Liga Inggris, yang kata mereka merupakan kompetisi terbaik dunia telah ciptakan banyak sekali momen-momen bersejarah. Deretan klub bergelimang trofi, hingga klub-klub semenjana namun tetap memesona banyak hiasi jagad sepak bola dunia.
Salah satu klub yang mungkin menarik untuk dibicarakan adalah Fulham. Bermarkas di sebuah Stadion tua bernama Craven Cottage yang dibangun pada tahun 1894-1905, klub ini merupakan kebanggaan warga London barat disamping klub Chelsea, yang jarak antar keduanya hanya di batasi satu rute bis kota saja yaitu Putney Bridge.
Fulham memang bukan tim yang bergelimang piala. Namun keberadaannya bukan hanya sekadar menjadi pelengkap kompetisi nomor satu dunia. Klub yang lahir pada 1879, telah torehkan sejumlah tinta emas, yang tentunya menarik untuk kembali diulas.
Fulham, seperti yang sudah diceritakan, bermarkas di Craven Cottage. Stadion tersebut memiliki bentuk yang cukup unik. Stadion ini dihiasi dengan pintu-pintu yang terbuat dari kayu tua dengan warna dominan putih, hitam dan merah bata. Craven Cottage berada di tengah tengah pemukiman penduduk dan bersisian dengan taman besar ditepi sungai thames.
Di Craven Cottage, penonton dapat menyaksikan pemain hanya dari jarak 2 meter di tepi lapangan. Gemuruh pendukung The Cottagers selalu menemani lari para pemain pujaan mereka.
Selain tentang Fulham yang disebut sebagai klub sarat akan sejarah, serta keunikan stadion mereka, ada salah satu momen luar biasa yang masuk kedalam buku sejarah klub, yaitu ketika mereka mencapai partai final Liga Europa.
Tidak banyak yang tau jika Fulham yang kini tampil di divisi Championship pernah menggemparkan dunia kala sambangi final turnamen Eropa tingkat kedua.
Tepat di tahun 2010, Fulham bertindak sebagai finalis Liga Europa. Kala itu ‘The Cottagers’ yang dibesut oleh manajer kawakan, Roy Hodgson, dikalahkan dengan skor tipis 1-2 oleh Atletico Madrid. Pencapaian tersebut bisa dibilang mengejutkan, pasalnya Danny Murphy dan kolega hanya bertengger di posisi ke-12 klasemen akhir Premier League 2009/10.
Jika dilihat dari perjalannya pun, Fulham tak serta merta dengan mudah mendapatkan kesempatan emas tersebut.
Petualangan diawali dari Lithuania pada penghujung Juli 2009. Sebuah kemenangan agregat 6-0 didapat dari Vetra pada babak kualifikasi tiga. Selanjutnya di babak play-off, The Cottagers sempat menyerah 1-0 dari klub asal Rusia, Amkar Perm. Namun kekalahan itu tetap tidak menghalangi langkah Fulham untuk masuk ke babak penyisihan grup setelah unggul agregat 3-2.
Di penyisihan grup, penampilan Fulham tak terlalu meyakinkan. Mereka butuh waktu untuk temukan performa matang. Bak sebuah mesin yang lama tidak dijalankan, Fulham butuh waktu untuk panas, baru kemudian bisa digunakan.
Di awal laga, CSKA Sofia sempat membuat Fulham pulang tanpa angka. Beruntung, pertandingan yang digelar di Stadion Balgarska Armia berakhir imbang, setelah Diomansy Kamara membuat gol penyeimbang.
Dari total enam laga, penampilan Fulham tidak benar-benar baik. Mereka hanya memetik tiga kemenangan, dua hasil imbang dan sekali menyerah 2-1 kepada AS Roma.
Pada akhirnya, mereka pun harus puas duduk di posisi kedua setelah tak mampu ungguli tim Serigala.
Lanjut ke babak berikutnya, Fulham mulai mendapat ujian yang cukup pelik. Lawannya di babak 32 besar adalah juara Piala UEFA musim sebelumnya, Shakhtar Donetsk. Namun dari dua pertemuan itu Fulham berhasil mengantongi keunggulan agregat 3-2.
Kejutan besar yang kemudian mulai menjadi perbicangan saat itu adalah ketika Fulham berhasil menumbangkan raksasa Italia, Juventus, pada babak 16 besar dengan agregat tipis 5-4.
Pertandingan itupun kemudian menjadi sejarah. Tentunya, sejarah besar bagi Fulham karena bisa kalahkan tim sebesar Juventus. Meski laga tak berlangsung imbang setelah dua pemain lawan di kartu merah, Fulham, bagaimanapun, tetap tampil begitu garang.
Saat itu, Juventus menang mudah di leg pertama dengan skor meyakinkan 3-1. Mata Juventini pun sudah menatap babak perempat final, karena unggul selisih 2 gol.
Perasaan penggemar Juventus dan tentunya para pemain, semakin menjadi-jadi saat David Trezeguet mencetak gol cepat di leg kedua. Perempat final pun seperti sudah digenggam keras-keras oleh raksasa Italia.
Akan tetapi, Fulham adalah klub Inggris. Mereka memiliki semangat sekeras baja. Misi sulit pun mulai dijalankan oleh Clint Dempsey dan kawan-kawan.
7 menit setelah gol Trezeguet, Bobby Zamora mencetak gol, menyulut api harapan dalam diri Fulham. Api tersebut semakin menjadi-jadi kala Fabio Cannavaro mendapatkan kartu merah di menit 27.
Zoltan Gera mencetak gol di menit 39. Api harapan semakin panas setelah gol tersebut. Skor agregat di akhir babak pertama 4-3 untuk keunggulan Juventus.
Petaka untuk Juventus datang di babak kedua. Umpan silang dari pemain Fulham mengenai tangan Diego yang mencoba memotong umpan di dalam kotak terlarang. Jadilah wasit menghadiahi penalti untuk Fulham.
Gera yang jadi algojo pun berhasil mencetak gol, dengan mengirim kiper Antonio Chimenti ke arah yang salah di menit 49. Skor agregat imbang 4-4.
Epic comeback Fulham menjadi lengkap saat Clint Dempsey mencetak gol cantik di menit 82. Tendangan chipnya melambung tinggi diatas kepala Chimenti, mendarat di sisi pojok tiang jauh, dan meninggalkan kiper berkepala plontos itu menganga.
Pertandingan melawan Juventus memang layak diabadikan. Pasalnya, ini menjadi sebuah tanda bahwa Fulham pernah begitu perkasa di kompetisi Eropa.
Di dua babak berikutnya, Fulham kemudian berhadapan dengan dua klub asal Jerman. Di perempat final, Fulham menyapu bersih dua pertemuan dengan kemenangan melawan Wolfsburg.
Setelah itu, mereka harus sedikit berjuang saat bertemu Hamburg di semi final. Pasalnya mereka sempat alami kelelahan setelah menempuh perjalanan darat selama hampir 17 jam. Hal ini terpaksa dilakukan karena jadwal penerbangan saat itu terganggu akibat meletusnya gunung berapi di Eslandia.
Meski sempat psimis, Roy Hodgson yakinkan anak asuhnya untuk selalu berjuang. Menerima hasil imbang di kandang lawan, Fulham tak tinggal diam kala bertanding di depan para penggemar.
Di pertandingan kedua, Fulham sempat dikejutkan gol striker Hamburg Mladen Petrick di awal babak. Namun karena tampil dengan penuh keyakinan, Fulham akhirnya bisa membalikkan keadaan selepas turun minum, lewat gol yang dicetak Simon Davies dan Zoltan Gera yang membuat Hamburg menyerah 2-1.
Sayang, perjuangan Fulham harus terhenti di partai final. Bermain di Hamburg Arena pada 12 Mei 2010, mereka harus mau mengakui keunggulan Ateltico.
Saat itu, Diego Forlan menjadi bintang setelah mampu membuka, dan menutup pesta Ateltico di Negri Jerman.
Tapi, bagaimanapun, skuat Fulham di musim tersebut sangat layak diacungi jempol. Di posisi penjaga gawang ada Mark Schwarzer. Usai mengantarkan Fulham ke Final Liga Europa, Schwarzer bertahan 3 musim dan akhirnya pindah ke klub rival London Barat, Chelsea.
Di posisi bek kanan ada nama Chris Baird. Baird bertahan hingga musim 2012/13 untuk kemudian kontraknya tidak diperpanjang. Ia pun lalu bergabung dengan Reading pada musim berikutnya dan beberapa kali berpindah klub.
Di posisi bek tengah ada Aaron Hughes dan Brede Hangeland. Keduanya merupakan sosok bek tangguh yang memiliki tingkat kedisiplinan luar biasa.
Di bek kiri ada Paul Konchesky, yang telah putuskan pensiun pada 2018 lalu. Di posisi lini tengah, Dickson Etuhu dan Danny Murphy memiliki peran luar biasa dalam mengantarkan Fulham ke partai puncak. Keduanya juga semakin memudahkan peran Zoltan Gera yang menempati posisi gelandang serang.
Damien Duff dan Simon Davies yang beroperasi di sisi kiri dan kanan pun semakin menghidupkan serangan The Cottagers. Kini kedua pemain tersebut sudah berhenti dari dunia sepak bola.
Di lini serang, nama Bobby Zamora tentu tak boleh dilupakan. Pergerakan Zamora di lini depan Fulham kala berjumpa Juventus memaksa bek sekelas Fabio Cannavaro mendapat kartu merah. Dari total 13 kali menjadi starter, Zamora mampu menorehkan 6 gol serta 2 asis.
Berkat penampilan briliannya di musim 2009/10 pulalah, pemain berdarah Trinidad dan Tobago tersebut dipanggil oleh Fabio Capello ke timnas Inggris.
Untuk sang pelatih, Roy Hodgson, pria yang kini berusia 72 tahun memilih pindah ke Liverpool setelah melakukan pekerjaan luar biasa di Fulham. Kini, di musim 2019/20, ia tercatat sebagai pelatih Crystal Palace.
Semua tinggal kenangan. Fulham dengan wajah baru masih berkutat di kompetisi Championship. Jika memang berhasrat tampil di kompetisi Eropa, maka setidaknya mereka harus lepas dari jeratan kasta kedua, dan tampil secara konsisten di kompetisi teratas sepak bola negri tiga singa.