Sebagai klub besar yang sarat akan prestasi, Manchester United tentunya memiliki sejarah panjang dalam pentas sepak bola dunia. Tak terkecuali di ajang Liga Champions. Selain capaian prestasi yang pernah di torehkan, momen mengharukan bahkan peristiwa mencekam pun pernah di alami oleh Manchester United.
Salah satu momen yang tak terlupakan oleh para penggemar Setan Merah adalah kejadian di Liga Champions musim 1993/94, yang mana menjadi musim kedua ajang antar klub paling bergengsi di eropa setelah perubahan format.
Pada 3 november 1993, Man United bertandang ke markas klub Turki, Galatasaray untuk menjalani pertandingan leg kedua putaran kedua Liga Champions. Ada hal yang mengejutkan saat tim setan merah pertama kali menginjakkan kaki di kota Istanbul.
Sesaat setelah mendarat di Bandara Istanbul Ataturk, MU melihat banyak pendukung Galatasaray menyoraki dan mengejeknya. Pendukung Galatasaray juga membentangkan spanduk yang mengintimidasi tim Man United.
Beberapa orang pendukung tuan rumah mengatakan itu akan menjadi 48 jam terakhir mereka (MU) hidup. Kemudian juga terdapat tulisan “RIP Manchester”. Dan yang paling terkenal menyatakan: “Welcome To Hell” atau “Selamat Datang di Neraka”.
Pendukung Galatasaray memang terkenal ganas. Keganasan pendukung Galatasaray melebihi para hooligan di Inggris atau bahkan ultras di Italia. Dan Manchester United menjadi salah satu dari sekian banyak korban keganasan pendukung Galatasaray.
Pada laga itu, Man United tersingkir dari Liga Champions; kalah agresivitas gol tandang dalam agregat 3-3 dari Galatasaray. Leg pertama di Old Trafford berakhir 3-3 sementara leg kedua di Stadion Ali Sami Yen atau yang sekarang bernama Turk Telecom Arena berakhir 0-0.
Pada laga itu pulalah semuanya terjadi. Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi anak asuh Sir Alex Ferguson kala itu. Selain tersingkir dari Liga Champions, Ferguson beserta pemain dan stafnya menerima perlakuan tidak mengenakkan dari pendukung tuan rumah.
Sebelum pertandingan, Skuad Man United menginap di hotel yang terletak di Bosporus yang merupakan tempat yang indah dengan pemandangan perairan dan jembatan megah. Namun, perlakuan yang mereka dapatkan di hotel tidak seindah pemandangan yang ada.
Seakan-akan semuanya dibiarkan oleh pihak yang berwajib. Saat berada di hotel, para pemain MU mendapatkan gangguan dari fans tuan rumah berupa teriakan-teriakan intimidasi, Para pemain setan merah termasuk kiper Peter Scheimechel juga diteror melalui panggilan telepon berkali-kali sehingga mengganggunya untuk tidur.
“Salah satu pelayan berdiri di dekat pintu dan aku tersenyum padanya. Dia mengusapkan jarinya ke lehernya (gestur pembunuhan) dan aku terus berjalan. Kemudian saya berpikir bahwa kami tidak aman di hotel ini,” ujar bek MU kala itu, Gary Pallister (Dikutip dari laman Independent)
Satu jam menjelang pertandingan dimulai, Sir Alex Ferguson memerintahkan pemainnya untuk melakukan pemanasan di lapangan. Bak seperti di neraka, suasana di dalam stadion benar-benar panas.
“Saya harus mengatakan bahwa di dalam stadion itu, suasananya luar biasa, luar biasa. Itu hanya ‘kata hinaan’ yang mengelilingi pertandingan dan hal tersebut membuatnya menjadi sangat tidak menyenangkan,” ujar Pallister (Dikutip dari The Guardian)
“Ada begitu banyak suar dan begitu banyak asap, tampaknya seluruh stadion terbakar,” Gary Neville menambahkan. (The Guardian)
Steve Curry, seorang jurnalis yang ada di pertandingan itu, mengungkapkan bagaimana rasanya di dalam stadion pada malam itu bagi orang-orang netral.
“Pihak Turki memiliki reputasi untuk menciptakan permusuhan di dalam stadion mereka dan malam ini menjadi yang paling menakutkan dalam karir 45 tahun saya,” katanya. (Dikutip dari ESPN)
Setelah Kick Off dimulai laga langsung berjalan panas. Gelandang MU saat itu, Roy Keane menjelaskan betapa tingginya tensi pertandingan. Menurutnya Galatasaray melakukan segala cara untuk menyingkirkan MU pada aturan gol tandang. Ada banyak pelanggaran, diving, membuang-buang waktu dan mendesak wasit. . Semua kacau.
Di akhir laga, penyerang MU, Eric Cantona, kehilangan kesabarannya. Sesaat setelah pelanggaran yang dilakukan Denis Irwin terhadap Reinhard Stumpf, Cantona berseteru dengan para pemain Galatasaray. Cantona kesal karena Stumpf seolah mengulur-ulur waktu dengan berlama-lama berbaring di tanah.
Tak sampai di situ, Cantona juga menghina wasit, Kurt Rothlisberger. Saat itu juga sang wasit melayangkan kartu merah terhadap Cantona dan dia pun diusir dari lapangan. Kemudian, peluit akhir pun dibunyikan.
Beberapa polisi melindungi pemain MU dari keganasan pendukung Galatasaray saat mereka berjalan menuju ruang ganti. Namun, Cantona merasakan adanya pukulan yang dilayangkan kepadanya dari arah belakang. Kemudian, Bryan Robson membalas pukulan tersebut tetapi dihadang oleh perisai. Robson merasa bahwa ada seorang polisi yang memukul Cantona dari belakang.
Cantona pun kalap, dia mencari polisi yang berniat melukainya. Roy Keane menjelaskan betapa marahnya Cantona saat itu.
“Di ruang ganti, Eric menjadi gila. Sementara yang lainnya hanya ingin keluar dari sana, dia bertekad untuk kembali ke luar untuk mencari polisi nakal yang memegang pentungannya. Eric adalah seorang yang besar dan kuat. Dia serius, dia bersikeras akan membunuh aparat itu,” tutur Roy Keane (Dikutip dari Independent)
Lebih lanjut Keane juga menjelaskan bahwa butuh upaya lebih untuk meredam amarah Cantona. “Butuh upaya gabungan dari manajer, Brian Kidd, dan beberapa pemain untuk menahannya. Biasanya saya tidak akan mundur dari perkelahian, tapi bahkan saya tidak siap untuk yang satu ini. Ada banyak orang Turki di luar sana!” (Dikutip the guardian)
Keganasan Pendukung Galatasaray tidak hanya di dalam stadion, tapi juga diperpanjang hingga seruan larut malam ke kamar hotel para pemain MU, mereka menghancuran jendela-jendela pada bus tim dan bahkan serangan terhadap para pemain MU oleh polisi Turki.
Cantona buka suara atas kejadian itu pada segmen wawancara. Dalam segmen wawancara bernama Unfiltered tersebut, Cantona menyebut bahwa polisi yang memukulnya adalah orang lemah. Cantona mengungkapkan bahwa dirinya sangat marah atas kejadian yang menimpanya.
Selain dialami oleh skuad setan merah, pendukung MU juga menjadi sasaran amukan suporter Galatasaray. Ratusan fans babak belur di sekitar kota pada malam sebelum pertandingan. Sekitar 164 fans dibuang ke sebuah penjara tanpa diberi makan dan minum. Satu kelompok suporter tidak pulang selama sebulan. Pengalaman mereka tak terhindarkan, menyedihkan, ditutup-tutupi oleh pihak berwenang.
Peristiwa-peristiwa kelam dalam laga tersebut adalah sesuatu yang sangat membekas di ingatan, baik untuk Cantona, pemain lain, Ferguson maupun seluruh pendukung Man United di seluruh dunia.