Bakat Amerika Latin memang tak pernah mengecewakan. Kaki-kaki kuat dan gocekan yang tak kalah menawan selalu terlihat dari pria yang berada di kawasan Selatan Amerika.
Jauh sebelum Alexis Sanchez, Chile pernah memiliki bintang yang tak kalah bersinar. Dia adalah Marcelo Salas. Sosok striker dengan kecepatan dan tembakan luar biasa itu merupakan salah satu legenda terbesar Land of Poets.
Sepanjang kariernya, pemain berjuluk el matador punya deretan cerita pahit dan manis di dunia sepakbola yang mencuatkan namanya.
Saat masih merumput, Salas memang memiliki julukan el matador. Juru gedor yang dinobatkan jadi Pemain Terbaik Amerika Selatan tahun 1997 itu dianggap sebagai salah satu penyerang paling tajam di masanya.
Tak hanya mengandalkan kaki kanannya, Salas dikenal pula akan tendangan kaki kiri yang sangat keras. Kendati berutubuh relatif tak terlalu tinggi, Salas amat piawai dalam perebutan bola di udara.
Piala Dunia 1998 menjadi pembukitan Salas. Dirinya yang sempat dicap gagal oleh sang legenda sepakbola, Diego Armando Maradona, mampu tampil prima di gelaran empat tahunan tersebut.
Ketika itu, Salas jadi kebanggaan Chile lewat empat gol yang ia ciptakan dalam empat laganya bersama timnas. Hingga saat ini, belum ada yang mengalahkan rekor Salas sebagai pencetak gol terbanyak bagi timas Chile dengan torehan 37 gol.
Di Piala Dunia 1998 yang berlangsung di Prancis, duet Zamorano dan Salas yang dikenal dengan singkatan ‘Za-Sa’ menyaingi kepopuleran duet Ro-Ro (Ronaldo dan Romario) di Brasil.
Meski Chile terhenti di babak 16 besar, tetap saja, Salas menjadi pujaan dengan penampilan gemilangnya.
Pemain yang dibesarkan tim muda Deportes Temuco ini mengawali karier seniornya di Universidad de Chile, sebuah klub di negaranya. Tahun 1996, Salas hijrah ke Argentina.
River Plate jadi tim besar pertama yang ia bela di negeri Tango itu. Sempat dihujani kritik, termasuk oleh legenda Albiceleste, Diego Maradona, Salas langsung membungkam suara sumbang yang muncul dengan prestasi membanggakan, antara lain jawara Torneo de Apertura, Clausura, Apertura dan Supercopa Sudamericana.
Selain itu, dalam dua musim, Salas tampil sebanyak 67 kali dan torehkan 31 gol.
Berkat penampilan apiknya, Salas menarik minat banyak klub Eropa. ia banyak dikenal dunia, termasuk manajer Manchester United kala itu, Sir Alex Ferguson. Salas jadi sosok paling laris di bursa transfer musim panas 1998 dan terus dihubungkan dengan kubu Setan Merah. Namun jelang kepergiannya ke Old Trafford, Lazio datang lewat tawaran mencengangkan.
Tawaran sebesar 17 juta euro atau setara 263 milliar rupiah disodorkan.
Salas pun akhirnya resmi berseragam raksasa Serie A, Lazio. Ia menjadi salah satu sosok kunci tahun-tahun sukses Lazio yang memenangkan Piala Winners 1999, Piala Super Eropa 1999, dan gelar domestik dobel, yaitu Serie A Italia dan Coppa Italia 1999/00.
Lebih dikenal sebagai sosok supersub, Salas benar-benar panen gelar bersama klub ibukota.
Untuk gelar Piala Super Eropa sendiri, Salas jadi sosok paling dikenang seluruh Laziale berkat gol semata wayangnya ke gawang Manchester United.
Malang melintang di Lazio, pada musim panas 2001 Salas kemudian mencatatkan rekor sebagai pemain termahal Chili berkat kepindahannya ke Juventus, lewat banderol 25 juta euro atau setara 388 milliar rupiah. Bersama klub asal Kota Turin itu, Salas mencicipi lagi gelar Scudetto, kali ini bahkan hingga dua kali beruntun.
Namun begitu, justru di Turin-lah masa terburuk sepanjang karier penyuka sepatu hitam itu hadir.
Cedera lutut ACL jadi sebabnya. Serangkaian kesuksesan Juventus pun terasa hambar baginya. Pasalnya ia lebih banyak duduk di bangku cadangan atau di ruang perawatan.
Menyadari ini, Juve coba memanfaatkan nama besar Salas ke Sporting Lisbon sebagai bagian transfer untuk mendapatkan pemuda potensial incaran Juve, Cristiano Ronaldo. Sporting setuju. Akan tetapi Salas tidak. Dirinya enggan hijrah ke Portugal. Ronaldo yang awalnya antusias ke Juve, urung datang.
Dari situlah muncul anggapan bahwa Manchester United harus berterima kasih kepada Salas.
Saat itu, Juve dibuat bingung dengan situasi Salas. Pun begitu dengan sang pemain. Ia frustasi dan sempat ingin akhiri karier di usianya yang baru menginjak 28 tahun.
Lalu tepat pada tahun 2003, Salas hengkang ke Argentina dan kembali merapat ke klub lamanya River Plate. Bertahan dua musim di Juventus, Salas ampil 26 kali dengan torehan empat gol.
Setelah dua tahun merumput bersama River Plate, Salas memutuskan pindah ke klub yang membesarkannya, Universidad de Chile, sampai akhirnya gantung sepatu pada tahun 2009.
Salas pensiun di usia yang relatif muda, yakni 33 tahun. Ia memainkan laga eksebisinya di Chile pada 2 Juni 2009, dengan menghadiri eks rekannya di timnas Chili Piala Dunia 1998, Universidad de Chili, River Plate, Lazio, dan Juventus. Kebesaran el matador tergambar nyata dengan kehadiran 50 ribu penonton dalam laga perpisahannya tersebut.
Ini menjadi bukti bahwa dirinya sangat dicintai di negerinya, meski perjalanan kariernya tergolong cukup singkat.
Di laga terakhirnya itu Salas berhasil mencetak hattrick, skor berakhir imbang 3-3. Torehan golnya itu tentu tidak menambah catatan 248 gol di klub dari 453 penampilan dan 37 gol di Timnas Chile, dari total 70 caps.
Diluar dari kisah pahit yang menyelimuti kariernya, Salas akan selalu diingat sebagai salah satu penyerang terbaik yang dilahirkan Amerika Latin, khususnya Chile.