Pria hebat di lini serang Italia itu bernama Luca Toni.
Luca Toni menjadi salah satu talenta Italia yang mungkin tidak terlalu mendapat sorotan. Akan tetapi, ketajamannya di depan gawang tak perlu diragukan, bahkan, legenda Jerman, Franz Beckenbauer, melabeli Toni sebagai penyerang jaminan gol.
Tapi, bagaimanapun, memang seperti itulah Luca Toni dikenal. Seorang haus gol, juru gedor sejati, dan musuh besar para kiper-kiper ternama sekalipun.
Luca Toni adalah salah satu sosok yang bertanggung jawab terhadap tingginya tingkat kehadiran suporter Fiorentina di Stadion Artemio Franchi pada musim 2005/06.
Penampilannya sangat mengagumkan kala itu. Ia menyumbangkan 31 gol untuk La Viola, menjadi capocannoniere Serie A di akhir musim, serta turut membantu Fiorentina menempati peringkat 4 klasemen akhir Serie A, meski akhirnya dianulir akibat kasus Calciopoli.
Luca Toni, kini sudah berusia 42 tahun. 26 Mei 1977 menjadi hari lahirnya, dan sejak saat itu pula, langit Italia menyambut kedatangan calon legenda dalam darah pemain yang memulai karier di klub Modena.
Tahun 1994, torehan 7 gol menjadi awal dari langkah Toni dalam menjebol gawang lawan. Meski saat itu Toni masih berusia 17 tahun, ia terbilang cukup tajam. Toni yang merupakan pilihan kelima, bahkan mampu mencetak tiga gol dari sembilan partai, yang semuanya hanya menjadi pemain pengganti.
Meski demikian, produktivitasnya di usia belia tidak mampu membuatnya mendapatkan hak sebagai pemain utama di tim yang identik dengan warna kuning biru tersebut. Modena pun terpaksa meminjamkannya ke banyak klub agar Toni bisa semakin matang.
Berpetualang ke sebanyak tiga klub, Toni akhirnya direkrut Vicenza untuk musim 2000/01. Itulah untuk pertama kalinya Toni bermain di Serie A. Semusim bersama Vicenza, bakat gol Toni menarik minat Brescia yang lalu memasangkannya bersama Roberto Baggio dan Pep Guardiola.
Dua musim di Brescia, Toni memutuskan turun kelas ke Serie B untuk memperkuat Palermo di musim 2003/04. Keputusan Toni terbilang kontroversial karena ia disebut hijrah karena kedekatannya dengan Maurizio Zamparini, yang baru jadi pemilik Palermo. Toni sendiri tetap kekeuh karena merasa Palermo hanya akan butuh satu musim untuk naik ke Serie A.
Apa yang dijanjikan Toni pun menjadi sebuah kenyataan. Palermo berhasil naik ke Serie A untuk kali pertama sepanjang sejarah klub di akhir musim 2003/04. Ia bahkan mencetak 30 gol di musim tersebut. Catatan fenomenalnya tidak cukup sampai di situ. Toni juga berhasil menjadi salah satu pemain Serie B yang membuat debut di Tim Nasional Italia.
Di timnas Italia, Toni menjadi salah satu yang paling dikenal. Sebagai seorang pemain nomor 9, karakter bermain Toni memang luar biasa. Meskipun tidak cepat, ia memiliki dua kaki yang sama baiknya, piawai duel udara, memiliki fisik yang tinggi dan kuat, memiliki jangkauan kaki yang panjang dan bagus, kuat dalam menguasai bola, agresif, dan tentu saja, oportunis di kotak penalti lawan.
Toni pertama kali merasakan membela tim nasional Italia pada 18 Agustus 2004. Saat dipanggil arsitek timnas Italia kala itu Marcelo Lippi, Toni sedang membela Palermo.
Sejak saat itu, Toni memiliki caps 49 kali dan 16 gol bersama timnas Italia. Ia ikut mengantar Italia menjadi juara Piala Dunia 2006 yang digelar di Jerman.
Di Jerman saat itu, Toni memang hanya mencetak dua gol sepanjang turnamen. Namun saat itu penampilannya membuat banyak klub-klub besar Eropa tertarik merekrutnya.
Tak mengejutkan memang jika Toni mendapat banyak sanjungan. Ia beberapa kali memenangkan perebutan top skor.
Tepat setelah gelaran Piala Dunia 2006, Toni resmi bergabung dengan FC Bayern. Disana, talentanya tak sia-sia. Di musim pertamanya, Toni langsung menyabet gelar top skor Bundesliga, lalu tak ketinggalan pula sepatu emas Piala UEFA di musim yang sama.
Meski di musim pertamanya ia mampu mencetak 24 gol, tapi di situ pula kariernya mulai menurun. Di musim ketiganya bersama FC Bayern, Toni mengalami cedera tendon achilles. Cedera ini membuatnya harus merasakan bermain untuk Bayern II di divisi tiga Jerman, serta AS Roma di paruh musim kedua 2009/10.
Toni pun butuh tiga musim untuk mengembalikan selera mencetak golnya yang tinggi. Di musim 2013/14, Toni yang berseragam Hellas Verona mampu mencetak 20 gol. Torehan ini sekaligus mengembalikan kepercayaan diri Toni untuk terus mencetak banyak gol hingga musim 2014/15.
Ya, di usia senja, sepatu emas Serie A yang kedua berhasil diperolehnya. Di usia 38, bersama Hellas Verona, klub papan bawah Serie A, nama Toni melambung tinggi di kompetisi sepakbola Italia.
Toni, dengan gaya penyerang klasiknya berhasil membungkam para pengkritiknya. Di pertandingan terakhirnya sebagai pesepak bola pun ia masih bisa mencetak 1 gol saat membungkam Juventus 2-1 di Stadion Marc’Antonio Bentegodi. Sepanjang 22 tahun kariernya, ia telah mencetak 322 gol, baik bersama klub ataupun timnas Italia.
Jika melihat kehebatan sang predator, pengalaman bisa dibilang menjadi yang paling berjasa. Ada pengaruh dari gaya kesebelasan-kesebelasan di Italia dalam bermain. Ditambah lagi Toni merupakan orang yang berdarah Italia, besar di Italia, dan tentunya dibesarkan oleh sepakbola Italia.
Toni pun tak salah jika dikatakan sebagai orang yang berpengalaman dalam mencetak gol di Italia.
Setelah malang melintang di persepakbolaan dunia, Luca Toni akhirnya putuskan pensiun pada tahun 2016.
Hilangnya Toni dalam persepakbolaan Italia menjadi pertanda bahwa era penyerang klasik telah ikut tenggelam. Di era sepak bola modern saat ini, gaya bermain pemain nomor 9 murni seperti Toni sudah mulai ditinggalkan. Seorang penyerang kini harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan permainan yang sudah semakin dinamis.
Faktanya, hingga saat ini sulit mencari pemain nomor 9 murni yang hebat di persepakbolaan Italia.
Namun begitu, sebagai negara yang sangat berpengalaman di kancah sepak bola dunia, Italia tentu tak akan kehabisan penyerang, yang minimal punya ketajaman seperti Luca Toni.