Kontrol bola dan kekuatan tendangan menjadi dua hal dari sekian faktor penting bagi keberhasilan seorang predator sejati. Nama-nama seperti Gonzalo Higuain, Romelu Lukaku, Mauro Icardi, Zlatan Ibrahimovic, hingga Karim Benzema menjadi contoh dari beberapa penyerang yang memang layak dicap mematikan.
Namun, bukannya memiliki apa yang seharusnya ada dalam diri seorang penyerang, sosok striker asal Italia bernama Filippo Inzaghi malah sukses menjadi kunci keberhasilan AC Milan dalam merajai Eropa beberapa tahun silam, meski hanya berbekal “keberuntungan”.
Menyorot dari kacamata pesepak bola awam, sulit rasanya untuk menyukai sosok Filippo Inzaghi. Dari segi kemampuan mengolah bola, baik itu dribel, tendangan, maupun sundulan bolanya, tak ada yang terlalu menonjol. Semua biasa-biasa saja. Dia tidak seperti Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo yang memiliki kemampuan olah bola yang memukau.
Para manajer klub Eropa pun tak sungkan untuk melontarkan rasa tidak sukanya kepada Inzaghi. Sir Alex Ferguson pernah bilang bahwa Inzaghi sudah lahir offside. Arsene Wenger, Gerard Houllier, dan Marcelo Lippi sama sekali tidak memberikan komentar pada Inzaghi meski dia menjadi pahlawan kemenangan Milan atas Liverpool di Athena lewat dua golnya.
Dia adalah sosok yang kejam, malah, kelewat kejam, jika sudah berbicara soal gawang lawan. Berbagai cara akan dia lakukan untuk mencetak gol, dan dia tidak akan lelah mencari ruang yang bisa dieksploitasi di lini pertahanan lawan. Inilah yang terkadang membuat pemain bertahan lawan, atau malah manajer lawan, kesal bukan kepalang.
Dari mulai gol ke gawang Pepe Reina, ketika Inzaghi secara tidak sengaja membelokkan tendangan Andrea Pirlo. Kemudian ada gol yang bolanya lebih dulu melewati kedua celah kaki Gianluigi Buffon. Hingga gol yang tidak akan pernah dilupakan ke gawang Oliver Kahn, ketika Inzaghi menjadi pencetak gol setelah memanfaatkan asisst yang berasal dari dirinya sendiri.
Aneh memang. Namun, justru itulah yang menjadikan Inzaghi diingat oleh banyak orang. Naluri pembunuhnya, yang hadir karena “analisis tiada henti semalam sebelum laga”, membuat Inzaghi selalu tahu cara menyengat di saat yang tepat. Meski sederhana, tapi memang itulah cara Inzaghi membuat namanya dikenal dunia.
Bagi sebagian orang, Inzaghi bukanlah tipe penyerang yang menjadi panutan. Lagi-lagi, kesederhanaanya dalam mencetak gol sering menjengkelkan lawan. Datang dari arah yang entah darimana asalnya, Inzaghi tiba-tiba sudah berada didepan gawang. Inzaghi disebut memiliki daya pikat aneh, penuh misteri, yang kerap terbungkus dalam sebuah teka-teki berbalut keberuntungan.
Filippo Inzaghi, yang lahir di Piacenza pada 9 Agustus 1973, memulai kariernya di Piacenza Calcio pada 1991. Tempat utama tidak langsung menjadi milik Inzaghi. Piacenza meminjamkannya ke AlbinoLeffe dan Hellas Verona. Ketika dipanggil pulang pada musim 1994/95, Inzaghi sudah siap. Dia memenangkan Serie B musim itu untuk Piacenza.
Inzaghi naik ke Serie A, tapi tidak bersama Piacenza. Dia pindah ke Parma per musim 1995/96, lalu pindah ke Atalanta di musim berikutnya. Bersama Atalanta nama Inzaghi semakin diperhitungkan.
Karena sering datang disaat yang tidak diduga-duga namun sebenarnya menguntungkan, tak terasa Inzaghi sudah mencetak lebih dari 270 gol sepanjang 603 pertandingan yang dia jalani selama karier sepak bolanya, dengan rincian gol terbanyak ketika membela AC Milan dengan 126 gol dan Juventus dengan 89 gol. Dengan catatannya ini, maka tak heran Inzaghi kerap dikaitkan sebagai pemain andalan Juventus atau AC Milan.
Musim 1997/98 menjadi awal dari kisah Inzaghi bersama Juventus. Didatangkan dari Atalanta, dia langsung menjadi andalan di lini depan Juventus. Dia menorehkan 18 gol di musim tersebut, menjadi pencetak gol terbanyak Juventus sekaligus mengantarkan Bianconeri menjuarai Serie A musim tersebut.
Namun, setelah itu, hubungan Inzaghi dan Juventus memburuk. Pertikaian yang acap terjadi antara dirinya dan Alessandro Del Piero, serta kedatangan David Trezeguet pada awal musim 2001/02 akhirnya membuat Inzaghi memutuskan pindah ke AC Milan. Di San Siro inilah, bakat Inzaghi sebagai pencetak gol semakin terasah.
Tentu saja, dia bukan hanya seorang finisher, tetapi juga seorang penghasut yang tahu bagaimana mendapatkan posisi yang tepat. Selain 126 gol yang sukses disumbangkan pemain berjuluk Super Pippo tersebut, berbagai gelar prestisius seperti dua kali menjuarai Serie A, Champions League, dan UEFA Super Cup; satu Coppa Italia dan FIFA Club World Cup melengkapi prestasinya.
Di Tim Nasional Italia, Inzaghi menjuarai Piala Eropa U-21 1994 dan Piala Dunia 2006.
Saat ini, sulit untuk menemukan penyerang seperti Filippo Inzaghi. Perkembangan taktik yang membuat sepak bola menjadi semakin cepat membuat Inzaghi tergerus, sampai akhirnya dia memutuskan pensiun dari dunia sepak bola pada 2012 silam.
Namun, selayaknya Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo, Inzaghi adalah penyerang yang mewakili sebuah era. Pada masa ketika sepak bola adalah tentang keindahan dan umpan-umpan matang, Inzaghi muncul dan menjadi sebuah legenda, mewujud salah satu penyerang yang cukup diingat di masanya.
Filippo Inzaghi, datang secara tiba-tiba, mencetak gol, lalu menjadi legenda.