Kekerasan, kemenangan, dan Materazzi.
Tiga kata yang sempat menghiasi sejarah sepak bola dunia. Siapa yang tak kenal dengan Marco Materazzi? Atau setidaknya, siapa yang tak ingat dengan insiden penandukan Zinedine Zidane kepada seorang pemain.
Ya, pemain yang ditanduk sang legenda itu adalah Marco Materazzi.
Dibalik semua kekerasan dan segala bentuk pikiran negatif terhadapnya, Marco Materazzi tetaplah seorang pemenang. Piala Dunia jelas menjadi yang paling diingat. Dan sekali lagi, final yang sempat membuahkan insiden bersejarah akan selalu menjadi cerita menarik dalam karier Materazzi, selain memenangkan Piala Dunia itu sendiri.
Ditopang postur yang menjulang, 193 sentimeter, Materazzi adalah stereotip bek tengah ideal yang jago menghalau bola-bola udara. Tak sampai di situ, keahliannya dalam memenangi duel bola-bola atas juga sering dimanfaatkan para pelatih yang menanganinya untuk memberi instruksi khusus di saat tim memperoleh set-piece.
Selain pandai bertahan dan menjebol gawang lawan, Materazzi adalah sosok yang akrab dengan kartu. Hal itu tentu tak lepas dari kecenderungannya melakukan pelanggaran untuk menghalau serangan lawan.
Materazzi adalah sosok bek tengah yang punya karakter bermain keras, lugas, dan lumayan kasar. Dirinya takkan ragu untuk melakukan tekel, beradu badan hingga melakukan trik-trik culas seperti menyikut dan menarik kaos para penyerang yang dikawalnya. Hal ini bertujuan untuk menghentikan alur serangan lawan sekaligus meminimalisasi fase penciptaan peluang dari tim yang dihadapi.
Sosok Materazzi memang seolah menjadi yang paling makiavelis.
Hal tersebut diambil dari sosok Nicolo Machiavelli yang merupakan diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf. Sebagai ahli teori, Machiavelli adalah figur utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa Renaisans.
Dirinya juga dikenal dengan bukunya yang sangat familiar, il Principe atau Sang Penguasa. Buku tersebut menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Berkat pemikirannya ini, nama Machiavelli kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk, yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis.
Dalam hal ini, Materazzi pantas disebut sebagai sosok Makiavelis.
Seakan menjadi hal yang sudah ditakdirkan senada, Materazzi dan Machiavelli merupakan sosok yang lahir di Italia.
Sepanjang karier, meski torehkan banyak gelar, Materazzi banyak dibenci orang. Berdasarkan data yang telah dihimpun via Transfermarkt, Materazzi menerima lebih dari seratus kartu kuning dan lima kartu merah selama mengenakan jersey tim nasional Italia maupun beberapa klub di sepanjang karier profesionalnya.
Sosok Materazzi mulai naik daun di penghujung 1990-an kala masih berkostum Perugia. Performa apiknya bareng tim yang bermarkas di Stadion Renato Curi itu menarik perhatian kesebelasan dari Inggris, Everton, yang lantas meminangnya di musim panas 1998. Sayang, aksi dari pria yang akrab disapa Matrix ini kurang begitu optimal ketika berseragam biru khas The Toffees.
Namun seolah sudah menjadi tradisi, jumlah kartu kuning yang ia dapat di Inggris tidaklah sedikit. Saat ia bermain di Everton pada 1998/99, Materazzi sampai mendapatkan empat kartu merah hanya dari 27 pertandingannya di Inggris. Sampai-sampai ia sering liburan ke Italia karena kerap mendapatkan hukuman bertanding.
Setelah tak beruntung di Inggris, Materazzi pulang ke Italia. Di bursa transfer musim panas 1999, ia bergabung kembali dengan Perugia.
Keputusan Materazzi rupanya tidak salah karena di bawah asuhan Carlo Mazzone, dirinya justru berkembang menjadi salah satu bek tangguh Italia di musim 1999/00. Pada musim selanjutnya, Perugia yang ketika itu dibesut oleh allenatore anyar dalam wujud Serse Cosmi, membuat Materazzi bisa tampil lebih memukau dan eksepsional. Perannya sebagai bek tengah terasa begitu sentral di jantung pertahanan Perugia.
Peningkatan kualitas Marco Materazzi juga terwujud dalam bentuk torehan 12 gol. Catatan itu sekaligus melewati rekor lawas kepunyaan Daniel Passarella sebagai pemain belakang dengan gol terbanyak di satu musim kompetisi Serie A.
Hingga tepat pada tahun 2001, penampilan Materazzi mencuri perhatian Inter Milan. Dibawah kepemimpinan Massimo Moratti, Inter menebus Materazzi dengan biaya senilai 10 juta euro atau setara 155 milliar rupiah.
Bersama I Nerazzuri, Materazzi sukses menyegel statusnya menjadi pemain hebat yang dicintai. Materazzi yang masih dan akan selalu dikenal sebagai sosok makiavelis berlaga di 278 partai pada seluruh ajang yang diikuti Inter dan sanggup menyumbangkan 20 gol.
Sejumlah titel prestisius juga berhasil dihadiahkan oleh pria yang kini berusia 46 tahun tersebut. Mulai dari titel Scudetto, Piala Italia, Piala Super Italia, Liga Champions sampai Piala Dunia Antarklub.
Tak cukup sampai di situ, Materazzi juga menjadi bagian integral ketika timnas Italia memboyong gelar Piala Dunia keempatnya di ajang sepak bola antarnegara paling megah sejagat raya pada tahun 2006 silam. Materazzi, uniknya, keluar sebagai top skor Gli Azzurri di ajang itu bersama Luca Toni karena sama-sama memiliki koleksi dua buah gol.
Di partai tersebut, sosok makiavelis dalam diri Materazzi terlihat begitu jelas. Seolah rela melakukan cara apapun demi mendapat trofi Piala Dunia. Materazzzi saat itu berhasil memprovokasi Zinedine Zidane yang pada akhirnya harus meninggalkan laga final lebih cepat.
Banyak versi yang mengatakan jika Zidane menanduk Materazzi, karena Matrix mengejek ibu dan saudara perempuan Zidane. Pada tahun 2016, Materazzi sempat mengakui itu. Namun pria bertubuh tinggi tersebut menganggap kalau sikap Zidane terlalu berlebihan.
Ia bahkan mengatakan kalau ucapan seperti itu akan banyak terdengar di jalanan Naples, atau Milan, atau mungkin Paris sekalipun.
Namun tetap saja banyak yang menyayangkan tindakan Materazzi yang menghina adik perempuan dan ibu dari Zinedine Zidane.
Terlepas dari itu semua, momen makiavelis Materazzi saat itu sukses membuat Prancis kehilangan senjata utama hingga membawa Italia menjadi jawara dunia.
Meski sosoknya tak secerdas Alessandro Nesta dan tak setangkas Fabio Cannavaro, Marco Materazzi menutupi semua itu dengan kerja keras dan totalitas di lapangan. Membuat lawan frustasi dan mengeluarkan trik yang bisa merubah situasi juga menjadi senjata rahasia Marco Materazzi dalam mengumpulkan trofi.
Materazzi akan selalu dikenal sebagai pahlawan dalam sebuah drama bernama sepak bola. Sejumlah insiden yang diciptakan hanya akan menjadi bumbu pelengkap dari tapakan kakinya menuju tangga juara.
Setelah sempat rehat sejenak dari dunia sepakbola, Marco Materazzi putuskan untuk bergabung dengan Chennaiyin FC pada tahun 2014. Ia mengabdi sebagai pemain di Marina Arena sampai 2015. Setelah itu ia diangkat sebagai pelatih. Materrazzi mempersembahkan gelar Liga Super India pada 2015 dengan status pemain sekaligus pelatih.
Materazzi mengaku punya kenangan hebat di Chennaiyin FC. Di Chennaiyin, ia berkompatriot dengan dua pemain asing asal Italia, Alessandro Potenza dan mantan gelandang Juventus dan Napoli, Manuele Blasi. Jangan lupakan pula bahwa Chennaiyin FC ini dikapteni oleh eks-gelandang Manchester City dan timnas Brasil, Elano Blummer.
Dengan kekuatan semacam itu, Marco Materazzi berhasil membuktikan diri sebagai calon pelatih hebat di dunia.
Dalam genggamannya, terdapat banyak kenangan. Dalam genggamannya pula terdapat banyak cerita, yang seolah tak indah dipandang mata, namun tetap memberikan wajah merona dihati para penggemarnya.