Pada tahun 2010, Stadion Free State menjadi saksi dari pertarungan klasik antara Jerman melawan Inggris. Kala itu, di babak perdelapan-final Piala Dunia 2010, sekitar 40 ribu pasang mata menyaksikan sebuah laga seru nan intens.
Di tanah Afrika, ada satu noda yang mengiringi catatan apik Die Mannschaft ketika itu yang akhirnya finis sebagai tim peringkat tiga.
Berlangsung pada menit ke-39, Frank Lampard melepaskan tembakan yang gagal diantisipasi oleh Manuel Neuer. Laju bola sepakannya kemudian menghujam bagian bawah mistar sehingga masuk sekitar satu yard di belakang garis gawang.
Namun sial bagi The Three Lions, tendangan keras Lampard yang berpotensi jadi penyama kedudukan menjadi 2-2 justru tidak diakui oleh wasit.
Lampard terheran, Inggris berduka, dan trofi Piala Dunia, kembali melayang.
Namun jauh sebelum gol hantu Frank Lampard, publik Jerman pernah dibuat hancur oleh gol hantu yang dilesatkan oleh pemain Inggris. Selain menjadi sebuah momen “pembalasan”, kekalahan Inggris di Piala Dunia 2010 juga setidaknya menjadi obat yang selama ini ditunggu oleh tim panser.
Ketika itu, tepat pada tahun 1966. Timnas Inggris dengan euforianya menggelar turnamen paling akbar sejagad. Mereka menggelar Piala Dunia dirumah sendiri.
Inggris tak hanya muncul sebagai negara yang sibuk menjadi tuan rumah, menyambut dan mengayomi siapa pun yang datang ke tempatnya untuk berpesta, namun juga membuat sejarah dengan menjadi sang jawara dunia.
Akan tetapi, dibalik gegap gempita perayaan publik Inggris, Piala Dunia 1966 dikenal sebagai salah satu yang paling kontroversial. Kemudian, gelaran tersebut juga menciptakan sejumlah momen tak terduga, salah satunya adalah hilangnya trofi piala dunia sesaat sebelum gelaran dilaksanakan.
Trofi Jules Rimet yang akan diperebutkan di Piala Dunia hilang saat dipajang menjelang turnamen tersebut dimulai. Namun lantas kejadian ini menimbulkan pahlawan di luar lapangan. Bukan seorang manusia, melainkan seekor anjing bernama Pickles yang mampu mengendus lokasi trofi tersebut ditemukan. Seekor anjing bernama Pickles akhirnya menemukan trofi tersebut terbungkus koran, di semak-semak Kota London.
Piala Dunia 1966 diikuti oleh 16 negara. Perinciannya adalah 10 negara dari Eropa, empat dari Amerika Selatan, Meksiko sebagai wakil Amerika Utara/Tengah, dan Korea Utara dari Asia.
Namun patut disayangkan karena negara asal Afrika tak diikutsertakan. Negara-negara dari benua tersebut protes pada keputusan FIFA. Federasi Sepak Bola Internasional mengharuskan juara Afrika mengikuti play-off melawan wakil Asia atau Oceania. Menurut mereka, status kampiun di wilayah sendiri sudah cukup untuk terbang ke Inggris.
Derita Piala Dunia 1966 tak sampai disitu saja.
Pada fase perempat-final, penggemar Uruguay, mengaku belum bisa melupakan kekalahan 0-4 timnya dari Jerman Barat. Saat itu dua penggawa penting Le Celeste, Horacio Troche dan Hector Silva diusir wasit. Hal serupa terjadi ketika Argentina melawan tuan rumah, di tahapan yang sama.
Kapten La Albiceleste, Antonio Ratttin mendapat kartu merah. Pengadil asal Jerman, Rudolf Kreitlein tak memahami bahasa Rattin (Spanyol) saat keduanya berdebat. Sang pemain dinilai mengintimidasi Kreitlein. Pada akhirnya tim Tango menyerah 0-1.
Puncak dari segala cerita kurang sedap di tanah tiga singa adalah kala tim tuan rumah lakoni laga pamungkas melawan Jerman Barat.
Sampai waktu normal berakhir, laga antara Jerman kontra the Three Lions imbang 2-2.
Sebelum turun minum, gol pertama Inggris dicetak oleh Hurst di menit 18. Itu menjadi balasan bagi gol pertama Jerman yang dibukukan oleh Helmut Haller di menit 12. Di menit-menit akhir pertandingan waktu normal, dua gol bersarang lagi, masing-masing satu ke gawang setiap tim. Gol Inggris dicetak oleh pemain yang sejak awal pertandingan sudah dihadiahi kartu kuning, Martin Peters, di menit 78. Sementara, gol kedua Jerman disumbang oleh Wolfgang Weber di menit 89.
Praktis, babak ekstra harus diterapkan untuk menentukan sang juara.
Semua berjalan dengan baik sebelum menit tunjukkan angka ke 100. Di menit tersebut, Inggris semakin gencar lancarkan serangan. Hasilnya, tuan rumah mendapat gol melalui aksi Geoff Hurst. Kedudukan menjadi 3-2 untuk tim asuhan Alf Ramsey.
Namun para penggawa Der Panzer lancarkan protes keras, lantaran mereka menilai bola sepakan Hurst belum melewati garis gawang. Saat itu, bola tendangan Hurst menghantam mistar atas gawang Jerman Barat, memantul ke tanah, dan masuk kembali ke lapangan permainan.
Kendati begitu, wasit Gottfried Dienst tak menggubris. Ia lebih memercayai asistennya Tofiq Bahramov yang mengangkat bendera tanda bola melewati garis gawang.
Gol ini kemudian menjadi kontroversi hingga sekarang. Nahas, konsentrasi Jerman buyar berkat “hantu” berwujud gol Geoff Hurst. Pemain tersebut kembali catatkan namnya di papan skor untuk Inggris.
Pertandingan itupun ditutup dengan skor 4-2 untuk kemenangan tim tuan rumah.
Bahramov yang menjadi asisten wasit kala itu menjelaskan bahwa ia sangat yakin kalau bola sudah memasuki garis gawang, Keyakinannya merujuk ketika pergerakan bola yang sepersekian detik memantul ke tanah tepat di bawah mistar, jaring gawang sudah membentuk sedikit tonjolan. Bentuk yang lazim muncul saat bola mengenai jaring.
Untuk Geoff Hurst sendiri, ia sebenarnya juga tak yakin apakah sepakannya itu benar-benar gol atau tidak. Yang menjadi keyakinannya saat itu hanya murni dari keputusan wasit.
Hurst pun tercatat sebagai satu-satunya pemain yang pernah mencetak hattrick pada pertandingan final Piala Dunia, meskipun sesungguhnya itu tak pernah terjadi karena bola belum melintasi garis gawang Jerman.
Selepas gantung sepatu pada 1977, Hurst beralih profesi sebagai manajer. Telford United adalah klub pertama Hurst menjalani karier sebagai manajer sejak 1976 hingga 1979.
Chelsea kemudian menjadi kesebelasan kedua yang dilatih Hurst, tepatnya pada 1979 hingga 1981. Karier Hurst sebagai manajer berakhir di Kuwait SC pada 1982 sampai 1984. Selain menjadi atlet sepak bola, Hurst juga pernah menjalani karier sebagai atlet kriket.
Sejak memori 1966, setelah berjaya di tanah sendiri, tim Tiga Singa tak pernah lagi menggenggam trofi internasional. Hal inipun seolah menjadi ironi. Pasalnya, kompetisi sepak bola Inggris, yaitu Liga Primer, menjadi kompetisi terbaik dan terketat di dunia. Ada kebanggaan masyarakat Inggris di sana. Saat kompetisi bergulir, ratusan juta pasang mata dari berbagai penjuru menyaksikan tiap pekannya.
Sederet klub besar dengan fan base militan ada di sana. Sebut saja Manchester United, Liverpool, Arsenal, Manchester City hingga Chelsea. Kondisi ini membuat sepakbola Inggris populer, dalam konteks bisnis liganya.
Setelah menjadi jawara dibalik seruan “football is coming home”, prestasi terbaik Inggris hanyalah menjadi semifinalis Piala Eropa 1968, dan Piala Dunia 1990.