Dalam sepak bola, terkadang prediksi tidak selalu tepat. Dalam hal ini, pemain yang bersinar di masa mudanya tidak selalu menjadi bintang di masa depan. Banyak bintang muda dunia yang sukses gemparkan dunia. Namun setelah beranjak dewasa, tak sedikit dari mereka yang hilang entah kemana.
Pada kesempatan kali ini, starting eleven akan kembali mengingatkan kisah para pemain bertalenta yang kariernya meredup dan bahkan dilupakan dunia.
Adriano
Adriano menjadi salah satu predator terbuas di jagad sepak bola. Sensasi muda ini muncul di usianya yang baru 17 tahun ketika menembus tim utama Flamengo pada Februari 2000 dan sangat impresif hingga Inter menebusnya di angka 7 juta euro setahun berselang.
Setelah menjalani peminjaman yang sukses di Fiorentina dan Parma, Adriano terlihat bakal menjadi penerus Ronaldo de Lima untuk level klub dan negara. Namun apa yang terjadi sungguhlah berbeda.
Terlepas dari ia yang memainkan peran penting dalam keberhasilan Brasil menjuarai Copa America 2004 dan Piala Konfederasi 2005, pemain berjuluk The Emperor ini malah keluar jalur karena depresi dan alkohol, yang mana dikaitkan dengan kematian sang ayah pada 2004.
Adriano saat itu hancur pasca kepergian sang ayah. Mentalnya tak terlalu kuat untuk menerima kabar duka dari sang ayah. Padahal, pemain sekelas Ibrahimovic mengakui, kalau Adriano merupakan striker terhebat yang pernah ia lihat.
Adnan Januzaj
Adnan Januzaj pernah menjadi incaran sejumlah klub ternama. Pemain yang mengudara bersama Manchester United ini banyak menjadi perbincangan menyusul performa impresifnya.
Kala itu pada musim 2013/14, dengan kostum no. 44, Januzaj diberi kesempatan melakukan debut untuk Manchester United oleh David Moyes. Gocekannya yang merangsang menjadi andalan utama pemain berpaspor Belgia itu. Namun, kiprah Januzaj di United praktis berhenti di musim itu. Setelah nyaris tak pernah bermain pada musim 2014/15.
Januzaj dipinjamkan ke Dortmund untuk mengasah bakat. Akan tetapi, mental Januzaj tak seperti kebanyakan pemain sukses lainnya. Ia tak mampu mengemban tugas sebagai bintang masa depan.
Ketika sedang menjalani masa pinjaman di Dortmund, pelatih Die Borussen kala itu, Thomas Tuchel, mengatakan bahwa Januzaj gagal di Westfalenstadion karena dia selalu membandingkan segalanya dengan di Manchester. Dengan kata lain, Januzaj sudah merasa hebat dan tidak mau mengakui bahwa di usianya yang masih belia banyak hal yang mesti dia pelajari.
Freddy Adu
Freddy Adu sempat menjadi pemain paling diinginkan seluruh dunia. Dari kemunculannya di usia 14 tahun, Adu membuat orang-orang menjulukinya sebagai ‘The New Pele’. Akan tetapi, Adu tak punya mental pemenang.
Mungkin tidak ada pemain yang mengalami kejatuhan lebih spektakuler ketimbang Freddy Adu. Membela negaranya di usia 16 tahun, nama Adu bertambah besar ketika ia merapat ke Benfica setahun berselang.
Namun talentanya tak benar-benar terasah. Setelah dipinjamkan ke sejumlah klub, Adu mulai meredup. Ternyata, ia silau dengan sorotan media. Adu mengaku tak siap kala harus menjadi populer di usia yang tergolong sangat muda.
Ia lebih suka menjadi populer di kalangan media sampai harus melupakan tugas sebenarnya. Saat menjalani masa-masa sulit, Adu bahkan harus bekerja di sebuah bar demi menyambung hidup. Padahal, dunia saat itu telah melihat sosok Pele di masa muda Freddy Adu.
Bojan Krkic
Bojan Krkic mencetak lebih dari 900 gol di masa muda nya. Dirinyapun disiapkan sebagai pengganti Lionel Messi di masa mendatang. Namun harapan publik Katalan sirna, setelah sang pemain gagal total saat dipromosikan ke tim utama.
Bojan tak pernah menjadi besar. Lionel Messi dalam diri Bojan seolah terbang begitu saja. Bojan kemudian memilih untuk mengembara di luar negeri demi mendapat menit bermain. Dia pun hijrah ke Roma yang kala itu ditangani Luis Enrique. Namun, di sinilah kemerosotan karier Bojan dimulai.
Bojan menghabiskan tahun 2011 s/d 2014 di tiga klub berbeda. Selain Roma, dia juga memperkuat Milan dan Ajax. Namun, meski dipercaya main sebanyak 76 kali, hanya 14 gol yang mampu dia ciptakan.
Sempat berkarier di Inggris, kaki-kaki lincah Bojan tak lagi mampu membawanya ke panggung dunia. Bojan merasa lemah. Ia sadar bahwa yang membuatnya gagal adalah tekanan yang begitu luar biasa.
Ekspektasi besar orang-orang akan dirinya malah membuatnya hancur dan ragu dalam melangkah.
Alexandre Pato
Alexandre Pato pernah menjadi idola di AC Milan. Dirinya yang tampil memukau di Piala Dunia Antar Klub tahun 2006 berhasil mencuri perhatian dunia. Pato yang saat itu masih berusia 17 tahun diminati Arsenal, Milan, Madrid, dan Barcelona. Pada akhirnya, pemain berjuluk Si Bebek resmi berlabuh di San Siro.
Meski harus menunggu sang pemain berusia 18 tahun, kesabaran Milan terbayarkan. Pato yang memulai debut melawan Napoli sukses membuat gol dalam kemenangan 5-2 Milan. Setelah itu, musimnya pun berjalan dengan sangat baik.
Bahkan, ia sempat membawa Milan merajai Italia pada musim 2010/11.
Akan tetapi, semua lantas berubah. Segala hal yang sempat diimpikan Pato tidak berjalan dengan baik. Pemain asal Brasil berkali-kali mengalami cedera, dan kariernya, berakhir sia-sia.
Pato terus bergonta-ganti klub, termasuk bergabung dengan Chelsea. Ia lantas pergi ke Spanyol untuk kemudian hijrah ke China.
Karena masalah internal klub, Pato terpaksa dijual dan pulang ke kampung halaman.
Pato, yang digadang-gadang bakal menjadi pemain dunia malah tak memiliki perjalanan manis seperti apa yang dinantikan banyak orang.
Giueseppe Rossi
Tak terbersit niat dalam benak Giuseppe Rossi untuk mengakhiri karier sebagai pesepak bola pada usianya yang telah menginjak 32 tahun. Pemain satu ini sebenarnya tidak pernah punya masalah dengan tingkah laku, etos kerja, maupun kondisi psikologis. Hanya saja, pemain yang lahir dan besar di Amerika Serikat ini punya lutut yang terbuat dari kaca.
Rossi dididik di akademi dan sempat menjadi anggota skuat utama Manchester United. Namun, pria bertinggi 173 cm ini melejit bersama Villarreal di mana dia bermain 136 kali dan mencetak 54 gol. Sayang, pada musim 2011/12, ligamen lututnya sobek dan dia harus absen selama 557 hari. Setelah itu, dia pun berusaha untuk membangkitkan kariernya di Fiorentina.
Namun harapannya tak lagi sama. Selama empat musim disana, Rossi harus kembali alami masalah cedera. Rossi banyak bergonta-ganti klub, namun tetap saja, kehebatannya yang telah hancur karena cedera memaksanya untuk tak laku di pasaran.
Hancurnya karier Rossi akibat cedera ini sangatlah disayangkan. Pasalnya, apabila tidak ada hal-hal seperti ini, dia bisa saja menjadi penyerang terbaik Italia mengingat talenta itu memang ada.
Javier Saviola
“Si Kelinci” punya dunia di kakinya ketika merapat ke Barcelona pada 1999. Di usia yang baru menginjak 19 tahun, Saviola telah mencapai level bintang karena sukses mengangkat dua gelar bersama River Plate dan juga ditahbiskan sebagai Pesepakbola Terbaik Amerika Selatan.
Sejauh ini, sudah ada cukup banyak pesepak bola yang disebut sebagai The Next Maradona dan Saviola adalah salah satunya. Penyebabnya, seperti yang sudah dijelaskan, ketika masih memperkuat River Plate dulu, dia mampu memecahkan rekor Diego Maradona sebagai pencetak gol terbanyak paling muda di Argentina.
Potensi Saviola memang luar biasa. Punya kecepatan dan kemampuan olah bola yang bagus serta ketajaman di depan gawang lawan, Saviola seharusnya menjadi jaminan mutu, baik bagi Barcelona maupun Tim Nasional Argentina.
Pele, sang dewa sepak bola, bahkan mengakui bakat yang dimiliki Javier Saviola. Kariernya di Camp Nou pun berjalan baik-baik saja. Namun sayang, itu semua hanya bertahan di awal masa penjajakannya.
Kedatandangan Frank Rijkaard sebagai pelatih membuat waktunya di Catalunya berakhir cepat. Saviola sendiri sukses mengklaim Copa Libertadores ketika kembali ke River di usia senja, namun ia punya penyesalan terhadap masa lalunya. Ia berharap bisa mendapat banyak waktu bermain dan bersinar bersama Barcelona.