Jauh sebelum Zlatan Ibrahimovic, yang dengan sikap arogansinya menyebut dirinya adalah Tuhan, Matt Le Tissier, seketika melirik sembari mengangkat gelas anggurnya.
Matthew Le Tissier, sebuah nama yang jarang terdengar, dengan santainya melewati 7 hingga 8 pemain sambil meneguk kopi buatannya. Sesekali menghisap cerutu, eks pemain Internasional Inggris ini menunjukkan bahwa sepak bola tak se-teratur yang dibayangkan.
Bagi Lionel Messi, memangkas karbohidrat dan dibarengi lari-lari kecil sebelum bertanding mungkin menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh seorang pesepakbola.
Untuk Cristiano Ronaldo, dada ayam dan putih telur serta sayuran mungkin menjadi sebuah persyaratan mengapa ia sanggup menendang dan berlari ke sana-kemari selama 120 menit.
Akan tetapi, semua ketentuan itu tak berlaku bagi Matt Le Tissier. Jika mendengar Ronaldo berkata bahwa latihan itu penting, mungkin pemain yang populer bersama Southampton itu akan dengan mudah menampiknya.
Sebutan “Tuhan” bagi Matt Le Tissier bukan bualan belaka. Pemain yang punya akurasi tendangan luar biasa ini memang dianegerahi kualitas diatas rata-rata. Mungkin bagi Ibrahimovic yang menyebut dirinya sebagai Tuhan, Matt Le Tissier layak disebut sebagai Tuhan yang sebenarnya.
Perlu digarisbawahi kalau Tuhan disini mengerucut kepada deskripsi tentang ketuhanan dalam sepakbola. Ini bukan kisah tentang berhala atau kepercayaan sesuatu yang dianggap sebagai sembahan. Namun Matt Le Tissier merujuk pada seni oleh bola spektakuler. Tendangan akurat yang tak semua orang menguasai, sekaligus kepopuleran pada masanya, dan sekali lagi, terbalut dalam suasana si kulit bundar.
Bagi para pecandu Liga Inggris, sulit untuk menyingkirkan nama yang satu ini. Bahkan Xavi Hernandez, yang kita kenal sebagai si jenius asal Negri Matador, menyebut Matt Le Tissier sebagai rujukannya untuk menjadi legenda.
Nama Xavi jelas tak lekang oleh waktu. Pemain kelahiran 25 Januari 1980 itu meninggalkan Eropa pada 2015 dengan catatan tinta emas dalam sejarah Barcelona dan juga timnas Spanyol.
Berkat kemampuan dan kualitas yang ia miliki, Xavi mendapatkan julukan Si Jenius hingga The Puppet Master. Ketika lawan baru membaca satu-dua pergerakan, Xavi sudah punya visi ke depan akan pergerakan rekan setimnya dan mengoper bola dengan presisi tinggi.
Saat masih berada di Catalunya, Xavi bak mendapatkan ‘doktrin’ dari sebuah program Barcelona yang berdurasi setengah jam. Program itu menayangkan gol-gol terbaik dari Liga Inggris, dan satu nama, hingga saat ini masih diingat baik olehnya. Dia adalah legenda Southampton yang bermain pada kurun waktu 1986-2002, Matt Le Tissier.
“Di Catalunya pernah ada program acara berdurasi setengah jam yang berlangsung tiap Senin, di mana mereka menayangkan gol-gol terbaik Liga Primer. Tiap pekan, Matt Le Tissier selalu ada di acara itu, dan aku berbicara mengenai gol-golnya yang fantastis,”
“Kami (Xavi dan keluarga) terbiasa berkata, ‘pemain ini, Le Tissier, benar-benar luar biasa dan tak pernah pergi ke tim besar. Dia tetap bersama Southampton. Luar biasa. Dia bisa saja bermain untuk tim mana pun!’. Seluruh orang di rumah sangat terobsesi dengannya.” (via bleacher-report)
Hingga saat ini, Xavi juga mengaku masih mengikuti perkembangan sepakbola Inggris. Tak hanya di level teratas, divisi sekelas championship pun tak luput dari pantauannya.
Apa yang diucapkan Xavi memang benar adanya. Semua itu dicapai Le Tissier dengan setelan kendor. Gelandang serang yang membantu Southampton dalam kurun waktu yang lama itu telah mencetak 100 gol dalam 270 pertandingan Liga Primer Inggris, mengubah 47 dari 48 tendangan penalti menjadi gol, dan menampilkan sepakbola yang menyihir tanpa berusaha kelewat keras.
Kesakralan Le Tissier tidak hadir begitu saja. Perjalanannya tak semulus kulit Raisa dan tak semerdu suara Isyana. Le Tissier memulai kariernya menendang bola sebagai pemain junior di tim sepakbola Vale Recreation. Setelah selama sembilan tahun bermain untuk tim kebanggaan masyarakat Channel Island tersebut, Le Tissier memulai lembaran baru kisah sepakbolanya bersama Southampton.
Di pertandingan debutnya, Matt Le Tissier masih jauh dari sapaan “Tuhan” oleh para penggemarnya. Setelah cuma mampu mencetak enam gol dari 24 pertandingan yang dilakoni pada musim pertamanya, Le Tissier bermain layaknya seorang pesakitan pada musim keduanya (1987/88) bersama Southampton. Dari 19 pertandingan, Le Tissier tidak mencetak satu gol pun.
Lalu baru pada musim berikutnya, Matt menunjukkan tajinya sebagai pesepakbola yang cukup subur untuk urusan mencetak gol. Puncaknya pada musim 1989/1990 ia mencetak 24 gol dari 44 penampilan di semua ajang. Pencapaian ini langsung diganjar PFA Young Player of the Year musim 1989/1990.
Setelah pencapaiannya sebagai pemain muda terbaik 1989/90, performa Le Tissier terus mengundang decak-kagum.
Mungkin saat itu ada jutaan penikmat Liga Inggris yang tersihir oleh aksi Le Tissier saat memasuki musim 1993/94. Tepat pada bulan Oktober 1993, Matt Le Tissier membuat hari yang sangat bersejarah bagi sepakbola, di mana keajaiban tampak begitu nyata di atas rumput St Mary’s Stadium.
Julukan Le God yang disematkan pada Le Tissier jelas tidak berlebihan jika menilik pada kemampuan olah bolanya saat mencetak gol dalam pertandingan melawan Newcastle United saat itu.
Le Tissier, dengan setelah kendor nya dengan mudah menerima bola menggunakan tumit. Hal selanjutnya adalah atraksi juggling. Le Tissier bak dewa yang dengan mudah memainkan bola. Perpaduan bakat, insting, dan teknik ditampilkan untuk menjentikkan bola sebagai upaya melepaskan bola dari sergapan bek Newcastle United.
Le Tessier tidak ingin menyia-nyiakan peluang emas, dan dia pun melakukan sepakan voli ke arah gawang untuk mengakhiri aksi juggling briliannya, sekaligus meninggalkan Mike Hooper yang cuma bisa duduk terdiam menyadari bahwa gawangnya baru saja dibobol dengan cara yang tidak manusiawi.
Namun untuk bakat ajaib sekelasnya, timnas Inggris tidak benar-benar mampu menerima kehadiran sang dewa.
Pada gelaran Piala Dunia 1998, Glenn Hoddle, pelatih Inggris kala itu, tidak memilih Le Tissier dan malah mengangkut Robert Lee, gelandang lain yang sudah berumur 32 tahun, dan cuma menurunkannya selama 11 menit dalam pertandingan melawan Kolombia, ketika Inggris sudah unggul dua-nol.
Kemudian, di babak 16 besar, Inggris dikalahkan Argentina lewat adu penalti, sebagaimana mereka tumbang di Turin, Italia, pada semifinal Piala Dunia ’90 oleh Jerman Barat dan dipermalukan di Wembley pada semifinal Euro ’96 oleh Jerman.
Namun kembali lagi, Le Tissier merupakan seorang legenda yang tak peduli dengan bakat sepakbolanya. Banyak orang mengatakan Le Tissier menyia-nyiakan bakatnya, bahwa ia terlalu gampang puas, bahwa ia kurang ambisius, bahwa ia kelewat malas.
Namun ia tidak menyesali karirnya di timnas maupun di klub. Dia tidak silau akan trofi, uang, ataupun karir panjang di timnas sehingga harus berpindah klub. Dan sesuai kodratnya sebagai manusia, dia lebih peduli bagaimana caranya agar bisa menikmati bermain sepak bola dan menghibur penonton melalui aksi dan gol-golnya.
Di tingkat klub, Le Tissier juga tak memenangkan piala apa pun. Ia memutuskan untuk terus bercokol di Southampton, kenyang hanya dengan tak tersingkir dari Liga Primer, dan menolak tawaran dari Tottenham Hotspur pada 1994 serta Chelsea pada 1996 yang memiliki peluang serta tekad lebih besar untuk menjadi juara.
Ia tak peduli dengan sebutan legenda yang mungkin disematkan oleh para pecinta bola. Namun untuk apa menjadi hebat seperti Eric Cantona, dan menjadi populer seperti Thierry Henry, kalau toh prestasi keduanya hanya melahirkan sebutan “raja”.
Matt Le Tissier lebih dari itu, dia adalah legenda, raja, sekaligus dewa dalam sepak bola.