“Aku merasa lelah dengan hanya melihat Robertson. Dia melakukan sprint 100 meter per menit. Benar-benar luar biasa”.
Ungkapan itu terlontar dari mulut pelatih spesial, Jose Mourinho. Pria Portugal memberikan pujian kepada Robertson saat tim yang dulu diasuhnya, Manchester United, kalah dengan skor 3-1 atas Liverpool. Ketika itu, Mourinho mengaku kalau ia tidak bisa menafsirkan kecemerlangan seorang Andy Robertson.
Pujian memang kerap terlontar dari para pelatih lawan ketika Robertson diturunkan oleh Liverpool. Pria 178 cm dikenal sebagai pemain yang tak kenal lelah. Namun perlu diketahui, untuk bisa berada dalam level seperti sekarang, Andry Robertson juga harus menempuh jarak yang tidak dekat. Butuh waktu lama bagi Robertson untuk bisa menerima pujian dari berbagai pihak yang tertarik kepadanya.
Andy Robertson, dilahirkan di Glasgow, Skotlandia, sekitar 25 tahun lalu. Robertson kecil memiliki mimpi untuk menjadi seorang pesepakbola profesional. Ia selalu terpana kala melihat tim idolanya, Glasgow Celtic, bermain. Dalam fikirannya saat itu, Robertson ingin bermain untuk Celtic dan menjadi jawara bersama raksasa Skotlandia tersebut.
Mimpinya mulai terbuka ketika Robertson berusia 15 tahun. Saat itu, dirinya memang sudah menekuni sepakbola sedari kecil. Ia tergabung dalam klub sekolah dan didapuk sebagai kapten tim. Di usia tersebut, Robertson berkesempatan gabung dengan klub Celtic muda. Tommy Burns, yang menjabat sebagai Kepala Pengembangan Pemain Muda Celtic, tertarik dengan bakatnya.
Perjalanan awal Robertson di tim muda Celtic berjalan begitu mulus. Bak mimpi yang seolah menjadi kenyataan, ia begitu nyaman dengan seragam hijau putih. Ia selalu antusias dalam bermain dibawah arahan Burns. Burns selalu mengapresiasi apa yang dilakukan Robertson. Dengan begitu, hubungannya dengan sang pelatih pun berjalan dengan sangat baik.
Burns bahkan dianggapnya sebagai pelatih jenius karena bisa melihat setiap bakat Robertson.
Akan tetapi, kebersamaan Robertson dengan Burns tak berjalan lama. Bak petir disiang bolong, Robertson mendapat kabar bahwa Burns meninggal dunia akibat kanker yang menggerogoti tubuhnya. Saat itu, Robertson merasa sangat terpukul. Robertson kehilangan seorang pelatih yang selama ini berperan penting dalam membantunya berkembang.
Selepas kepergian Burns, Robertson merasa takut dan gelisah kalau-kalau pelatih barunya nanti tak sebaik dan sejenius Burns. Namun, ia mencoba optimis dan percaya kalau perjalanannya di Celtic akan tetap berjalan baik.
Tak lama setelah kursi kepelatihan tim muda Celtic kosong, seorang pria dari Motherwell datang. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, apa yang menjadi kekhawatiran Robertson saat itu benar terjadi. Pelatih baru Celtic yang menggantikan Burns lebih mengedepankan kinerja fisik. Ia lebih suka dengan pemain yang berbadan tinggi dan kekar. Tidak seperti Robertson yang tubuhnya tidak terlalu tinggi dan kurus.
Tak hanya terdepak dari skuat, Robertson benar-benar terbuang dari tim muda Celtic. Robertson dianggap tak mampu bersaing dan memiliki badan yang terlalu kurus.
Padahal, saat itu, Robertson sudah melakukan berbagi upaya agar bisa mendapat kepercayaan dari sang pelatih anyar.
Terbuang dari Celtic bukan sesuatu yang ringan bagi Robertson. Itu adalah masalah. Itu adalah bencana. Dan itu adalah malapetaka. Robertson putus asa dan sempat berfikir untuk berhenti mengejar mimpinya. Setelah melakukan pembicaraan dengan kedua orang tuanya, Robertson kembali mendapat suntikan energi. Dia siap kembali melanjutkan mimpinya. Namun jika kembali gagal, ia berjanji untuk hanya berfokus pada pendidikannya saja.
Akhirnya, Robertson bergabung dengan kesebelasan divisi tiga Skotlandia, Queen’s Park. Mantan pelatihnya di Queen’s Park dahulu, Gardner Speirs, masih ingat betul bagaimana semangat Robertson saat melakukan latihan dengan tim. Gardner Speirs melihat rona wajah menggebu-gebu dari seorang Robertson. Bocah yang dibuang oleh Celtic itu tampak miliki semangat membara untuk buktikan diri sebagai pemain yang sangat layak dipertahankan.
“Andy meninggalkan Celtic ketika dia berusia sekitar 15 tahun, dan datang ke akademi kami. Jelas ia kecewa karena meninggalkan klub sebesar Celtic.
“Aku melihatnya tiga kali dalam seminggu. Dia selalu memberi 100 persen dalam pelatihan dan pertandingan, sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Itu hal utama yang ku ingat.” ungkap Gardner Speirs (dikutip dari thesefootballtimes).
Saat itu, Robertson tidak mendapat bayaran. Itu karena Queen’s Park termasuk kedalam kesebelasan amatir. Kondisi tersebut tidak menjadi masalah bagi Robertson sebelum usianya genap 18 tahun. Di usia itu, biaya hidupnya sudah tidak ditanggung orang tua. Ia kebingungan dan merasa frustasi karena tidak memiliki pekerjaan.
Bahkan suatu hari Robertson sampai meluapkan rasa frustasinya kedalam sebuah cuitan di Twitter. Ia mengatakan,
“Hidup di zaman seperti ini adalah sampah tanpa uang #ButuhPekerjaan”.
Beruntung, Robertson saat itu mendapat pekerjaan berupa menjaga loket untuk tiket pertandingan. Ia bertemu dengan Andy McGlennan, salah satu orang penting di kompleks olahraga Hampden Park. Tanpa basa-basi Robertson pun langsung menerima tawaran tersebut.
Pekerjaan itu dianggapnya tak mengganggu latihan tim. Robertson bekerja dari pukul 9 pagi sampai 5 sore. Dan dimalam harinya, ia berlatih bersama Queen’s Park. Meski fokusnya terbagi, Robertson tetap mampu bermain baik. Ia bahkan berhasil membuat sang pelatih terkesan dilaga debutnya. Keterampilan, sikap, dan tekad yang ditunjukkan Robertson membuatnya selalu dimainkan dalam setiap pertandingan.
Setelah membawa timnya finish diperingkat ketiga, Robertson pun lantas bergabung dengan Dundee United. Berada diklub tersebut membuat keterampilan bermainnya semakin terasah. Mantan pelatihnya, Jackie McNamara, pun merasa terkesan dengan performa yang ditunjukkan Robertson. Memainkan sebanyak 36 pertandingan, Robertson sukses sarangkan 3 gol di semua kompetisi.
Disana, Robertson berhasil membawa Dundee United mencapai final Piala Skotlandia.
Pasukan McNamara saat itu, termasuk Ryan Gauld, Stuart Armstrong dan Gary Mackay-Steven, namanya kerap dikumandangkan dalam setiap pertandingan Dundee. Akan tetapi, Robertson lah yang dianggap mengalami perkembangan paling signifikan.
Semusim membela Dundee cukup bagi Robertson untuk dilirik klub asal Inggris, Hull City. Dikontrak dengan durasi tiga tahun, Robertson mulai kepakkan sayap dibelantara sepakbola Eropa.
Steve Bruce yang kala itu tangani Hull langsung memberi kepercayaan kepada Robertson. Dirinya tampil moncer dan berhasil raih penghargaan Player of The Month.
Robertson dengan cepat menjadi bagian penting dalam kubu The Tigers. Ia dianggap sebagai pemain dengan loyalitas tinggi karena setia membela Hull dalam keadaan apapun. Namun kesetiaan Robertson tak cukup kuat untuk membendung tawaran yang diajukan Liverpool. Tiga tahun perjalanannya bersama klub yang bermarkas di Hull City Stadium terbayar dengan seragam merah kebesaran The Reds.
Kala itu, selain membuat mimpinya menjadi kenyataan, Robertson juga sangat terkesan dengan Klopp yang memang mengetahui latar belakang kehidupannya. Namun, masa-masa indah di Liverpool tak langsung ia dapatkan. Robertson terus menjadi cadangan dan merasa frustasi karena tak kunjung mendapat tempat di skuat Jurgen Klopp.
Kala itu, Klopp sempat dikritik karena pertahanan Liverpool dianggap tidak kreatif. Alberto Moreno yang bergantian dengan James Milner dianggap tidak memiliki defensif yang baik.
Hingga pada akhirnya, sebuah cedera yang dialami Moreno pun menjadi berkah bagi Robertson. Pada suatu malam di Anfield, saat melawan Spartak Moskwa, Alberto Moreno meringis kesakitan jelang babak pertama berakhir. Ia cedera dan digantikan oleh James Milner. Meski saat itu bukan dirinya yang menggantikan Moreno, setidaknya Robertson punya kesempatan bagus untuk unjuk gigi.
Setelah mendapat kesempatan bermain, Andy Robertson berhasil membuat Jurgen Klopp terkesan. Kerja kerasnya membuahkan hasil. Perlahan tapi pasti, Robertson dapatkan tempat utama di skuat The Reds.
Energi, umpan akurat, tekel dan intersep brilian menjadi kunci bagi Robertson untuk mengalihkan pandangan supporter Liverpool kepadanya.
Melihatnya menggiring bola, melihatnya berlari kencang, melihatnya penuh determinasi kala menyisir sisi kiri Liverpool membuat para pendukung semringah.
Pujian terus diarahkan kepada pemain bernomor punggung 26 itu. Andy Robertson pada akhirnya dianggap sebagai bek kiri terbaik Liverpool saat ini.
Pujian, do’a, dan kerja keras yang terus dilakukan Robertson pun akhirnya berbuah manis. Meski sempat kecewa karena gagal menangi trofi Liga Champions melawan Real Madrid, di musim berikutnya ia sukses membyar dahaga pendukung Liverpool dengan sebuah gelar Liga Champions Eropa. Lebih dari itu, Robertson mulai dikenal sebagai salah satu bek kiri terbaik di Eropa.