Jika diibaratkan sebuah film, sejarah Leeds United akan dipenuhi oleh drama. Perjalanan Leeds United dalam sepak bola Inggris memang layak dikenang. Namun bagi sebagian besar supporter asal Inggris, mereka akan menikmati masa-masa dimana Leeds tidak lagi muncul dalam kompetisi tertinggi.
Dirty Leeds. Begitu mereka dipanggil pada era 1970 hingga 1980-an. Hantaman keras, tekel tinggi, dan sikutan keras adalah tipikal permainan Billy Bremner dan kawan-kawan. Dipadu dengan kemampuan individu pemain serta racikan taktik manajer Don Revie.
Kombinasi permainan menawan dan kejam yang diperagakan membawa Leeds turut berprestasi di kancah internasional. Mereka tercatat pernah menjuarai Inter-Cities Fairs Cup dua kali.
Bagi yang lain Dirty Leeds, bagi mereka sendiri adalah Super Leeds. Mereka menjelma sebagai salah satu kesebelasan ternama di seantero Inggris. Bocah-bocah di kota-kota wilayah Yorkshire, seperti Huddersfield, Bradford, dan Hull lebih banyak yang mendukung Leeds ketimbang kesebelasan lokal.
Meski harum gelar juara Leeds layak diacungi jempo, tetap saja, mereka adalah kesebelasan yang pantas menerima kejatuhan.
Mereka dikenal memiliki penggemar setia, namun bisa berubah menjadi mengerikan ketika apa yang diharapkan tidak sesuai rencana. Mereka akan dengan rela menempuh perjalanan jauh demi mendukung tim kesayangan. Akan tetapi, seakan tidak peduli apa yang terjadi di lapangan, kemenangan akan selalu menjadi sebuah jawaban pasti dari cemooh masuk akal para penggemar lawan.
Kesombongan Leeds nyaris dibenci seluruh rakyat Inggris. Kecuali penggemar mereka sendiri, kumpulan orang-orang yang mencintai sepak bola akan siap bergabung demi menghajar penjahat dalam wujud Leeds.
Lagi-lagi, kecuali suporter sendiri, tidak ada yang mau mengingat perjalanan ajaib manajer Howard Wilkinson membawa klub promosi ke Divisi Pertama pada 1990 dan menjuarainya dua musim kemudian.
Leeds memang pernah menjadi sebuah kesebelasan besar. Bagi penggemar sepakbola di awal tahun 90an menjelang awal milenium pasti tidak asing dengan Leeds United.
Leeds terbilang klub yang memiliki tradisi yang sangat baik, selau berada dipapan atas liga bahkan selalu dijagokan untuk memenangi kompetisi yang diikutinya. Leeds juga menjadi salah satu rival abadi bagi Manchester United selain Liverpool.
Pertemuan yang disajikan kala Leeds bersua dengan Manchester selalu mendatangkan decak kagum bagi siapa saja yang menyaksikan pertandingan tersebut.
Didirikan pada 1919, Leeds menjadi sebuah perkumpulan orang yang menyukai sepak bola. Tidak banyak harapan yang dipanjatkan. Saat itu, mereka hanya ingin bermain bola dengan orang-orang yang paling tidak, mengerti bagaimana cara mencetak gol.
Jika itu akan menjadi sebuah prestasi, maka nama Yorkshire akan semakin terkenal, selain dengan keindahan situs budayanya.
Bermarkas di Elland Road, Leeds United mampu menjelma menjadi raksasa sepakbola di Inggris dan Eropa pada dekade 70an. Dibawah asuhan Don Revie pelatih legendaris Leeds United, mereka mampu merebut gelar juara divisi satu liga Inggris yang saat ini dikenal dengan Premier League.
Pada musim 1964/65 dan 1965/66 mereka tampil sebagai runner-up, sampai pada akhirnya musim 1968/69 mereka mampu menjadi kampiun dan dilanjutkan pada musim 1973/74.
Leeds juga tak hanya jago di tanah sendiri. Di persepakbolaan Eropa, Leeds mampu tunjukkan taring. Mereka tercatat pernah menembus semi-final Piala Winners dan menjadi runner up di musim 1972/73.
Tak mengherankan, Don Revie, yang menjadi otak “kejam” nya Leeds diatas lapangan sampai dibuatkan patung dan menjadi salah satu dari 50 tokoh besar sepakbola sepanjang masa.
Selepas kepergian Don Revie, Leeds sempat alami pasang surut. Mantan asistennya, Brian Clough, yang saat itu ditunjuk sebagai juru taktik tak benar-benar jenius untuk membawa Leeds tetap berada di level tertinggi.
Mereka mulai akrab dengan kekalahan, hingga pada akhirnya di hari ke 44 masa jabatannya, Clough resmi digantikan oleh Armfield.
Dibawah nahkoda Armfied, Leeds menunjukan perkembangan yang signifikan. Pada musim 1974/75 dengan motor tim sang legenda Billy Bremner, Leeds hampir saja menjuarai European Cup. Namun nahas mereka harus puas menjadi runner-up setelah dihempaskan oleh raksasa Jerman Bayern Munchen melalui pertandingan yang sangat sengit.
Manajemen yang tak puas dengan kinerja Armfield lantas menggantinya dengan Jack Stein. Namun, belum juga masa jabatannya genap dua bulan, Stein mengundurkan diri karena lebih memilih untuk mengambil pekerjaan sebagai pelatih Skotlandia.
Mundurnya Stein membuat Jimmy Adamson maju sebagai nahkoda selanjutnya. Namun Adamson juga mengundurkan diri hingga munculkan nama Allan Clark.
Di era kepemimpinan Clark, Leeds harus menelan pil pahit karena harus rela terdegradasi ke kasta kedua. Clark dipecat dan digantikan mantan koleganya Eddie Gray, dengan ekspektasi yang sangat tinggi untuk kembali ke jalur divisi satu liga Inggris kala itu.
Setelah terus melakukan tradisi mengganti pelatih, sampailah Leeds pada sebuah era. Adalah Howard Wilkinson. Ia mampu mengembalikan kejayaan klub di akhir 80an hingga awal 90an.
Langkah awal dari Wilkinson untuk mengembalikan kejayaan klub, ialah dengan mendatangkan Gordon Strachan dari Manchester United. Pemain tengah legendaris Skotlandia tersebut mampu menunjukan kelasnya, bersama Wilkinson dan rekan setimnya akhirnya Leeds berhasil kembali ke kasta tertinggi Inggris pada musim 1989/90.
Tak mudah bagi Leeds untuk mengembalikan predikat tim raksasa. Semua orang memandang sebelah mata tim yang bermarkas di Elland Road, ketika baru promosi ke First Division, atau yang sekarang kita kenal sebagai Premier League.
Namun mereka justru langsung berhasil mengakhiri musim perdananya di peringkat empat klasemen dan lolos ke semifinal Piala Liga Inggris. Tren tersebut disempurnakan dengan titel juara pada musim berikutnya.
Langkah Wilkinson dalam mendatangkan Strachan terbukti ampuh. Dia menjadi jenderal di lini tengah Leeds. Kuartetnya bersama Gary McAllister, David Batty, dan Gary Speed memiliki segala yang dibutuhkan untuk meraih trofi, yaitu kecepatan, kecerdasan, pengalaman, kreativitas, kekuatan, dan kekompakkan.
Jika Stratchan adalah otak permainan dan sumber kedewasaan, maka Speed dan McAllister menjadi semangat muda yang melengkapi lewat kecepatan dan ketajaman. Adapun Batty yang menjadi penyeimbang sebagai tukang jagal.
Lee Chapman dan Rod Wallace menjadi penggedor di lini depan. Kedua penyerang tersebut terbukti produktif dengan torehan 74 gol.
Saat itu, umpan-umpan pendek menjadi pola permainan andalan Leeds. Hal itulah yang menjadi kunci keberhasilan Leeds racikan Wilkinson dan juga andil besar managing director bernama Bill Fotherby.
Menjuarai liga hanya dua musim setelah promosi jelas merupakan sebuah raihan istimewa. Hanya Nottingham Forest-nya Brian Clough yang punya catatan lebih baik.
Dengan semangat yang tinggi berbekal prestasi di musim sebelumnya, Leeds berambisi mengukir prestasi yang lebih baik. Tetapi apa yang diharapkan jauh dari kenyataan, mereka kembali inkonsisten, beruntung mereka mampu lepas dari lubang neraka degradasi.
Dalam hal ini, mereka hancur karena dirinya sendiri. Arogansi dan tingkah buruk suporter yang berhasil diredam selama beberapa tahun kembali muncul selepas Wilkinson dipecat pada 1996.
Musim 1996/97 mereka harus kembali menelan pil pahit, ketika timnya dihajar seteru abadinya Manchester United dengan gelontoran 4 gol tanpa balas. Leeds pun harus menerima kenyataan pahit tersebut dan mengakhiri kompetisi berada diposisi ke 13 klasemen akhir.
Sebagai juara terakhir First Division, Leeds adalah salah satu dari 22 kesebelasan perdana di Liga Primer. Leeds sempat mencapai semi-final Liga Champions 2000/01. Namun keuangan mereka kacau menyusul pengeluaran yang melampaui batas.
Banyak uang yang dikeluarkan untuk menggaji pemain sekaligus pelatih. Terlebih saat mereka gagal lolos ke Liga Champions 2002/03, mereka hanya mampu tempati posisi ke lima klasemen akhir.
Pada akhir musim 2003/04, Leeds akhirnya terdegradasi ke Football League Championship, setelah mereka menempati posisi ke-19 di Liga Primer.
Itulah akhir dari perjalanan Leeds. Hingga saat ini, mereka belum mampu tunjukkan taji, meski hanya sekadar mengisi layar televisi di kompetisi tertinggi.
Kebangkrutan Leeds pada tahun 2007 seakan makin menenggelamkan ingatan kita pada sebuah era dimana klub tersebut pernah menjadi raja di tanah britania.
Leeds sekarang masih berkutat di level kedua hirarki sepakbola Inggris.
Namun kini, dibawah kendali Marcelo Bielsa, Leeds mulai tunjukkan tanda akan kembali. Harum mawar putih Yorkshire mulai tercium aromanya.
Pelatih jenius Pep Guardiola bahkan tak segan untuk mengakui kalau ia sangat menantikan kehadiran Leeds ditangan Bielsa. Pep sangat mengagumi pelatih tersebut.
Pep mengaku menggemari Leeds United karena keberadaan Marcelo Bielsa. Ia berharap The Peacock bisa promosi ke Premier League musim depan. Leeds United menjelma menjadi tim yang menghibur sejak kedatangan Bielsa. Pelatih asal Argentina langsung sukses menerapkan filosofi menyerangnya di klub asal Yorkshire.
“Kami (manajer di klub-klub besar) menang karena kami berada di klub-klub top dengan para pemain bintang. Tetapi setiap pemain yang bekerja dengan Bielsa menjadi pemain yang lebih baik dan tim-tim tersebut juga jadi lebih baik,”
“Itu sebabnya ia adalah manajer spesial dan orang yang spesial. Aku adalah pendukung Leeds dan semoga mereka bisa berada di Premier League, itu akan bagus untuk Liga Premier,”
“Aku mengaguminya, karena pernah melatih Argentina dan berada di klub-klub besar, dan dia punya kerendahan hati untuk melatih di Championship ke tim bersejarah seperti Leeds, mencoba membawa mereka kembali ke Premier League. Aku mengharapkan yang terbaik untuknya,” ucap Guardiola (via onefootball).