Untuk menjadi seorang pelatih hebat, setidaknya kita harus punya rasa kepercayaan diri yang tinggi. Bagi Otto Rehhagel, kepercayaan diri tak ubahnya menjadi sebuah syarat, agar semua rencananya berakhir indah.
“King Otto”, sebutan raja bagi pelatih yang pensiun pada 2012 lalu itu memang tak bisa disangkal. Itu karena kebiasaannya yang percaya pada diri sendiri, dan menganggap semua keputusannya adalah tepat!
Rangkaian cerita dalam hidupnya pun akan menjadi bukti, bahwa dia akan selalu diingat sebagai sang juru taktik sejati.
Otto Rehagel, lahir di sebuah kawasan perindustrian, Essen, di sungai Ruhr, Jerman Barat. Sebagai pemain, Otto Rehhagel berposisi sebagai bek tangguh di klub TuS Helene of Altenessen pada tahun 1957. Saat berstatus sebagai pemain, Rehhagel tak terlalu banyak menuai prestasi. Namun nasibnya berubah pasca ia terjun ke dunia kepelatihan .
Satu hal yang memulai kejeniusannya sebagai seorang pelatih adalah klub Werder Bremen. Pada tahun 1976, Rehhagel mulai ditunjuk sebagai pelatih Bremen. Dua trofi paling diingatnya tentu Bundesliga pada tahun 1988 dan 1993.
Prestasinya saat itu banyak tuai pujian. Bagi sebagian orang, termasuk sahabatnya, Rehhagel dikenal sebagai sosok pendiam namun jenius. Ia begitu sederhana dan tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau kemewahan.
Willi Lemke, mantan bosnya di Bremen juga menyebut kalau Rehhagel adalah sosok manusia yang sebenarnya. Ia tidak banyak menuntut dan hanya meminta para petinggi klub untuk mempercayainya.
“Meski dia tidak pernah menempuh pendidikan di dunia psikologi, dia sangat memahami betul cara bagaiamana memperlakukan pemain dengan benar. Kerja keras hanya bagian dari pekerjaannya saja. Lebih dari itu, dia adalah pelatih fantastis,” Willi Lemke (via dw.com)
Di Bremen, Otto Rehhagel mulai dikenal dengan sebutan “Raja”. Dia tidak hanya memberikan dua gelar Bundesliga saja, namun juga Piala Winners pada tahun 1992.
Rehhagel saat itu banyak mendapat tawaran dari klub-klub besar Eropa. Ia bisa saja melatih klub sekelas AS Roma, AC Milan, Real Madrid, hingga yang lainnya. Namun tepat pada tahun 1995, Otto mematahkan hati para penggemar Bremen setelah menandatangani kontrak dengan raksasa Jerman, FC Bayern.
Akan tetapi, meski bertindak sebagai pelatih tim sekelas Bayern, Otto tak mendapat masa terbaiknya. Dirinya yang merupakan sosok sederhana benar-benar silau dengan kemewahan milik klub berjuluk The Bavarian.
Kembali lagi, siapa itu Otto Rehhagel? Ya, Rehhagel adalah sosok manusia biasa yang hanya menginginkan kenyamanan, namun tidak takut meninggalkan zona aman.
Di FC Bayern, Rehhagel tidak bisa bertindak bebas. Meski ia pelatih jenius, disana ada banyak penggemar yang bersiap dengan sebuah pistol disaku, kalau-kalau tim kesayangan mereka kalah dalam sebuah pertandingan.
Menurut Rehhagel, satu-satunya orang yang membuatnya nyaman adalah wasit. Rehhagel merasa begitu tertekan. Manajemen banyak memberi aturan, hingga ia lupa bahwa taktiknya tak datang dari pikiran luar. Ia tidak bisa menjadi manusia seperti apa yang ia inginkan. Suasana di Bayern tak seindah rumah mewah di seberang sana. Baginya, ia lebih nyaman tinggal di gubug sendiri, daripada harus menetap di istana milik mertua.
Setelah tak memberikan apa-apa bagi FC Bayern, Rehhagel resmi dipecat. Seakan datang disaat yang tepat, FC Kaiserslautern memberi apa yang sang pelatih inginkan, yaitu kenyamanan yang didasari dengan kebebasan mengolah tim racikan.
Di klub yang terletak pada wilayah dengan populasi 99.469 itu, Otto Rehhagel akhirnya menemukan “rumah”.
Juergen Friedrich, yang menjadi sahabat baiknya sekaligus komisaris klub sepak bola setempat ini menelepon Rehhagel pasca episode jahatnya mertua kaya dalam wujud FC Bayern.
Dengan perasaan yang sudah terlanjur nyaman, manajemen klub FC Kaiserslautern tak memberi banyak pertanyaan pada Rehhagel. Mereka hanya percaya pada kinerjanya. Dan jika klub berhasil dibawanya juara, maka itu sebuah anugerah, toh saat Rehhagel ditunjuk sebagai pelatih pada musim 96/1997, klub masih berkompetisi di divisi II Liga Jerman.
Perjalanan Otto Rehhagel menjadi contoh satu dari sekian siklus hidup manusia. Pada akhirnya kita akan memilih untuk mengalir kepada ceruk pemberi kenyamanan dalam hidup, bukan ceruk pemberi kemegahan.
Dalam hal ini, Otto Rehhagel juga memberi wanti-wanti kepada manajemen, bahwa ia hanya meminta sebuah kenyamanan. Karena kembali lagi, baginya, prestasi yang datang tanpa adanya kenyamanan, perlahan-lahan akan menjadi tumor ganas yang suatu saat menghancurkan karir pelakunya.
Selama perjalanannya, Rehhagel berhasil mendapat apa yang ia inginkan. Secangkir kopi panas kesukaannya menjadi salah satu kenyamanan yang ia dapat sebelum pertandingan.
FC Kaiserslautern pun menjadi keajaiban selanjutnya setelah Werder Bremen. Malah, ini menjadi sebuah cerita luar biasa selama karier kepelatihannya.
Sebelum dunia dikejutkan dengan kisah heroik Leicester City, sudut kota Jerman sudah lebih dulu mempertunjukkan apa yang disebut dengan keajaiban.
Tepat pada musim 1997/98, klub besutan Rehhagel memberi kejutan, yang mungkin tak ternilai harganya. Klub berjuluk Red Devils sesungguhnya bukan nama asing dalam persepakbolaan Jerman. Namun kali ini, cerita yang mereka tampilkan sungguh berbeda.
Memang benar jika pada tahun 1951 dan 1953 mereka berhasil menjadi juara Bundesliga Jerman. Tapi cerita itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan apa yang telah diberikan sang jenius bernama Otte Rehhagel.
Setelah berhasil membawa FC Kaiserslautern masuk ke kompetisi Bundesliga, Otto Rehagel tunjukkan kelasnya. Bermula pada pertandingan melawan FC Bayern, mereka berhasil petik kemenangan dengan skor 1-0.
Perlahan tapi pasti, mereka terus merangsak naik dan puncaki klasemen sementara kompetisi Bundesliga. Saat itu, keputusan untuk datangkan bintang asal Swiss, Ciriaco Sforza, menjadi salah satu bentuk kejeniusan Otto Rehhagel. Didatangkan dari Inter Milan, Ciriaco Sforza sukses menjadi jenderal lapangan tengah tim besutan sang “Raja”.
Selain itu, diangkutnya nama-nama seperti Michael Ballack, Marian Hristov dan Andreas Buck juga semakin mematangkan ambisi Otto Rehhagel untuk merengkuh trofi juara.
Benar saja, dengan komposisi pemain luar biasa dan ditambah dengan keberadaan Otto Rehhagel sebagai pengolah permainan, Kaiserslautern dengan semangat juang yang tinggi sukses libas segala rintangan.
Hasilnya, satu gelar Bundesliga berhasil dicatatkan oleh klub yang bermarkas di Stadion Fritz-Walter.
Setelah perjalanan luar biasa itu, sebagaimana manusia biasa dengan kesederhanaannya, Otto Rehhagel tak henti langkahkan kaki. Pada tahun 2001, Rehhagel putuskan hengkang dari Kaiserslautern dan mulai menjemput rezeki di kursi kepelatihan tim nasional.
Saat itu, Yunani menjadi negri yang amat beruntung. Mereka kedatangan sosok sederhana, namun penuh dengan ide-ide cemerlang.
Disana, Rehhagel kembali menemukan kenyamanan. Kicau indahnya bisa didengar seisi rumah, yang tentunya berada di tim yang kekuatan sepak bolanya dianggap antah berantah.
Semasa hidupnya, Otto Rehhagel tak pernah mengeluh tentang apa yang menjadi pekerjaanya, tentang siapa yang akan ditemuinya, dan tentang bagaimana tantangan yang akan dihadapinya. Ia hanya akan berhenti, ketika “penjajah kecil” mulai mampir dalam kehidupan sederhananya.
Rehhagel yang berbekal motivasi bersama FC Kaiserslautern dengan senang hati membesut kesebelasan Yunani. Meski tak menggalang dukungan, langkah kecilnya akan selalu mendapat dorongan. Dan percaya atau tidak, itu benar adanya.
Seluruh komponen Yunani yang percaya padanya telah memberi ledakan energi bagi Rehhagel. Ia seperti seorang guru yang sangat dibutuhkan kehadirannya. Sang kepala suku ingin masyarakatnya pandai dalam hal mengolah bola, dan dalam hal ini, Otto Rehhagel, datang menyampaikan segala ilmunya kepada para murid yang begitu patuh terhadapnya.
Hingga sampailah mereka pada sebuah masa, dimana para muridnya dibebankan tugas berat untuk mengharumkan nama negara di kancah Eropa.
Tepat di tahun 2004, Yunani datang seperti anak dari seberang pulau, dan menemui kemegahan luar biasa dalam kota yang bertajuk kekuatan sepakbola.
Seperti biasa, Otto Rehhagel tak pernah lupa dengan secangkir kopinya sebelum pertandingan. Pria yang kini berusia 82 tahun hanya berharap anak-anaknya tampil dengan semangat, meski hasilnya tak selalu membahagiakan.
Yunani saat itu tergabung dengan klub-klub besar seperti Spanyol, Portugal, dan termasuk Russia. Menghadapi tantangan pertama dalam diri timnas Spanyol, Yunani kalah di babak pertama. Yang dilakukan Otto Rehhagel? Ia hanya menatap tajam anak asuhnya dan sesekali memberi perkataan yang merobek semangat para ksatrianya.
Satu kalimat yang membangkitkan harapan kala itu ternyata sukses membuat Yunani membara. Dengan ketangguhan penyerang Angelos Charisteas, Yunani berhasil menjadikan pertandingan berakhir imbang 1-1.
Setelahnya, Yunani berhasil lolos dengan menghancurkan semua lawan-lawannya. Perjuangan Yunani dibawah asuhan Otto Rehhagel benar-benar mengesankan. Pasalnya, sebelumnya mereka hanya mampu mentok di fase grup saat tampil di putaran final Piala Eropa 1980 dan Piala Dunia 1994.
Otto Rehhagel berhasil menyingkirkan anggapan orang yang menyebut bahwa skuat Yunani tak disiplin. Ditangannya, para pemain yang tak mengikuti aturan akan dibuang. Selebihnya, akan tetap disayang meski tak punya kehebatan yang mengagumkan.
Perlakuan Rehhagel kala itu sukses mengubah citra Yunani menjadi sebuah kesebelasan tak kenal lelah.
Meski sama sekali tak diunggulkan sebagai juara, pada akhirnya, Yunani yang cuma bermodal kedisiplinan dan perpaduan sempurna, mampu mengubah skuat biasa menjadi sekumpulan para raja.
Di turnamen yang digelar di Portugal, mereka mampu mengangkat mahkota. Lebih hebatnya, tim tuan rumah berhasil dikalahkan di pertandingan pamungkas.
Otto Rehhagel menjabat sebagai pelatih Yunani sampai tahun 2010. Ia meninggalkan begitu banyak cerita, yang tentunya hanya akan dipahami oleh orang yang “bersifat sederhana.”
Hingga tepat pada Juni 2012, dirinya putuskan pensiun dari dunia sepak bola. Untuk segala cerita dan dedikasinya, Rehhagel layak disebut sebagai legenda.