Urusan meracik tim mungkin bisa menjadi hal yang begitu enteng bagi seorang Capello. Berfikir pragmatis dinilai menjadi kunci keberhasilan pria asal Italia ini. Pandai mengakali keadaan, pandai melihat dunia seperti apa adanya, hingga cukup melakukan apa yang harus dilakukan.
Semua itu tertuang dalam diri seorang Capello.
Dengan cara seperti itu, Capello mampu meraih banyak trofi meski mungkin sempat tidak diinginkan oleh kebanyakan orang.
Memulai karier sebagai seorang pemain, Capello mengumpulan sejumlah cara untuk bisa meracik tim dengan tampilannya sendiri. Pensiun di usia 34 tahun, Capello baru benar-benar melatih saat usianya menginjak 45 tahun.
Namun tenggat waktu yang tidak sebentar itu malah memunculkan Capello sebagai seorang yang jenius. Sepanjang karier kepelatihannya, ia telah berhasil membawa beberapa tim yang dibesutnya merengkuh trofi.
Akan tetapi, lagi-lagi, gaya bermainnya yang pragmatis sempat mendapat kecaman dari sejumlah pihak. Pragmatis, disisi lain, kerap bermakna negatif. Menjadi pragmatis dalam sepakbola menunjukkan gaya bermain yang membosankan, mencari aman, dan ketidakmampuan dalam menghibur publik.
Tapi, bagaimanapun, karier kepelatihannya tak boleh dianggap remeh. Ketika mulai melatih AC Milan pada 1991, Capello langsung membawa Milan meraih gelar Serie A musim 1991/92. Hebatnya lagi, prestasi itu berlanjut hingga tiga musim berikutnya, sehingga di awal karirnya bersama AC Milan, Capello langsung membawa Milan meraih empat trofi Serie A secara beruntun.
Ia juga berhasil membawa Milan menang atas Barcelona di final Liga Champions 1993/94, dimana itu membuat prestasinya bersama Milan semakin lengkap dengan gelar juara tersebut.
Di musim 1996/97, ketika dirinya mulai melatih Real Madrid, Capello langsung membawa Madrid berprestasi dengan meraih gelar La Liga di musim pertamanya melatih.
Musim 2000/01, yang merupakan musim kedua Capello melatih AS Roma, ia pun berhasil membawa Roma meraih gelar Serie A, dimana trofi tersebut menjadi yang terakhir hingga saat ini bagi I Gialorossi.
Tak sampai disitu, Capello yang menerima tawaran Juventus pada 2004 juga langsung menyumbangkan dua gelar scudetto secara beruntun, meski pada akhirnya dicabut karena kasus calciopoli.
Secara umum, cara bermain Juventus asuhan Capello tidak jauh berbeda dengan cara tim Milan-nya bermain. Dengan formasi 4-4-2, Capello menempatkan Patrick Vieira dan Emerson Ferreira, dua gelandang yang lebih dikenal akan kemampuan defensifnya, sebagai penghuni lini tengah. Mereka diapit oleh dua sayap dinamis dalam diri Mauro Camoranesi dan Pavel Nedved.
Juventus asuhan Capello itu hampir tidak pernah memainkan sepak bola yang atraktif. Namun, hasilnya tetap efektif dan itu terbukti dari dua gelar liga yang diraih.
Masih mengusung pola pragmatis, Capello kemudian kembali ke Madrid pada tahun 2006.
Disana, ia mendapat banyak kecaman karena menampilkan sepakbola membosankan. Capello dinilai banyak bertahan dan dianggap tak mampu memanfaatkan skuat emas Madrid kala itu.
Namun begitu, pragmatisme Capello kemudian bisa dinobatkan sebagai yang terhebat di dunia. Capello membalas kecaman dengan berhasil membawa Madrid menjuarai La Liga musim 2006/07.
Di Real Madrid, Capello dibantu oleh pemain-pemain bintang seperti David Beckham, Ronaldo, hingga Roberto Carlos. Nama terakhir mungkin menjadi yang paling berkesan bagi Capello. Pasalnya, ia punya cerita unik terkait dengan transfer sang manusia peluru.
Kehadiran Roberto Carlos di Real Madrid sendiri tak lepas dari peran Capello. Pelatih asal Italia itu bergerak cepat begitu tahu Roberto Carlos masuk dalam daftar jual Inter Milan di musim panas 1996 kala itu.
Capello mengaku tak percaya kalau ia bisa menggaet pemain sekels Carlos. Ketika tahu Carlos dijual Inter, Capello langsung mengirim faks dan berbicara kepada presiden tentang kemungkinan transfer ini.
Keesokan harinya, transfer langsung terjalin!
Bagi Capello, itu merupakan proses transfer yang sangat unik karena boleh dibilang menjadi yang tercepat dalam sejarah.
“Setelah aku datang ke Real Madrid, seorang agen berkata bahwa Inter menjual Roberto Carlos. Aku kemudian mengirimkan faks, berbicara dengan Presiden, dan hari berikutnya kesepakatan sudah tercipta. Mungkin proses tersebut bisa jadi yang tercepat dalam sejarah,” tutur Capello (dikutip dari 9sportpro)
Selain trofi La Liga pada musim 2006/07, Capello juga berhasil membawa Madrid menjadi jawara Spanyol bersama Roberto Carlos. Carlos sendiri menghabiskan 11 musim di Madrid dan meraih 13 trofi juara sebelum akhirnya hengkang ke Fenerbache di tahun 2007.
Untuk Capello, klub yang terakhir dilatihnya adalah Jaingsu Suning, sebelum akhirnya ia putuskan pensiun pada tahun 2018.