Mendengar nama Liverpool, kita akan disuguhkan berbagai memori indah klub yang bermarkas di Anfield. Sejauh ini, Liverpool masih menjadi salah satu kekuatan terbesar di dunia.
Meski sempat tumbang dan nyaris kehilangan nyawa, nama Liverpool kembali terbang berkat dominasi kuat pemain hebat dan pelatih istimewa.
Sadio Mane, Mohamed Salah, dan Roberto Firmino, membantu Liverpool dalam menjadi tim paling tajam saat ini. Kombinasi Virgil van Dijk dan Alisson Becker juga berhasil menutup celah para pemain lawan untuk menembus pertahanan. Tak ketinggalan pula peran Trent Alexander Arnold dan Andy Robertson dalam membantu pertahanan maupun serangan.
Jangan tinggalkan pula peran Jordan Henderson dilini tengah Liverpool, yang sekaligus menjadi pemimpin dari para pemain luar biasa.
Tak hanya soal permainan yang semakin matang, secara desain jersey pun Liverpool menjadi jagonya. Ditemani aparel asal Amerika, New Balance, Liverpool membuat gebrakan dibagian belakang jersey.
Pada musim 2016/17, Jordan Henderson, Philippe Coutinho, Simon Mignolet, Jon Flanagan, ditunjuk sebagai model untuk mengenalkan jersey baru Liverpool.
Dominasi warna merah masih jadi pilihan jersey kandang Liverpool, dengan logo klub serta sponsor menggunakan warna kuning. Ada satu grafis menarik yang tertera di belakang punggung, yaitu lambang obor dan angka 96.
Namun apa sebenarnya maksud dari lambang obar dan angka 96 pada jersey Liverpool?
Melalui jersey-nya, Liverpool berharap semua pemain, manajemen, dan fans terus mengenang korban Tragedi Hillsborough yang terjadi pada 15 April 1989. Angka 96 ialah jumlah korban Tragedi Hillsborough, dan obor ialah lambang berduka untuk mereka.
Bagi Liverpool, itu merupakan cara menghormati penggemar yang selalu berteriak paling keras dan berdiri paling tegap dalam keadaan susah maupun senang.
Tragedi Hilliborough sendiri merupakan kejadian kelam yang tak akan dilupakan dunia, khususnya bagi penggemar Liverpool.
Pada April 1989, satu jam sebelum kick off semifinal Piala FA yang mempertemukan antara Liverpool vs Nottingham Forest, para pendukung kedua tim sudah mulai memadati bagian luar stadion Hillsborough. Meski cuaca saat itu terik, banyak penggemar yang tetap antusias untuk mendukung tim kesayangannya.
Tiket pertandingan tersebut ludes terjual. Artinya, sekitar 53 ribu penonton hadir langsung untuk menyaksikan laga terpanas kala itu.
Namun ada awal masalah yang membuat semuanya menjadi tak terkendali. Liverpool yang sejatinya memiliki penggemar lebih banyak justru mendapat jatah kapasitas distadion lebih sedikit. Fans Nottingham Forest ditempatkan di sisi utara dan timur dengan kapasitas 29.800, atau yang biasa dikenal dengan Spion Kop, sementara pendukung Liverpool ditempatkan di tribun Selatan dan Barat, Leppings Lane, dengan kapasitas 24,256 fans.
Panitia berdalih sengaja mengosongkan ruang untuk menjaga jarak antara penggemar Liverpool dan Nottinghham Forest. Namun hal tersebut tak lantas dipercayai oleh penggemar The Reds.
Diluar stadion masih ada sekitar 5 ribu penggemar Liverpool yang siap masuk untuk menyaksikan langsung pertandingan. Mereka memaksa para petugas untuk membukakan pintu stadion.
Situasi ini tak ubahnya menjadi sebuah kebingungan bagi pihak keamanan. Karena tidak ingin terjadi baku hantam dan kerusuhan diluar stadion, panitia “dipaksa” untuk membuka pintu bagi penggemar Liverpool.
Keputusan itulah yang diduga menjadi penyebab utama terjadinya tragedi Hillsborough, di mana ribuan fans menyerbu masuk ke stadion.
Pada masa itu, kondisi stadion di Inggris tidak seperti sekarang ini. Antara tribun penonton dan lapangan, dipisahkan pagar besi tinggi untuk meminimalkan aksi penonton masuk ke lapangan. Untuk laga ini sendiri, pengamanan kabarnya juga sudah ditingkatkan levelnya, mengingat fans dari kedua tim memiliki rivalitas tinggi.
Namun fakta menyebut kalau stadion ini tak memenuhi standar keamanan.
Setelah situasi didalam stadion kacau, pihak kepolisian dinilai lalai dalam bertugas. Pasalnya, semua penonton yang berada diluar stadion bisa sepenuhnya masuk.
Saat para petugas keamanan disibukkan dengan hal memisahkan pendukung dari kedua kubu, banyak fans yang lebih membutuhkan pertolongan karena mengalami cedera dan luka-luka sebab dorongan dari belakang.
Situasi semakin kacau. banyak penonton yang berdesakan hingga berakhir cedera. Puncaknya, karena kuatnya tekanan dari supporter yang berdesakan, pagar pembatas tak kuasa menahan dorongan hingga tumbang. Banyak fans tersungkur ke pinggir lapangan dengan keadaan mengenaskan dan terluka.
Dari tragedi tersebut, total ada 96 orang yang meregang nyawa dengan hanya 14 diantaranya sempat dilarikan ke rumah sakit. Selain 96 nyawa melayang, ada sekitar 766 orang mengalami luka-luka, di mana 300 di antaranya sempat dilarikan ke rumah sakit.
Meski tragedi itu sudah lama terjadi, banyak yang masih meragukan laporan harian The Sun yang menyebut bahwa penyebab segala keonaran ini adalah fans Liverpool.
Kelvin MacKenzie, yang merupakan editor dari surat kabar The Sun mempublikasi artikel dengan judul ‘The Truth’ di halaman utama mereka, disusul tiga sub-headline “Sejumlah fans mencuri barang-barang korban”, “Sejumlah fans mengencingi polisi pemberani” dan Sejumlah fans memukuli polisi yang sudah membantu”.
MacKenzie menulis laporan tersebut dengan didasarkan pada kesaksikan seorang polisi yang menolak menyebutkan namanya.
Hal itu jelas membuat para penggemar Liverpool sakit hati. Mereka merasa menjadi korban namun malah dikambing hitamkan. Buntut dari kontroversi itu, harian The Sun menjadi media yang tak laku di Liverpool. Banyak juga agen surat kabar di kota Liverpool yang memboikot.
Akhirnya pada milenium baru, atau tepat pada 7 Juli 2004, The Sun meminta maaf dengan mengaku bahwa mereka telah melakukan kesalahan.