Italia menjadi salah satu negara paling populer di dunia. Selain terkenal akan keindahan tempat dan kelezatan berbagai makanannya, negara yang beribukota di Roma itu juga dikenal sebagai negara yang kaya akan seni.
Bicara tentang seni, sepakbola Italia merupakan salah satu rajanya. Bagi para penggemar si kulit bundar era 90an, pasti kenal betul dengan istilah “The Beauty of Serie A”. Kalimat itu bukanlah isapan jempol belaka. Pasalnya, Serie A pada era 90an adalah kiblat dari liga-liga di Eropa, bahkan dunia. Pemain bintang kelas dunia silih berganti ingin merumput disana, bahkan ada ungkapan jika seorang pemain keluar dari Serie A, maka ia sebenarnya adalah pemain yang terbuang.
Era 90an Serie A Italia memang sedang alami kejayaan. Soal prestasi pun klub Serie A merajai kompetisi di Eropa, sebut saja AC Milan yang sukses di kancah liga Champions pada 1989/90 dan 1993/94. Lalu Juventus yang sukses menjadi raja di Piala Winners pada 1989/90 dan 1992/93 serta Inter Milan yang sukses di Piala UEFA pada 1990/91 dan 1993/94.
Di era tersebut, para penggemar sepakbola Italia masih ingat betul dengan sosok seperti Franco Baresi, Paolo Maldini, Fabio Canavaro, Gianluigi Buffon, hingga Alesandro Del Piero serta sederet pemain bintang lainnya.
Dalam daftar tersebut, kebanyakan berasal dari pemain yang mengisi lini pertahanan. Ya, Italia memang dikenal dengan sepakbola “cattenacio” atau pertahanan gerendel. Dari pertahanan itu, seni yang kental dengan Italia mengalir deras dalam setiap pemain belakang mereka. Sebut saja Paolo Maldini. Mantan kapten AC Milan itu menyebut jika sepakbola Italia tidak hanya memikirkan tentang hasil, namun juga permainan indah, khususnya dalam bertahan.
Jika kalian merupakan penggemar sepakbola sejati, maka nama Maldini tak akan luput dari daftar bek terbaik sepanjang sejarah. Skill bertahan elegan, tekel menawan, hingga timing luar biasa, semuanya ada dalam sosok il Capitano Paolo Maldini. Maldini memanglah sosok bek luar biasa, ia beranggapan kalau melakukan tekel kepada lawan, maka itu adalah sebuah kekalahan. Bahkan pelatih legendaris Sir Alex Ferguson pun menyebut kalau ia tidak pernah melihat celana Maldini kotor. Padahal, ia adalah seorang bek!
Sejak dulu, Italia dikenal sebagai negara dengan seni bertahan terbaik dan telah menelurkan sejumlah bek legendaris dunia. Di era sepakbola 60an, Negri Pizza telah menelurkan pemain seperti Giovanni Trapattoni , Tarcisio Burgnich hingga ayahanda Paolo Maldini, yaitu Cesare Maldini.
Di era sepakbola 80an, sejumlah nama pun turut meneruskan tongkat keemasan bek-bek superior Italia. Di masa itu, nama-nama seperti Gaetano Sciera, Giuseppe Bergomi dan Franco Baresi menjadi yang paling menonjol.
Di era selanjutnya, tentu nama Maldini menjadi ikon. Seperti apa yang telah diceritakan, Maldini adalah salah satu contoh dari wajah pertahanan sepakbola Italia.
Sepeninggal era kepemimpinan Paolo Maldini, Fabio Cannavaro jelas menjadi pewaris tahta sang legenda. Pemain yang lahir di kota Naples itu bahkan sukses membawa armada Gli Azzuri yang saat itu dilatih Marcello Lippi menjadi jawara dunia.
Selain nama Cannavaro, semua pasti setuju kalau Nesta merupakan salah satu generasi emas pemain bertahan yang pernah dimiliki Italia. Bahkan, bisa dibilang dia menjadi yang terakhir dari tongkat pertama sejak dijalankan dulu.
Alessandro Nesta adalah pemain yang tumbuh di kawasan ibukota Italia. Meski sempat mendapat tawaran dari Tim Serigala, ayahnya yang merupakan Laziale langsung menolak tawaran tersebut dan mempertahankan Nesta untuk terus meniti karier di Lazio.
Sebagai anak muda yang penuh semangat, karier Nesta tidak langsung terjun ke posisi bek. Ia pernah dicoba sebagai striker hingga gelandang. Akan tetapi, setelah melalui sejumlah latihan dan percobaan, posisi palang pintu alias bek resmi diambil pria bertinggi 187 sentimeter.
Berada dibawah asuhan Zdenek Zeman pada musim 1995/96, bakat Nesta tertempa dengan baik. Memainkan sepakbola menyerang yang terlebih dulu dibangun dari belakang, Nesta jelas punya peran penting.
Setelah mendapat banyak ilmu dari pelatih asal Republik Ceko, kedatangan Sven Goran Erikssen pada tahun 1997 semakin membuat kualitas Nesta meningkat tajam. Memadukan kekuatan fisik, teknik, dan mental, Nesta begitu tampan saat mengawal lini pertahanan The Eagles. Apalagi, ban kapten melingkar di lengan.
Meski bek adalah posisi yang identik dengan permainan kasar, tapi Nesta justru sebaliknya. Sepanjang karier, Nesta adalah bek yang sangat estetis. Tekelnya sangat halus dan hampir selalu tepat sasaran, pengawalannya kalem tapi mematikan, bahkan kontak fisiknya terlihat tidak menyakitkan tapi sangat efektif dalam merebut bola.
Nesta adalah seniman berbeda dari posisi bertahan. Ia melukis dengan seluncuran tekelnya, mewarnainya dengan sundulan yang terarah, lalu dilengkapi dengan penempatan posisi yang tepat.
Kecemerlangan Nesta di Lazio mampu ia tularkan saat putuskan hijrah ke AC Milan pada tahun 2002. Bersama tim yang bermarkas di San Siro, kharismanya sama sekali tidak mengalami kelunturan. Malah, puluhan ribu supporter Milan menyebutnya sebagai salah satu bek terbaik dalam sejarah klub.
Ungkapan itu memang tidak terdengar berlebihan. Pasalnya, bersama Milan, Nesta sukses rajai Eropa sebanyak dua kali. Selain itu, diirnya juga turut menjadi pemain vital dalam keberhasilan Milan yang mampu rengkuh trofi Piala Dunia antar klub.
Meskipun serangkaian cedera mulai membatasi permainannya di lapangan, naluri dan pemahaman permainan tetap membuatnya menua seperti anggur, memainkan peran utama sampai hari-hari terakhirnya di klub AC Milan.
Bersama Milan, Nesta memiliki rekan duet jempolan seperti Paolo Maldini. Namun, disaat-saat terakhir bersama I Rossoneri, ia justru sukses membentuk duet unik bersama Thiago Silva. Sebab, saat itu Nesta sudah melewati masa jayanya, dan harus berpasangan dengan bek yang jauh lebih muda. Namun, kombinasi keduanya justru berbuah manis, salah satunya berujung gelar Serie A 2010/2011.
Salah satu masterpiece yang pernah diukir Nesta diatas lapangan adalah saat berhadapan dengan pemain sekelas Lionel Messi.
Kehebatannya tidak luntur di usia senja. Kala itu, saat usianya menginjak 36 tahun, ia berhadapan dengan Messi yang usianya 12 tahun lebih muda. Di babak perempat final Liga Champions 2011/12 itu, Nesta merebut bola dari kaki Messi dengan tekel yang sangat presisi dan halus, bahkan sesaat La Pulga tidak menyadari kalau bola sudah hilang dari kakinya.
Messi terjatuh di kotak penalti, tapi dia tidak protes ke wasit untuk meminta penalti. Ia tampak frustasi dan terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan Nesta. Seorang bek berusia 36 tahun, yang sudah jauh melewati masa jayanya, membuat seorang dewa sepak bola masa kini terlihat tidak berdaya.
Setelah Italia melahirkan bek sekelas Nesta, mereka tetap konsisten dalam menciptakan generasi pemain belakang penuh talenta. Sebut saja nama Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini.
Namun meski keduanya berjaya bersama Juventus, mereka tidak pernah bisa memiliki “faktor X” layaknya Nesta dan para pendahulunya. Entah kenapa, sejak ditinggal pemain belakang seperti Cannavaro dan khususnya Nesta, Italia belum mampu ciptakan bek kharismatik nan elegan lainnya.
Bek-bek Italia saat ini bahkan berada dalam era menurunnya kualitas pemain belakang Azzuri. Bukti dari hal tersebut adalah saat Italia berhadapan dengan Spanyol di partai final Piala Eropa tahun 2012.
Italia yang dikenal punya lini pertahanan gerendel berhadapan dengan Spanyol yang dikenal punya permainan atraktif dan super ofensif. Saat itu, banyak yang memprediksi kalau pertandingan bakal berlangsung seru dan sangat menarik.
Tapi, semua anggapan itu salah besar. Italia dibabat habis oleh armada Matador. Pertahanan yang dikenal hebat itu justru dibuat runtuh tak berbekas oleh perlawanan Andres Iniesta dan kawan-kawan.
Italia, takluk 4-0 dari Spanyol.
Hingga saat ini, Italia masih coba temukan Nesta baru. Atau bahkan, Cannavaro, Maldini, hingga Franco Baresi baru. Well, tidak ada yang pernah tahu.