan, Pires hanya memerlukan waktu 6 bulan untuk beradaptasi dengan Arsenal dan London. Jika pada pertandingan pertamanya, kala itu melawan Sunderland, Pires hanya bisa terpana melihat intensitas permainan yang seakan tak pernah mengendur, enam bulan kemudian ia telah meneror bek-bek kanan Inggris.
Di pertengahan musim, ia mulai mematenkan tempat utama di skuat The Gunners, dan berhasil membawa klubnya ke final Piala FA di akhir musim meski harus kalah di laga akhir melawan Liverpool. Salah satu faktor suksesnya adaptasi Pires ini adalah karena beberapa teman timnasnya yang juga bermain di Arsenal. Dengan kehadiran Emannuel Petit, Thierry Henry, Sylvain Wiltord, serta seorang manajer asal Prancis Arsene Wenger, ia memang lebih mudah untuk merasa kerasan di London.
Di musim keduanya, Pires tampil menggila. Ia berhasil menyabet penghargaan pemain terbaik Arsenal dan pemain terbaik di Inggris di akhir musim, sekaligus memuncaki daftar asis Liga Primer Inggris.
Perjalanan Pires di Arsenal terasa begitu indah. Ia menjadi ikon sepak bola Inggris era awal 2000an dan menjadi idola di kalangan pecinta gudang peluru.
Pires, seperti yang sudah dijelaskan, begitu nyaman berkombinasi dengan Ashley Cole dan Thierry Henry.
Di sayap kiri ini, jika Pires tidak sedang sibuk memberikan assist pada Henry atau Bergkamp, maka ia akan mencetak gol-gol indah. Dengan ia yang bergerak memotong kedalam, Pires sendiri memang sering mendapatkan celah antara center-back dan bek kanan untuk melancarkan tendangan keras ke tiang jauh.
Dalam skema serangan Arsenal, Pires sendiri sangat efektif dalam menjadi tumpuan serangan balik. Pasalnya dengan kemampuan first-touch yang istimewa, Pires tak perlu kehilangan waktu untuk menahan umpan dan mengubah arah bola jadi ke depan. Proses inilah yang semakin membuat serangan Arsenal menjadi lebih berarti.
Musim 2005/06 menjadi musim terakhir Pires di London mengingat kontraknya tak diperpanjang kala musim itu berakhir.
Kejadian final Liga Champions 2006 menjadi salah satu faktor mengapa ia mengurungkan niatnya untuk bertahan. Dalam laga itu, Pires digantikan di awal laga oleh kiper Manuel Almunia, karena Jens Lehmann diberi kartu merah oleh sang wasit. Kejadian itu, menurut sang pemain sendiri, begitu memukul dirinya, dan mengubah pemikirannya untuk bertahan.
Seluruh pihak Arsenal seolah tak terima dengan kepergian Pires. Nama Pires pun masih begitu dihargai tinggi oleh para Gooners. Buktinya, ia ditunjuk sebagai pemain terbaik Arsenal nomor enam sepanjang masa.
Setelah banyak ciptakan karya di Inggris, Pires lanjutkan perjalanannya ke Negri Matador. Saat itu, tepat pada tahun 2006, Pires resmi berseragam Villareal. Pires datang dengan status free transfer dan bergabung dengan armada Manuel Pellegrini.
Pada tahun 2006, Pires yang dengan gagah mengenakan seragam tim kapal selam kuning menyambangi Emirates Stadium dalam laga leg kedua Liga Champions Eropa. Meski timnya kalah dengan agregat 4-1, Pires mendapat sambutan hangat dari penggemar Arsenal.
Di pertandingan itu, Pires dibuat merinding dengan nyanyian penggemar The Gunners yang terus melantunkan namanya.
Pada tahun 2010, setelah sempat rehat sejenak, Gerald Houllier yang saat itu menjabat sebagai pelatih Aston Villa rela mengontrak Pires karena menganggap tenaga sang pemain masih akan sangat dibutuhkan.
Namun setelah bertahan sampai akhir musim, Pires memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanannya bersama Villa.
Sempat menganggur beberapa tahun, Pires memutuskan untuk kembali ke sepak bola dengan bergabung bersama klub Liga Super India, FC Goa. Namun, tergabungnya Pires di klub tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan sepak bola di negara tersebut. Akhirnya di awal tahun 2016, Pires memutuskan pensiun total sebagai pesepak bola.
Pires, kstaria Prancis dengan tampilan elegan, resmi mengumumkan pensiun diusianya yang menginjak 42 tahun.