Jika Anda para pencinta Liga Inggris, terutama para pendukung klub Liverpool atau Everton tentu tidak asing dengan laga sarat gengsi bertajuk Derby Merseyside. Derby tersebut adalah laga yang mempertemukan Liverpool melawan Everton.
Derby Merseyside menjadi salah satu dari beberapa pertandingan yang bertensi tinggi di Inggris, selain tentunya laga antara MU kontra Liverpool, Chelsea vs Arsenal atau MU lawan City.
Tentunya terlepas dari posisi di liga, Everton menghadapi Liverpool tetap menjadi salah satu pertandingan terbesar dan paling ditunggu-tunggu di negara tersebut, bahkan di daratan eropa.
Lantas bagaimana awal mula rivalitas sengit yang terjadi diantara kedua kubu dalam satu kota tersebut ? jawabannya karena politik, uang, dan tentu saja, gengsi. Ya, karena tiga hal itulah Derby Merseyside lahir.
Tokoh yang menginisiasi lahirnya permusuhan di antara Liverpool dan Everton adalah John Holding. Ia merupakan salah satu orang paling berpengaruh di Kota Liverpool sekitar akhir abad ke-19. Selain sebagai pengusaha dan politikus, Houlding juga berkecimpung di olahraga yang suatu hari bakal identik dengan kota tersebut: sepak bola.
Di tangan Houlding, politik, uang, agama, dan gengsi menjadi bahan bakar untuk menyulut api perseteruan. Awalnya, di Kota Liverpool hanya ada Everton Football Club yang berdiri tahun 1878 dan Stadion Anfield. Keduanya pun berbau campur tangan Houlding.
Selain duduk di jajaran direksi Everton, dia juga merupakan kawan dekat pemilik Anfield, John Orell. Awalnya, semua berjalan lancar. Everton yang sempat dua kali pindah markas akhirnya menemukan kandang yang pas untuk mereka.
Selama delapan tahun Everton berlaga di Anfield hingga 1892. Namun, delapan tahun itu tidak mereka lalui dengan lapang dada. Permasalahannya? John Houlding, tentu saja. Pada 1885, setahun setelah Anfield selesai dibangun, Houlding membeli stadion itu dari Orell.
Dia pun kemudian meminta uang sewa yang makin lama makin tinggi kepada pihak Everton. Selain itu, dia juga memaksa para pemain Everton untuk menggunakan Sandon Hotel yang dimilikinya untuk tempat berganti pakaian dan harus bayar.
Selain soal ketamakan Houlding, fakta bahwa dia adalah sosok politikus konservatif juga membuat friksi terus terjadi. Sebabnya, kebanyakan dari mereka yang punya hajat di Everton adalah orang-orang liberal.
Tahun 1892, Everton memutuskan untuk angkat kaki dari Anfield dan membeli tanah untuk jadi tempat stadion baru di Goodison Park. Houlding yang tak mau kalah pun akhirnya merespons dengan mendirikan klub sepak bola baru, yang diberi nama Liverpool FC.
Pertemuan pertama antara Everton kontra Liverpool akhirnya terjadi di Liga Inggris –yang pada saat itu masih bernama Divisi Satu–tepat pada 13 Oktober 1894. Dalam pertandingan tersebut, Everton mampu menang dengan skor akhir 3-0.
Meski Everton berusia lebih tua, sulit untuk mengidentikkan Kota Liverpool dengan warna biru. Dalam perkembangannya, Liverpool yang berseragam merah-merah memang menjadi lebih perkasa. Tak hanya di Inggris, mereka pun sudah berulang kali menjadi jawara di Eropa.
Namun, para penduduk kota tidak silau oleh kilauan trofi yang menyeruak dari kabinet milik Liverpool. Tak seperti di Barcelona, bagi orang-orang Liverpool, klub sepak bola dari sana, ya, ada dua: Everton dan Liverpool.
Biar bagaimanapun juga, tanpa Everton, tidak akan ada Liverpool. Kedua klub ini memang seperti saudara kandung yang lahir dari rahim yang sama, tetapi berasal dari benih yang berbeda. Jika Everton lahir dari kesederhanaan, Liverpool lahir dari amarah.
Tak heran jika Everton memutuskan untuk mengidentikkan diri dengan warna biru dan putih yang tenang lagi menenangkan, sementara Liverpool memilih warna merah menyala.
Ketika mendirikan Everton pada 1878, para pendiri yang berasal dari Gereja Metodis Everton Santo Dominggus hanya punya satu tujuan: supaya para jemaat bisa berolahraga sepanjang tahun. Sebelumnya, selain kriket di musim panas, mereka tidak punya aktivitas olahraga lain.
Tak dinyana, Everton kemudian menjadi besar hingga akhirnya membutuhkan stadion yang bisa menampung ribuan, bahkan belasan ribu, penonton untuk berlaga. Hal itulah yang kemudian membawa mereka ke Anfield.
Dan hal itu pula yang pada akhirnya mengawali kelahiran Liverpool FC. Kedekatan sekaligus permusuhan Everton dan Liverpool ini tidak hanya terasa dari sisi emosional saja. Secara geografis pun mereka benar-benar berdekatan.
Dipisahkan oleh Stanley Park, Anfield dan Goodison Park jaraknya hanya sekitar 1 kilometer. Meski bau sumir permusuhan itu pelan-pelan masih bisa tercium dengan samar, ada alasan tersendiri mengapa Derby Merseyside, disebut juga dengan The Friendly Derby. Derby yang bersahabat.
Munculnya sebutan ini berasal dari hal-hal yang memang kasatmata. Tak jarang, dalam sebuah pertandingan yang mempertemukan kedua klub, di tribun stadion, para suporter kedua tim berbaur menjadi satu tanpa gontok-gontokan.
Hal itu bisa terjadi karena banyak di antara mereka yang berasal dari keluarga yang sama. Ayah pendukung Liverpool, ibu pendukung Everton, dan dua anak yang mendukung dua klub berbeda, dan itu bukan hal aneh di sana.
Kendati akrab di kalangan pendukung, tapi “Derby Merseyside” tidaklah bersahabat di lapangan. Kedua kubu tetap bertempur dengan sengit selama 90 menit. Bahkan jumlah kartu merah dalam pertemuan “Derby Merseyside” adalah sebuah rekor. Kartu merah yang sudah dikeluarkan sebanyak 21 buah, menjadi yang terbanyak di Liga Inggris.
Mantan kapten legendaris Liverpool, Steven Gerrard pernah dua kali diusir dalam laga melawan Everton. Lalu, ada pula Phil Neville, seorang Mancunian yang pernah mengapteni Everton. Neville, seperti halnya Gerrard, juga pernah dikartu merah dua kali dalam Derby Merseyside.
Selain itu, perpindahan pemain berseberangan juga terkadang menjadi bahan pergunjingan. Seorang Peter Beardsley merupakan pahlawan bagi Liverpool mengingat jasanya pada partai ulangan babak ke lima Piala FA 1991.
Pertandingan yang disebut-sebut sebagai salah satu partai panas Derby Merseyside. Liverpool unggul terlebih dahulu melalui gol Beardsley. Akan tetapi skor berakhir 4-4. Lalu pada akhir musim Beardley justru pindah ke Everton, sehingga cibiran para suporter Liverpool kepada Beardsley selalu muncul saat itu.
Sengitnya Derby Merseyside di lapangan juga pernah meretakkan hubungan dua sahabat kental yang sudah berkawan sejak masih bocah. Uniknya, dua sahabat itu bukanlah orang asli Liverpool. Mereka adalah Mikel Arteta dan Xabi Alonso.
Usai laga tahun 2009 lalu, Arteta dan Alonso rencananya bakal menyantap hidangan sambil melupakan laga derby sengit yang baru saja mereka lalui. Liverpool, tim yang dibela Alonso, menang 2-0 hari itu.
Namun, rencana itu batal. Saking kesalnya, dua orang kelahiran Basque ini memutuskan untuk lebih baik tidak bertemu saja. Tak hanya itu, mereka pun konon sampai tidak berbicara dengan satu sama lain selama beberapa waktu. Meski hubungan mereka kini telah pulih, kira-kira seperti itulah gambaran Derby Merseyside yang halus di luar, tetapi keras di dalam.
Selain itu, campur baur kesetiaan juga terasa aneh kalau melihat mereka yang turun ke lapangan. Leighton Baines dan Leon Osman misalnya adalah pendukung Liverpool tetapi mereka menjadi pemain pilar Everton pada beberapa tahun yang lalu.
Sementara Jamie Carragher yang pendukung Everton malah menjadi pemain Liverpool. Seperti juga Ian Rush, Robbie Fowler, Michael Owen dan Steve McManaman, di masa lalu kesemuanya adalah pendukung Everton tetapi menjadi legenda di Liverpool.
Sampai sejauh ini, Derby Merseyside telah merampungkan 233 pertandingan di semua kompetisi dengan Liverpool memenangkan 93, Everton 66 dan 93 laga berakhir imbang. Dari segi jumlah trofi, The Reds jauh lebih unggul dari Everton.
Tidak seperti laga Derby yang lain, walau tekel keras antara kedua kesebelasan di lapangan kerap terjadi, tapi hal itu tidak diikuti oleh para pendukungnya. Sehingga tidak ada perkelahian antara keluarga dalam satu kota tersebut.