Tanggal 6 februari akan selalu dikenang Manchester United sebagai hari yang buruk. Pada tanggal itu di tahun 1958 mereka alami peristiwa tragis. The Munich Disaster, demikian mereka menyebut peristiwa tragis tersebut, terjadi di Bandara Munich-Riem, München, Jerman.
Kecelakaan terjadi ketika British European Airways (BEA) dengan nomor penerbangan 609 jatuh pada usaha ketiganya untuk lepas landas dari kubangan salju yang menyelimuti landasan. Para pemain Setan Merah, yang kala itu dijuluki “Busby Babes”-merujuk kepada nama pelatih mereka dulu, Sir Matt Bubsy termasuk sosok yang ada di dalam pesawat.
Ketika itu, skuat Manchester United baru saja memastikan diri lolos ke semifinal piala Champions usai menahan imbang Red Star Belgrade 3-3, sehari sebelumnya. MU yang menang 2-1 di leg pertama di Old Trafford, lolos dengan agregat 5-4.
Bagi sepak bola Inggris, keberhasilan The Reds Devils jadi sejarah. Itu lantaran MU jadi tim pertama Inggris yang main di Liga Champions. Tapi skuat United tidak bisa berleha-leha menikmati keberhasilan itu. Mereka harus kembali ke Manchester untuk melakoni pertandingan di Liga Inggris.
Tidak ingin membuang-buang waktu, pihak klub menyewa pesawat Airspeed Ambassador milik British European Airways untuk kembali ke Manchester. Selain para penggawa MU, sejumlah jurnalis dan suporter juga turut dalam rombongan.
Ketika pesawat kehabisan bahan bakar, mereka memutuskan untuk berhenti sementara di bandara Munich-Reim, Jerman Barat, untuk mengisi bahan bakar. Usai terisi penuh, pesawat rupanya mengalami gangguan mesin.
Sebelumnya sang pilot, Kapten James Thain, dan kopilot, Kenneth Rayment, sempat mencoba lepas landas sampai dua kali, tapi tetap tidak berhasil. Namun, lantaran takut terlambat jadwal dan enggan menginap di Munich, Kapten Thain memilih ambil risiko: melakukan upaya lepas landas untuk ketiga kalinya.
Pada saat upaya ketiga, salju lebat mulai turun dan lumpur mulai melapisi ujung landasan. Dan tatkala roda pesawat menggilas lumpur tersebut, tragedi sesungguhnya terjadi: tepat sekitar jam 3 sore waktu setempat, pesawat itu oleng tak terarah melewati ujung landasan, sebelum kemudian menabrak pagar dan sayap pesawat membentur rumah terdekat hingga hancur.
Tragedi ini begitu dikenang dalam dunia olahraga dan termasuk tragedi kecelakaan pesawat terbesar dalam dunia sepak bola, karena menewaskan sejumlah bintang Man United yang ikut dalam penerbangan.
Dari total 44 penumpang, 23 diantaranya meninggal dunia, termasuk 8 orang pemain MU yang baru saja merayakan kegembiraan usai lolos menuju semifinal Piala Champions.
Selain 8 pemain, 3 staff United juga wafat. Sementara tujuh pemain Manchester United yang tewas di tempat kejadian adalah Geoff Bent, Roger Byrne, Eddie Colman, Mark Jones, David Pegg, Tommy Taylor, dan Liam Whelan.
Sisa penumpang yang mengalami cedera dan tak sadarkan diri langsung dibawa ke rumah sakit terdekat, Rechts der Isar Hospital. Di tempat ini tiga orang lagi wafat, termasuk bintang Man United, Duncan Edwards, yang meninggal dunia setelah dirawat 15 hari.
Kematian Duncan Edwards, di usianya yang menginjak 21 tahun 15 hari, sontak menjadi perhatian dunia. Ia pun sempat disandingkan bisa bermain dengan Pele selama 10 tahun ke depan.
Sang pelatih, Sir Matt Busby, dan penyerang mereka, Sir Bobby Charlton selamat, hanya saja menderita cedera parah. Sementara, Kapten Thain juga selamat dari peristiwa nahas tersebut.
Dalam investigasi yang digelar setelah tragedi itu, Kapten Thain sempat dinyatakan bersalah oleh otoritas penerbangan Jerman. Tapi investigasi lanjutan yang dilakukan pihak Inggris menyatakan Thain bebas dari tuduhan.
Menurut pihak Inggris, salju yang mencair di landasan adalah penyebab utama kecelakaan tersebut. Thain sendiri meninggal pada Agustus 1975 karena penyakit jantung.
Usai tragedi memilukan tersebut, Manchester United memasuki masa-masa sulit karena kehilangan sebagian besar pemain andalan yang dikenal dengan “Busby Babes”. Bahkan, banyak yang memprediksi MU bakal sulit bangkit.
Dan benar saja, hanya berbekal para pemain muda dan kondisi mental yang terpuruk, Manchester United kalah di semifinal melawan AC Milan tiga bulan setelah kecelakaan. Tapi AC Milan akhirnya bisa dikalahkan 3-2 oleh Real Madrid di partai final.
Real Madrid kala itu menjadi klub yang paling perhatian atas musibah yang menimpa setan merah. Presiden Madrid saat itu, Santiago Bernabeu, mendedikasikan kemenangan kepada teman-temannya di Manchester, dan bahkan menawarkan United trofi si kuping besar tersebut, meskipun United menolaknya.
Bernabéu tak ingin menyerah begitu saja, pada tahun berikutnya ia lalu menawarkan aset Real Madrid yang paling berharga sekaligus pemain paling didambakan di dunia – Alfredo Di Stéfano – ke Manchester United.
Semua pihak telah menyetujui kesepakatan pinjaman jangka pendek yang diterima, tetapi secara mengejutkan Asosiasi Sepak Bola Inggris, FA memblokir perpindahan itu dengan alasan khawatir menghambat potensi pemain Inggris. Alhasil, Madrid pun mencari jalan lain untuk membantu MU.
Mereka pun membuat sebuah bendera yang bertuliskan nama-nama korban meninggal Tragedi Munchen. Diberi nama ‘Champions of Honour’, bendera-bendera itu dijual di Spanyol. Dana yang terkumpul dialokasikan untuk membantu Manchester United.
Kemudian ada tawaran juga untuk pengobatan korban yang terluka dan berduka untuk memulihkan diri di fasilitas mewah Real Madrid dengan tanpa biaya.
Ada juga serangkaian pertandingan persahabatan dengan penggalangan dana antara kedua kesebelasan. Serta biaya bencana Munich yang memang telah memukul keuangan Man United. Real Madrid dikenakan biaya 12.000 paun untuk pertandingan tersebut, tapi Bernabeu mengatakan United tidak perlu membayar.
Melihat bagaimana sikap solidaritas Real Madrid kepada Manchester United ketika mereka berada di titik terendah jelas merupakan sesuatu yang luar biasa. Bahkan ketika MU menjadi juara Eropa pada musim 1967/68 setelah mengalahkan Benfica 4-1 di final di Stadion Wembley, Bernabeu juga turut mengucapkan selamat, kendati di babak semifinal mereka menyingkirkan Madrid.
Hal itu dilakukan Bernabeu karena ia tahu betul bagaimana besar tekad Busby, juga United, untuk bangkit dan menjadi juara. “Jika ada tim lain yang meraih trofi ini, saya senang tim itu adalah mereka,” ujarnya (Dikutip dari Thesefootballthemes).
Kedekatan Santiago Bernabeu dengan Sir Matt Busby sebenarnya sudah terlihat satu tahun sebelum peristiwa Munchen terjadi, ketika itu Bernabeu sangat menginginkan Busby menjadi pelatih Madrid usai kedua tim berduel dalam laga semifinal piala champions 1957.
Tapi Busby tidak tergerak oleh pendekatan yang dilakukan Bernabeu, ia masih menginginkan untuk mengangkat trofi bersama Manchester United, dan dengan sopan ia pun menolaknya.
Setelah peristiwa berdarah itu terjadi, lambat laun MU mulai bisa bangkit. Tentu saja, kebangkitan Setan Merah tak lepas dari jalinan persahabatan dengan Real Madrid. Bahkan, bisa dibilang Los Blancos adalah dewa penolong MU saat itu. Keanggunan dan kemurahan hati Bernabéu sangat mengagumkan, tetapi yang lebih penting, itu asli. Itu adalah tindakan yang tidak boleh dilupakan.