Jika kalian adalah pecinta sepak bola indah, nama timnas Brasil tentu tak akan luput dari sorotan. Brasil menjadi negara yang nyaris lahirkan bakat terbaik setiap tahunnya.
Bakat emas sepak bola samba sudah terlihat sejak pemain bernama Pele merajai dunia. Setelah itu, pemain-pemain kelas atas selalu bermunculan, bahkan hingga detik ini.
Satu nama yang paling diingat adalah Zico. Sebagai pemain Zico dijuluki sebagai Pele Putih. Julukan itu tentu tak asal-asalan. Pasalnya, Zico memang punya perjalanan karier dan permainan luar biasa. Ia menjadi ikon dan menjelma menjadi salah satu putra terbaik sepak bola dunia.
Sepak bola Brasil dikenal sebagai Jogo Bonito. Jogo Bonito atau Play Beautifully merupakan permainan khas Brasil yang mengandalkan teknik dan kemampuan individu pemainnya. Di zaman sekarang ini gaya permainan Jogo Bonito ala Brasil sudah mulai punah dikarenakan kecenderungan bermain pragmatis dan mementingkan hasil.
Jika Manchester United memiliki sebuah generasi emas bernama Class of ’92, 10 tahun sebelumnya Brasil pun memiliki generasi emas bernama Class of ’82 yang menggemparkan dunia dengan Jogo Bonito-nya.
Saat itu, Brasil punya pelatih super gila bernama Tele Santana. Pria yang meninggal pada 2006 silam itu memiliki skuat super seperti Leandro, Cerezo, Socrates, dan tentunya Zico.
Zico yang bermain sebagai gelandang serang menunjukkan kapasitasnya sebagai pemegang nomor 10 terbaik kala itu. Pada gelaran Piala Dunia 1982, Brasil memang tak menjadi juara. Namun mereka layak disebut sebagai raja tanpa mahkota mengingat perjalanannya yang begitu luar biasa.
Sebelum gelaran tersebut, Zico sebagai “The White Pele” juga sudah mencuri perhatian di gelaran Piala Interkontinental atau Piala Dunia Antar Klub.
Tepat pada Desember 1981, Bob Paisley, manajer dimasa keemasan Liverpool terpaksa harus menanggung malu akibat “ulah” pria Brasil bernama Zico.
Berlangsung di Stadion Nasional Tokyo, Jepang, pertandingan ini disaksikan oleh 62.000 penonton.
Liverpool yang ketika itu digadang-gadang sebagai tim terkuat di dunia harus menghadapi Flamengo dalam ajang Piala Interkontinental 1981. Flamengo yang berstatus sebagai juara Copa Libertadores pun akhirnya mampu mengalahkan Liverpool dengan skor 3-0. Pemain Flamengo, sekaligus juga pemain timnas Brasil, Zico, menjadi aktor di balik kekalahan Liverpool dalam pertandingan tersebut.
Nama Zico memang sudah cukup untuk membuat merinding mereka yang menghadapinya, dan Zico di usia 28 sedang berada dalam performa terbaik. Dia mengoleksi 11 gol saat Flamengo berjaya di Libertadores, termasuk dua di partai final dan harumnya nama Zico tercium hingga Anfield.
Zico yang saat itu berstatus sebagai pemain timnas Brasil berhasil membuat lini pertahanan Liverpool kocar-kacir. Tiga asis berhasil ia cetak dalam pertandingan tersebut!
Selain mampu mencetak asis, ia mampu merepotkan pertahanan Liverpool lewat dribel-dribelnya. Stadion Nasional Tokyo seolah menjadi panggung Zico ketika itu.
Sejak menit pertama, seperti yang tercatat dalam biografi Marcus Vinicius Bucar Nunes berjudul “Zico: A lesson in living”, bintang Flamengo ini menyadari Thompson, bek Liverpool kala itu, punya tugas untuk mengikuti pergerakannya. Situasi tersebut dijawabnya dengan menggoda sang bek tengah untuk keluar dari area kekuasaan.
Zico benar-benar membuat Liverpool malu. Thompson kelimpungan dan mengakui bahwa Zico adalah pemain yang luar biasa.
Pada akhirnya, Zico yang sukses membawa Flamengo juara dinobatkan sebagai pemain terbaik pertandingan. Bagi Flamengo, ini menjadi keikutsertaan pertama mereka dalam ajang Piala Interkontinental. Sedangkan bagi Liverpool, pada 1984 mereka kembali ikut lagi dalam ajang Piala Interkontinental ini. Namun mereka lagi-lagi kalah, dan kali ini yang mengalahkan mereka adalah Independiente.
Melihat kontribusi luar biasanya bersama level klub maupun timnas, Zico memang pemain yang amat luar biasa. Pemain bernama lengkap Arthur Antunes Coimbra ini memang jago dalam mengolah bola.
Julukan Pele Putih seolah menjadi jawaban dari bakatnya mengolah si kulit bundar yang tak jauh berbeda dari Pele itu sendiri.
Zico adalah pemain yang kreatif dan dianugerahi kemampuan teknis serta visi yang nyaris sempurna. Tak cuma itu. Soal kemampuan passing dan finishing, sulit mencari yang sehebat Zico.
Orang mengingatnya sebagai seorang playmaker kelas wahid serta ahli tendangan bebas. Soal membuat tendangan melengkung, kemampuan gelandang yang satu ini boleh dikata jarang ada duanya. Veteran lapangan hijau yang masuk FIFA 100 alias deretan pemain terbaik sepanjang masa ini, tiga kali membela Brasil di ajang Piala Dunia, yakni tahun 1978, 1982, dan 1986.
Kendati tak berhasil mempersembahkan gelar juara pertama di ketiga kompetisi tersebut, Zico punya catatan baik di timnas, dengan torehan 48 gol di 71 laga, dan membawa Selecao menjadi juara ketiga pada Piala Dunia 1978.
Bagi Zico, menjadi pemain tim nasional Brasil bukanlah sembarang mandat. Ia tahu sejarah negaranya sendiri pada ajang sepak bola dunia. Oleh sebab itu, Zico selalu berfikir untuk memberikan yang terbaik.
Terlebih, nomor punggung 10 melekat mulus dibalik badannya. Seperti diketahui, nomor 10 bukan nomor sembarangan di Brasil. Nomor sepuluh adalah ikon, dan nomor sepuluh adalah pemimpin.
Pemain dengan peran ini biasanya adalah pemain kunci dalam sebuah tim dalam menyerang. Pemain seperti ini lazimnya dianugerahi kreativitas yang luar biasa dalam merancang sebuah serangan. Imajinasinya luar biasa ketika merancang sebuah skema serangan.
Dan ya, semua itu ada pada diri Zico.
Karena imajinasi dan daya kreasi yang luar biasa dalam menyusun serangan, Zico memang layak memakai nomor tersebut. Zico selalu menjadi supplier bagi striker, sekaligus finisher ketika ada ruang yang diciptakan oleh striker tersebut.
Semasa bermain di klub, Zico sempat malang melintang dari Benua Amerika, Eropa, dan juga Jepang. Awal kariernya pada saat itu ketika bermain bersama Flamengo selama 12 musim. Zico juga pernah merasakan ketatnya Serie A ketika berseragam Udinese pada musim 1983 hingga 1985. Pada saat itu dirinya bermain dalam 39 pertandingan dan mencetak 22 gol.
Zico kembali ke Flamengo pada 1985 dan bermain selama empat musim. Setelahnya ia menutup karier sebagai pemain bersama Kashima Antlers di Jepang pada tahun 1994. Di akhir kariernya tersebut, total Zico menyumbangkan 35 gol dari 45 penampilannya bersama Kashima.
Gantung sepatu pada tahun 1994, Zico mulai menekuni sepak bola pantai sampai akhirnya banting setir menjadi pelatih mulai tahun 1999. Melakukan debut kepelatihan di Kashima Antlers, Zico menangani sejumlah klub besar seperti Fenerbache dan CSKA Moskow, serta tim negara macam Jepang dan Irak.
Kini Zico bekerja sebagai direktur tehnik Kashima Antlers.
Zico, adalah satu nama terbaik dalam sepak bola. Umpan-umpan, kreativitas, dan tendangan akuratnya akan selalu mengoyak jala memori para pecinta bola tentang permainan indah dari seorang mastro sepak bola.