Dani Alves da Silva atau biasa disapa Dani Alves, layak disebut sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki FC Barcelona. Selain tangguh, garang, dan menjadi salah satu bek terbaik, Alves merupakan pemain spesial yang pernah dimiliki kubu La Blaugrana, bahkan Juventus hingga Paris Saint Germain.
Dani Alves pernah menyebut bahwa ia memiliki rahasia yang mungkin tidak banyak diketahui orang.
Cerita bermula saat FC Barcelona berhasil lakukan comeback sempurna melawan Paris Saint Germain di ajang Liga Champions Eropa. Saat itu, jika Barca menang, maka mereka akan melawan Juventus.
Dani Alves yang sudah hijrah ke Juventus pun ikut menyaksikan pertandingan tersebut. Ujarnya, meski banyak media yang mengatakan kalau Alves berharap Barcelona kalah, dirinya menampik segala tuduhan yang tersebut.
Malam itu, dia menghabiskan waktu duduk di sofa untuk menyaksikan pertandingan antara FC Barcelona melawan PSG. Sambil berharap-harap cemas, Alves tetap mendukung Barcelona untuk mampu kalahkan PSG.
Saat Luis Suarez mencetak gol, dirinya mulai tersenyum. Hingga saat Neymar mampu ceploskan bola dimasa injury time, Alves mulai berteriak gila. Puncaknya, ia bertindak seperti orang-orang yang berada di Stadion Camp Nou saat mantan klubnya itu mampu lolos ke babak selanjutnya setelah Sergi Roberto mencetak gol tepat di menit 90+5.
Satu rahasia disini adalah, Alves masih sangat mencintai Barcelona. Dirinya terpaksa pergi dari Camp Nou saat itu karena manajemen bertindak semaunya. Ia merasa tidak dihormati dan seketika minta dijual dengan berkata,
“Kalian akan merindukanku!”
Saat itu, Alves memang sadar kalau Barca punya banyak pemain hebat. Jadi yang dia maksud bukan Barca akan merindukan pemain sepertinya, melainkan, Barca akan merindukan semangatnya, Barca akan merindukan sikapnya saat di ruang ganti. Dan Barca, akan merindukan seorang pemain yang rela bertarung habis-habisan demi menjaga kehormatan tim.
Bagi Alves, butuh perjalanan panjang untuk bisa menjadi pemain FC Barcelona. Bahkan, untuk menjadi seorang pesepakbola profesional pun dirasa sangat mustahil bagi seorang bocah yang tinggal di Juazeiro, sebuah desa kecil yang terletak di kawasan miskin Negri Samba.
Sedikit menarik ke belakang, hidup Alves kecil terbilang serba pas-pasan. Alves yang punya rumah sangat sederhana hanya tidur di sebuah kasur yang bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Tapi apa boleh buat, dia tetap bersyukur demi bisa meringankan perekonomian keluarga.
Selain itu, ketika masih kecil, Alves dan kakaknya sering pergi ke ladang untuk membantu ayahnya yang menjadi seorang petani.
Bercerita tentang masa kecilnya, Alves mengatakan,
“Setiap hari, aku dan kakakku pergi ke ladang, dan ayah sudah menunggu disana dengan sebuah tabung besar dibelakangnya.”
Tabung yang dimaksud Alves adalah tabung pestisida.
Alves kecil sering pergi ke ladang dengan membawa cangkul yang diletakkan dipundak. Salah seorang tetangganya, Antonio Damiao Oliveira da Silva, bercerita tentang keseharian Alves,
“Dani Alves selalu bekerja di ladang. Ia selalu membawa cangkul dipundaknya.”
Sebetulnya, Alves pernah mengeluh tentang kondisinya sewaktu kecil. Ia pernah bercerita bahwa ia tidak kuat menjalani kehidupan yang sedemikian berat. Tapi, tekad Alves untuk mensejahterakan keluarga di kemudian hari terus berkobar.
Saat itu, Alves terus bersemangat membantu sang ayah dan tidak lupa berlatih sepakbola dengan para tetangganya disebuah lahan kosong.
Perlu diketahui juga, ketika membantu sang ayah di ladang, Alves dan kakaknya sering berkompetisi. Siapa yang bekerja paling keras dan mendapat hasil lebih banyak untuk diberikan kepada sang ayah, maka dia berhak mendapat jatah mengendarai sepeda.
Ya, keluarga Alves cuma memiliki satu buah sepeda. Setelah membantu ayahnya, Alves harus berangkat ke sekolah. Dalam hal ini, jika dia tidak bisa mendapat jatah mengendarai sepeda, dia harus rela menempuh jarak ke sekolah yang tidak dekat dengan berjalan kaki.
Namun hasrat Alves adalah lebih dari sekadar mengendari sepeda.
Selain agar pergi ke sekolah tidak berjalan kaki, jatah mengendarai sepeda juga dimanfaatkan Alves untuk mengajak serta teman perempuannya yang ditemui dijalan. Setiap dia menaiki sepeda dan melihat ada teman perempuannya berjalan kaki, Alves bisa mendapat kesempatan untuk melakukan pendekatan.
Sepulang sekolah, Alves bercerita kalau dia masih melihat ayahnya bekerja keras di ladang. Setelah malam tiba, ayahnya juga masih melakukan pekerjaan ekstra, hanya demi menafkahi keluarganya.
Namun ada hari yang paling dinanti Alves bersama sang ayah. Yaitu ketika hari minggu. Disetiap akhir pekan, Alves kerap menonton bola bersama sang ayah dengan menggunakan tv hitam putih.
Karena gemar menonton dan bermain bola, Alves memiliki cita-cita, jika suatu hari nanti, dia ingin merubah “wajah” keluarganya lewat sepakbola. Kecintaan Alves terhadap sepakbola jelas tidak timbul begitu saja. Kecintaan itu turun dari sang ayah yang dulunya memang pandai bermain bola. Namun karena terbentur biaya, sang ayah gagal mewujudkan mimpinya.
Karena tidak ingin anaknya mengubur mimpinya dalam-dalam, ayahnya berusaha keras untuk mencari uang demi bisa memasukkan Alves ke sebuah sekolah sepakbola.
Tepat di usia 13 tahun, Alves resmi masuk ke sekolah sepakbola di kota yang lebih besar dari tempat tinggalnya.
Disana, Alves harus tidur disebuah pondok bersama dengan 100 anak lainnya.
Disana, Alves merasakan hal menyedihkan, yang mungkin tidak akan ia lupakan seumur hidup.
Ketika pertama kali masuk ke akademi sepakbola, Alves diberi dua outfit sepakbola oleh sang ayah. Itu karena Alves hanya punya satu setelan baju bola.
Lalu, ketika salah satu bajunya dicuci dan dijemur, Alves menaruh diluar dengan tujuan agar cepat kering. Nahas, bajunya hilang diambil orang. Meski kecewa, Alves berfikiran bahwa ini adalah pelajaran pertama yang didapat. Saat itu, Alves berkata,
“ini bukan lagi kehidupan di ladang. Ini adalah dunia yang sebenarnya!”
Semenjak kejadian itu, Alves sempat bersedih dan sangat merindukan keluarganya. Dia berfikir untuk pulang dan mengakhiri ini semua. Akan tetapi, dia berjanji kepada diri sendiri,
“Aku tidak akan pulang sebelum membuat ayah bangga. Aku akan berjuang, dan aku tidak akan pulang kerumah!”
Di usia 18 tahun saat itu, Alves bermain untuk klub Bahia. Disana, kualitasnya mulai terbentuk. Pelatihnya saat itu bahkan berkata,
“Alves, kamu diinginkan Sevilla. Apa kamu pernah mendengar nama itu sebelumnya?”
Dengan semangat dan tidak ingin mengecewakan pelatihnya, Alves menjawab,
“Aku tahu, pelatih! Sevilla adalah tempat yang sangat indah. Semua orang membicarakan itu.”
Meski menjawab pertanyaan pelatih dengan nada semangat dan penuh kegembiraan, Alves tidak tahu sama sekali tentang Sevilla. Saat itu, dia hanya tidak ingin tawaran itu gagal gara-gara dia tidak mengetahui tentang klub tersebut.
Setelah resmi mendapat tawaran dari Sevilla, Alves mulai mencari tahu tentang klub tersebut. Ternyata, yang dia dapat adalah Sevilla merupakan tim yang melawan Barcelona.
Setelah mendengar kata Barcelona, Alves langsung merasa bahagia. Saat itu yang ada difikirannya adalah, dia akan pergi ke Sevilla untuk bermain melawan Barcelona!
Setelah resmi bergabung dengan tim junior Sevilla, Alves sempat merasa tidak percaya diri. Ia takut, sulit bicara dalam bahasa Spanyol dan gugup karena jarang sekali mendapat kesempatan bermain.
Lagi-lagi, Alves berfikiran kalau dia ingin pulang ke Brasil dan mengakhiri semuanya.
Namun demikian, sang ayah kembali menjadi pelecut semangat Alves. Dia terus berjuang hingga mampu menembus tim utama Sevilla. Menghabiskan enam tahun di Sevilla, Alves menemukan banyak sekali hal menarik. Selain mendapat pengalaman berharga dan teman baru, Alves juga sukses menyumbangkan trofi Piala Eropa, Piala Super Eropa, hingga Copa del Rey.
Selain torehan trofi tersebut, ada satu yang membahagiakan yang barangkali lebih indah dari deretan piala yang disumbangkannya untuk klub yang bermarkas di Estadio Ramon Sanchez Pizjuan.
Hal itu adalah ketika sang agen memberi tahunya, bahwa Barcelona menginginkan jasanya!
Bak ketiban durian runtuh, Alves bersorak kegirangan. Dia bertingkah seperti orang gila dan tidak perlu berbohong dengan mengarang cerita tentang Barcelona!
Kegirangan Alves tampak begitu wajar. Di usia 18 tahun, dia bergabung dengan Sevilla hanya karena tim ini menjadi melawan Barcelona. Dan sekarang, dia malah menjadi salah satu pemain dari klub terbaik di dunia.
Alves menceritakan pengalaman yang begitu luar biasa di Barcelona. Mulai dari bertemu dengan pemain ajaib seperti Lionel Messi, sampai menjadi anak buah dari pelatih jenius semacam Pep Guardiola.
Dan satu hal yang paling berkesan baginya adalah trofi Liga Champions. Ya, masih ingat dengan janji Alves yang tidak akan pulang ke Brasil sebelum membuat ayahnya bangga?
Inilah momen tersebut!
Di tahun 2015, sang ayah sengaja terbang ke Berlin untuk menyaksikan Alves tampil di Final Liga Champions melawan Juventus. Alves ingat betul setelah ia bersama rekan setimnya merayakan kemenangan di lapangan, ia langsung membawa trofi tersebut ke pelukan sang ayah.
Mimpinya menjadi nyata. Alves mempersembahkan sebuah hal istimewa kepada sang ayah. Alves mempersembahkan sebuah kebanggaan kepada sang ayah.
Ketika itu, Alves tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto bersama sang ayah, lengkap dengan trofi Liga Champions dalam genggaman!
Mengomentari keberhasilan Alves, ayahnya berkata,
“Sekarang anakku sudah menjadi seorang pria!”
Selain keberhasilan itu, Dani Alves sukses mengukir sejarah di persepakbolaan dunia.
Dari suatu pagi yang ia jalani untuk pergi ke ladang lengkap dengan cangkul dipundaknya, kini Alves menjadi pemain yang mengoleksi trofi paling banyak di dunia.
Tentunya, hal tersebut tidak luput dari kepindahannya menuju Juventus dan Paris Saint Germain.
Medali juara Ligue One musim lalu adalah torehan ke-42 bagi Alves. Ia mengalahkan ikon Mesir, Hossam Hassan, yang mengumpulkan total 41 gelar bersama klub Al Ahly dan Zamalek. Selain itu, Alves juga mengungguli mantan rekan setimnya di Barcelona yakni Andres Iniesta yang mengumpulkan 37 gelar juara, bersama dengan bek Brasil lainnya, yakni Maxwell.
Terhitung, Alves telah mengumpulkan 3 trofi bersama Bahia, 5 trofi bersama Sevilla, 23 trofi bersama FC Barcelona, 2 trofi bersama Juventus, 5 trofi bersama Paris Saint Germain, dan 3 trofi bersama Timnas Brasil.
Dani Alves, cangkul yang dulu sempat ia pikul, kini jadi medali yang ia rangkul.