Salah satu lelucon di sepakbola adalah penggunaan rumput sintetis ketika rumput alami masih bisa tumbuh. Saat ini, telah banyak ditemukan lapangan-lapangan sepakbola yang menggunakan rumput sintetis.
Di Amerika, sudah terdapat lebih dari 11.000 lapangan olahraga yang menggunakan rumput sintetis. Di Indonesia, meski belum ada jumlah yang pasti, namun setidaknya terdapat lebih dari 1000 lapangan futsal yang menggunakan rumput sintetis.
Yang menjadi alasan paling utama penggunaan rumput sintetis adalah kepraktisan dalam hal maintenance yang lebih murah. Berbeda dengan rumput alami yang harus diberi pupuk, harus mendapatkan sinar matahari, disiram, dan dijaga intensitas pemakaiannya, rumput sintetis jauh lebih praktis.
Sejatinya, rumput sintetis hanya bisa digunakan di wilayah di mana rumput alami tak bisa tumbuh. Misalnya Stadion Luzhniki yang terletak di Moskow. Karena sinar matahari jarang menyinari daerah tersebut, pengelolaan rumput pun menjadi serba sulit. Ini yang membuat Stadion Luzhniki menggunakan rumput sintetis.
Namun tahukah kamu footballovers bahwa bermain sepak bola di rumput sintetis ternyata berbahaya bagi pemain.
Secara umum, bermain di rumput sintetis meningkatkan risiko terpeleset karena licinnya permukaan. Di sinilah kemungkinan pemain akan alami cedera.
Dengan kontur daun€ yang tidak fleksibel, Saat pesepak bola terjatuh/terpeleset maka ada kemungkinan kulitnya akan terluka lebih besar, apalagi ketika bermain tengah hari, temperatur rumput akan sangat panas. Saat terjadi gesekan dengan kulit, sudah barang tentu kulit akan terkelupas karena tekanan yang dibantu dengan panas itu sendiri.
Luka lecetnya memang tidak terlihat dalam. Akan tetapi bermain dengan kulit yang tergores juga bukan hal yang bagus untuk pesepak bola.
Kemudian, alas dari rumput sintetis biasanya berupa semen atau beton dengan kontur yang keras. Maka, saat terjatuh, daya tolak dari alas lapangan jauh lebih kencang ketimbang saat pemain terjatuh ke tanah atau rumput alami. Akibatnya, kemungkinan terjadinya kerusakan pada otot maupun pada tulang semakin besar.
Pemilihan sepatu saat bermain di rumput sintetis juga terbilang penting. Karena untuk mengurangi risiko terjatuh atau terpeleset. Tidak sedikit pemain yang memilih menggunakan sepatu mirip sepatu futsal dengan jumlah tuds atau pul yang lebih dari 12 buah.
Secara teknis, Pantulan bola di rumput sintetis pun biasanya lebih tinggi ketimbang rumput alami yang membuat pesepak bola sulit mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Untuk mengatasi itu, FIFA sendiri sudah memiliki sertifikasi untuk penggunaan rumput sintetis. Artinya, tidak sembarang rumput sintetis bisa digunakan untuk sepakbola kompetitif. Pasalnya, rumput sintetis saat ini kualitasnya beragam. Namun, hal ini tidak mengurangi risiko bagi pesepak bola untuk bermain di rumput sintetis.
Memang belum ada penelitian khusus tentang pengaruh rumput sintetis untuk kesehatan, terutama untuk anak-anak yang biasanya rentan terhadap berbagai penyakit.
Namun Amy Griffin, seorang pelatih sepakbola di Amerika Serikat mulai mempertanyakan pengaruh rumput sintetis itu ketika pada tahun 2009, dia mendapatkan seorang kipernya didiagnosa kanker.
Amy mengaku sudah menjadi pelatih selama 27 tahun. Selama lima belas tahun pertama, dia tidak pernah menemukan siswanya kena masalah, karena masih memakai rumput alami untuk berlatih sepakbola. Terakhir dia mendata dan menemukan 38 siswa pemain sepakbola di Amerika Serikat yang didiagnosa kanker. Umumnya menderita kanker darah seperti limfoma dan leukemia.
Amy menganggap karet hitam di lapangan sintetis punya peran besar untuk merusak kesehatan. Terlebih, karet hitam ini terbuat dari ban bekas yang di potong-potong.
Berdasarkan penelitian Department of Analytical Chemistry Arrheunis Laboratory, Stockholm University, bisa dipastikan kalau karet ban mengandung bahan kimia yang berbahaya kalau terekspos dalam tingkat yang berlebihan.
Tapi, Bukan cuma karet kecil saja yang berbahaya karena rumput sintetisnya pun bahaya. Salah satunya karena meskipun tak perlu disiram atau dipotong, rumput sintetis harus diberi pestisida, karena seringkali rumput alami tumbuh di antara rumput sintetis.
Pestisida tersebut yang kemudian menjadi berbahaya apabila terpapar kulit pemain bola. Kandungan ini bisa menyebabkan pneumonia, sepsis, dan infeksi aliran darah. Biosida juga berkontribusi terhadap meningkatnya resistensi akan bakteria.
Tentu tidak menjadi masalah bermain di rumput sintetis untuk pecinta si kulit bundar seperti kita. Namun, lain halnya kalau untuk pesepak bola. Karena, mereka bermain dan ada di lingkungan tersebut setiap pekan bahkan setiap hari. Ini bisa memengaruhi kesehatan mereka secara tak langsung.
Saat ini, sebenarnya stadion-stadion besar di Eropa seperti Old Trafford juga menggunakan rumput sintetis. Namun, rumput tersebut hanya melapis sebagian kecil agar kontur rumput alami tetap terjaga. Yang paling penting ketika bermain di rumput sintetis adalah harus bisa menyesuaikan diri.