Dalam dunia sepak bola, uang jelas menjadi salah satu sumber kekuatan utama untuk meraih kejayaan. Selain komposisi pemain berkualitas, dan disertai dengan kejeniusan pelatih, uang menjadi magnet tersendiri untuk bisa “membeli” sebuah kejayaan.
Mengelola sebuah klub sepakbola tentu tak bisa sembarangan. Banyak bagian yang perlu perencanaan matang. Apalagi bila berurusan dengan masalah keuangan. Namun sayangnya, kelima klub ini tak mampu membuat perencanaan yang baik, hingga akhirnya mereka terpaksa mengumumkan kebangkrutannya.
Yang lebih parah, mereka harus rela turun kasta dan memulai kembali kompetisi dari kasta terbawah.
Parma
Parma menjadi salah satu nama populer, jika bicara tentang kebangkrutan sebuah klub ternama. Klub ini pernah memenangi tiga Coppa Italia, satu Supercoppa Italiana, dua Piala UEFA, satu European Super Cup, dan satu UEFA Cup Winners’.
Kesulitan finansial mulai mendera Parma sejak akhir 2003 oleh skandal perusahaan induknya, Parmalat yang mengakibatkan perusahaan tersebut kolaps dan klub harus dikontrol secara administrasi. Pada 2015, Parma dilaporkan bangkrut.
Kabarnya, Parma terbelit hutang hingga mencapai 197 juta euro, atau sekitar 2,8 triliun rupiah. Bahkan mereka juga dilaporkan tak mampu membayar gaji para staf.
Namun tepat pada tahun 2018, Parma resmi kembali ke Serie A. Parma dipastikan promosi dari Serie B setelah mengalahkan tuan rumah Spezia 2-0 di Stadio Alberto Picco, La Spezia. Dua gol Parma dicetak oleh Fabio Ceravolo dan Amato Ciciretti.
Berkat kemenangan tersebut, Parma finis di peringkat kedua klasemen akhir Serie B dengan perolehan 72 poin dari 42 laga. Parma pun mendapatkan tiket promosi secara otomatis bersama Empoli yang menjadi juara Serie B.
Fiorentina
Selain Parma, klub Italia lainnya, yaitu Fiorentina juga pernah merasakan bangkrut.
Fiorentina pernah bangkrut akibat terlilit hutang dan terkena skandal. La Viola pernah memiliki hutang sebesar 32 juta euro atau sekitar 455 milliar rupiah, bahkan tidak bisa membayar pemain mereka secara berkala. Akibat kondisi finansial ini, mereka harus merasakan kompetisi peringkat keempat di Italia, Serie C2, pada 2002.
Namun karena memenangi Serie C2, Fiorentina langsung melaju bermain di kasta kedua, Serie B dan tak harus bermain di Serie C1 terlebih dahulu. Pada musim 2003/04, mereka finish di posisi 6 dan kembali berkompetisi di Serie A, meski harus berjuang ekstra agar tak kembali didegradasi.
Sayangnya, Fiorentina kembali merasakan pengalaman pahit dengan terdegradasi ke Serie B pada 2006 akibat skandal pengaturan pertandingan, ketika mereka bermain di Divisi Utama. Namun pada musim 2006/07, status mereka dipulihkan ke Serie A dengan mengajukan banding.
Glasgow Rangers
Glasgow Rangers merupakan salah satu klub asal Skotlandia paling ternama di dunia. Namun kesuksesan The Teddy Bears ternodai dengan hutang dan perencanaan yang buruk.
Pemilik Rangers sejak 1988, Sir David Murray dianggap sebagai biang keladi kejatuhan Rangers. Murray adalah salah satu pengusaha terbaik Skotalndia yang membeli Rangers pada tahun 1988. Melalui kekayaannya, Murray tak segan mengisi “bensin uang” kepada klub tersebut.
Murray memang kaya, akan tetapi ia membangun kekayaannya bukan hanya melalui bakat dan kerja keras sebagai pengusaha, namun juga melalui hutang.
Filosofi tersebut juga diterapkan di Rangers. Alhasil pada tahun 2003, hutang bersih Rangers mencapai 82 juta poundsterling. Inilah cikal bakal pergelutan Rangers dengan urusan keuangan, pajak, likuidasi, dan posisi klub di domestik dan benua.
Enam tahun kemudian, Murray mengundurkan diri sebagai ketua Rangers dan Craig White membeli Rangers dengan harga 1 poundsterling. Namun ia harus menanggung hutang 18 juta poundsterling Rangers ke Bank Lloyds dari keseluruhan total hutang 27 juta poundsterling.
Kegagalan membayar pajak lalu membuat Rangers bangkrut pada Februari 2012. Mereka pun diturunkan ke divisi keempat Liga Skotlandia dan ditinggalkan para pemain bintangnya.
Leeds United
Leeds United merupakan salah satu klub paling bersejarah di Inggris. Namun mereka pernah mengalami masa kelam, dimana mereka mengalami masalah keuangan dan dinyatakan bangkrut.
Leeds pernah memenangkan tiga Liga Divisi Satu Inggris, satu Piala FA, dan satu Piala Liga. Namun kini klub berjuluk The Whites harus berjuang di kompetisi kasta kedua Inggris.
Investasi besar-besaran dan pengelolaan yang buruk membuat nama Leeds berada dalam lubang hitam.
Padahal mereka berinvestasi besar untuk masuk kualifikasi Liga Champions. Leeds pun harus menjual para pemainnya untuk membayar hutang, sebagai konsekuensi tak masuk kualifikasi Liga Champions musim 2002/03.
Pada akhir musim 2003/04, Leeds terpaksa terdegradasi ke kasta kedua Inggris, Football League Championship.
Puncak kebangkrutan Leeds bahkan mencapai 119 juta pounds atau sekitar 20 triliun rupiah. Buntut dari kebangkrutan Leeds pun munculnya frasa “Doing a Leeds”, atau istilah untuk menyebut kesalahan manajemen bagi para klub sepakbola, bahkan hingga terlilit utang.
Portsmouth
Portsmouth merupakan salah satu tim bersejarah di tanah Inggris. Mereka sempat menjuarai FA Cup pada 2008 saat ditangani Harry Redknapp. Selain itu, mereka telah memenangkan Liga Divisi Satu Inggris pada 1949 dan 1950. Performa klub mulai menjanjikan saat menjadi juara Piala FA pada 1939 dan 2008.
Namun, Alexandre Gaydamak, Ali al-Faraj, Balram Chainrai, dan Vladimir Antonov yang menjadi pemilik klub mulai tak serius mengelola Portsmouth hingga mereka harus mengalami sejumlah masalah.
Kabarnya, hasil dari buruknya manajemen dan sistem, klub berjuluk The Pompey dilaporkan bangkrut dan berhutang sebanyak 137 juta euro, atau hampir sekitar 2 triliun rupiah.
Bulan Mei 2009, isu kesulitan finansial Portsmouth mulai menguap. Tahun 2012, Portsmouth dilaporkan tak membayar pajak hingga 1,6 juta pounds dan mendapat sanksi pengurangan 10 poin. Di tahun yang sama, mereka didegradasi ke League One. Kemudian pada April 2013, Portsmouth akhirnya didegradasi lagi dan bermain di kasta keempat Inggris, League Two.