Pesepakbola seperti Paolo Maldini, Francesco Totti, Lionel Messi, Paul Scholes, Franco Baresi dan Jamie Charrager, adalah contoh para pemain yang sangat setia bermain di satu klub sepanjang karirnya. Mereka tidak pernah berpikir untuk berpindah klub.
Namun berbeda dengan dengan pemain yang satu ini, ia sering bergonta-ganti klub di sepanjang karir profesionalnya bermain sepakbola. Kira-kira siapa ya pemain tersebut ?
Ya, dia adalah Lutz Pfannenstiel (PEFANNENSTIL), Kiper yang pernah meniti karir di enam benua sekaligus.
Lutz Pfannenstiel, mungkin namanya sangat asing di telinga pecinta si kulit bundar. Tapi memang begitulah kenyataannya. Pasalnya, Kiper asal Jerman ini sangat tidak populer di publik sepakbola dunia. Ia hanya bermain di klub-klub kecil yang reputasinya sangat rendah.
Namun ada keistimewaan dalam diri kiper yang satu ini, ia menghabiskan karirnya dengan bermain di 25 klub berbeda di 13 negara dan enam benua.
Dirinya bahkan tak pernah sekalipun bertahan lebih dari satu tahun di sebuah klub. Sontak hal ini sangat jarang terjadi, disaat banyak pemain yang ‘walaupun’ berpindah-pindah klub namun masih dalam tataran satu hingga dua wilayah atau benua.
Lutz Pfannenstiel, lahir di Zwiesel, Jerman pada 12 mei 1973. Ia adalah mantan kiper sepakbola jerman. Ia Pernah bermain untuk tim nasional Jerman U-17 pada 1986 hingga 1987.
Karier Lutz dimulai dengan tidak impresif bersama klub lokal jerman, Bad Kotzting pada tahun 1990. Tiga tahun kemudian pada saat usianya 20 tahun, ia menandatangani kontrak dengan klub Liga Malaysia, Penang FA, sebuah keputusan yang mengejutkan yang membuatnya terkenal sebagai pemain yang nomaden dalam tahun-tahun berikutnya.
Iming-iming sorakan dan tepuk tangan dari 50 ribu suporter di tiap laga menjadi penyebab dirinya lebih memilih hijrah ke Asia ketimbang berada di Eropa. Namun ia hanya bertahan kurang dari satu tahun di Penang.
Lutz sebenarnya pernah diminati raksasa Bundesliga, Bayern Munchen ketika usianya masih 19 tahun, namun dirinya menolak dengan alasan ingin berkarir bersama klub lain dan ingin menjelajahi dunia. Ia juga beralasan ingin membela klub kecil saja supaya mendapatkan jam terbang bermain lebih banyak.
Setelah tampil dalam sedikit pertandingan di liga Malaysia, Lutz lalu bermain untuk Wimbledon. Sewaktu bersama Wimbledon ada kisah unik yang pernah ia alami.
Lutz menceritakan bahwa pernah suatu ketika saat Wimbledon sedang menjalani sesi latihan lari di sekitar area taman dekat Rochampton, dan selepas latihan, ada sekelompok orang mendekati Lutz dan melucuti pakaiannya. Alhasil ia harus pulang ke rumahnya dengan telanjang bulat.
Lutz menuturkan jika banyak orang yang melihatnya dengan tatapan aneh, tapi beruntung dia tidak mesti berurusan dengan polisi. “Suatu hari, kami latihan di sebuah taman di sekitar Rochampton. Saya tidak mengenali area itu tentunya. Tiba-tiba saja mereka (para pencuri) menahan saya dan mengambil pakaian saya secara paksa,”.
“Saya terpaksa berlari sambil telanjang. Beberapa wanita yang tengah berjalan-jalan dengan anjingnya melihat saya dengan tatapan aneh. Yang saya takutkan adalah ditangkap polisi setempat, tapi beruntung saya bisa sampai rumah tanpa berurusan dengan pihak kepolisian,” ungkap Lutz.
Setelah bermain di Wimbledon, dalam kurun waktu 5 tahun kemudian ia sudah bergonta ganti klub sebanyak 6 kali, beberapa klub yang pernah diperkuatnya antara lain Notingham Forest, Orlando Pirates, TPV, FC Haka, SV Wacker Burghausen, dan Geylang united.
Bahkan ketika membela Geylang United di liga Singapura, Lutz pernah dipenjara karena dugaan kasus pengaturan skor. Ia berada di balik jeruji besi selama 101 hari dan itu menurutnya sebagai momen terburuk dalam hidupnya.
“Suatu ketika saya terbangun di sebuah sel penjara dengan 12 narapidana lainnya, mulai dari pemerkosa, pembunuh, orang gila, dan sebagainya. Sungguh menyedihkan bagi saya berada di tempat seperti itu – tidak ada toilet!” Ucap Lutz.
Setelah hidup selama kurang lebih 4 bulan di penjara, ia bergabung ke Dunedin Technikal di liga Selandia Baru pada tahun 2001. Tetapi karirnya di benua Australia tidak lama dan hanya bermain 18 kali. Di tahun yang sama ia dipinjamkan ke Bradford Park Avenue.
Kemudian ia bermain di Hudersfield town sebelum kembali lagi untuk merumput di Dunedin Tehnikal pada tahun 2002 Tercatat setelah itu, ia bermain di 12 klub berbeda hingga penghujung karirnya.
Sepanjang 20 tahun karirnya, Lutz bermain di 13 negara yaitu Jerman, Inggris, Malaysia, Afrika Selatan, Albania, Singapura, Norwegia, Armenia, Amerika Serikat, Selandia Baru, Brasil, Kolombia, dan Namibia. Dia juga pernah dikejar-kejar oleh gangster Ukraina, yang kemudian membuatnya mengurungkan niat untuk mengungkapkan klub yang akan dibelanya di sana.
Lutz memutuskan pensiun dari dunia si kulit bundar di sebuah klub bernama Ramblers dari liga Namibia yang notabene merupakan salah satu negara di Afrika.
Lutz memang tidak pernah bermain reguler di liga top Eropa. Setelah ia gantung sepatu, ia membuat sebuah klub sepakbola yang ia namai Global United FC yang bermain di pertandingan-pertandingan amal dengan tujuan, seperti yang tertulis di badge mereka, “fight global warming“.
Kebiasaannya berpindah-pindah klub, ternyata masih ia lakukan saat menjadi pelatih. Berawal dari klub Armenia, FC Bentonit Ijevan pada tahun 2007, dirinya terus berpindah-pindah hingga ke Ramblers pada tahun 2009.
Menariknya, walau jangka waktu FC Bentoit ijevan dan Ramblers hanya terpaut dua tahun, Lutz sejatinya telah berpindah-pindah sebanyak empat kali sebagai pelatih ataupun asisten pelatih.
Walaupun hobi berpindah klub, tetapi Lutz telah mengadakan turnamen sepakbola anak muda lokal di berbagai benua, serta ia juga menyelenggarakan laga amal di Namibia untuk meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim dan kebutuhan akan sumber daya air bersih di Afrika.
Sejak Februari 2011, Lutz telah bekerja sebagai pencari bakat untuk klub Bundesliga TSG 1899 Hoffenheim, Ia juga menjabat sebagai kepala hubungan internasional klub.