AS Roma menjadi salah satu klub yang mempunyai nama besar di kancah sepak bola Italia. Meski begitu, berbeda dengan Duo Milan dan Juventus. Serigala ibukota bukanlah kesebelasan yang bergelimang trofi. Di ajang serie A, Roma bahkan sangat jarang menduduki peringkat teratas.
Di Liga Italia, AS Roma baru tiga kali meraih gelar, setelah musim 1941/42 dan 1982/83, Mereka kembali merengkuh juara liga musim 2000/01. Namun, itu menjadi gelar terakhir mereka di liga dan sampai sekarang belum mampu meraih kesuksesan serupa.
Kala itu Giallorossi bisa menjadi juara karena ditangani oleh pelatih jenius Fabio Capello. Mantan pelatih AC Milan itu berhasil memadukan pemain bintang seperti Batistuta, Montella hingga Cafu menjadi sebuah kekuatan yang menakutkan di Serie A.
Pada masa itu, Serie A Italia sedang menjadi primadona, di mana pemain-pemain terkenal dan pelatih terbaik dunia berkumpul di negeri Pizza. Fabio Capelo sendiri datang ke AS Roma pada musim panas 1999.
Kedatangan Fabio Capello menjadi bukti betapa seriusnya manajemen AS Roma yang di nakhodai oleh Franco Sensi untuk menjadikan Giallorossi menjadi klub penantang juara.
Kala itu, Capello menjadi suksesor Zdenek Zeman, pelatih asal Ceko yang juga tidak bisa dibilang gagal ketika menukangi AS Roma. Pasalnya Zeman berhasil memoles talenta muda, salah satunya pemain yang di kemudian hari menjadi seorang pangeran, Francesco Totti.
Dibawah asuhan Fabio Capelo, Totti justru kian mengkilap, ia sanggup mengaplikasikan ilmu ofensif ala Zeman ke dalam taktik sang pelatih baru yang mengutamakan keseimbangan antara bertahan dengan menyerang.
Hasilnya belum kelihatan di musim pertama Capello karena Roma hanya mampu menempati posisi keenam di tabel klasemen akhir Serie A 1999/2000 ketika Lazio yang menjadi juara. Namun, Totti berhasil menyabet gelar pemain terbaik Serie A.
Di musim debutnya menukangi AS Roma, Capello mendatangkan striker yang merupakan pilar utama Sampdoria pada musim sebelumnya,Vincenzo Montella. Ia juga merekrut beberapa nama seperti kiper Francesco Antonioli, Crisrtiano Zanetti,dan Marcos Assuncao.
Setelah tidak terlalu mulus di musim 1999/00, AS Roma membuat gebrakan besar pada musim berikutnya,yaitu dengan mendatangkan bomber haus gol dari Argentina yang merupakan maskot dari klub Fiorentina, Gabriel Batistuta dengan nilai 32,5 juta euro.
Selain Batistuta, Roma juga merekrut pemain Asia yang kala itu sedang dalam masa jayanya, Hidetoshi Nakata dari Perugia. Walter Samuel dan Emerson juga mereka datangkan sebagai bagian dari upaya AS Roma merengkuh juara serie A.
Serie A musim 2000/01 menjadi edisi ke 99 dari liga Italia. Kompetisi tersebut diikuti oleh 18 klub. AS Roma mengawali musim itu dengan gemilang. Mereka berhasil mengalahkan Bologna dengan dua gol tanpa balas di pekan pembuka.
Dalam tiga laga awal, Roma memenangi semua pertandingan baik kandang maupun tandang, kemenangan mereka terhenti di pekan ke empat setelah takluk dari Inter Milan dengan skor 2-0.
Hingga 21 januari 2001 atau tepatnya pekan ke-15, AS Roma baru mengalami sedikit kegagalan. Mereka mengemas 10 kemenangan, 3 imbang dan dua kekalahan.
Setelah itu, Serigala ibukota melanjutkan perjalanan nyaris tanpa celah. Dalam tujuh laga berikutnya, Roma memenangkan semuanya termasuk saat menggilas Inter Milan dengan skor 3-2 di Olimpico. Dengan brace dari Montella serta satu gol Marcos Assuncao.
Keberhasilan AS Roma mengalahkan lawan-lawannya tak terlepas dari taktik yang dijalankan Capello, pelatih asli Italia itu kerap menggunakan formasi 3-4-1-2, dengan menduetkan Batistuta dengan Montella di lini depan serta sokongan dari Francesco Totti yang bertindak sebagai trequartista.
Dua belas laga berikutnya di lalui Roma hanya dengan satu kekalahan. Ketika itu mereka kalah dari Fiorentina dengan skor 3-1 di pekan ke 25. Kemudian tepat tanggal 17 Juni 2001 adalah tanggal yang tak bisa dilupakan oleh skuat AS Roma dan tifosinya.
Di pertandingan pekan terakhir Serie A tersebut AS roma memastikan Scudetto setelah membungkam Parma dengan skor 3-1 lewat gol yang dicetak Totti menit ke-19, Montella menit 39 dan Batistuta menit ke-78, serta hanya dibalas oleh Marco Di Vaio delapan menit sebelum laga berakhir.
Begitu wasit membunyikan peluit tanda berakhirnya pertandingan, Stadion Olimpico langsung bergemuruh. Kegembiraan tifosi AS roma membuncah, mereka masuk ke dalam lapangan, mengerubungi para pemain sampai mencabut rumput Stadion sebagai penanda jika rumput itu menjadi saksi I Gialorossi meraih scudetto ketiganya.
Tidak hanya di dalam stadion, para tifosi Roma juga tumpah ruah dengan turun ke jalanan ibukota, mereka berpesta, bernyanyi dan berdansa merayakan kembalinya klub kesayangan mereka merajai Italia.
Di klasemen akhir, AS Roma mengoleksi 75 poin, unggul 2 angka dari pesaing terdekat, Juventus. Sepanjang musim, Roma hanya kalah 3 kali, memperoleh 22 kali kemenangan,dan 9 kali seri. Keberhasilan Roma sekaligus memastikan mereka akan berlaga di liga champions eropa musim berikutnya.
Sang penyerang, Gabriel Batistuta yang berusia 32 tahun sukses menyumbang 20 gol, selisih 6 gol dari sang top skor Hernan Crespo. Namun yang terpenting, gelontoran gol Batistuta ini berhasil mengantarkan Roma meraih scudetto.
Sesuatu yang tidak ia dapatkan saat bersama Fiorentina. Maka bisa dibilang, kehadiran Batistuta menjadi kepingan penyempurna skuat AS Roma yang dilatih oleh Fabio Capello.
Selain Batistuta, Capello juga pintar meramu pemain lain untuk tampil konsisten di atas lapangan. Di posisi penga gawang, Capello mempercayakannya kepada Fransesco Antonioli. Musim tersebut menjadi musim terbaik bagi Antonioli, dirinya tak tergantikan di bawah mistar gawang AS Roma ketika itu.
Di lini belakang, Capello mempercayakan kepada rekrutan anyar, Walter Samuel, dirinya ditemani oleh duo Brasil, Antonio Zago dan Aldair. Beranjak ke lini tengah, di lini vital ini Capello memasang dua pemain yang punya visi permainan dan atraktif membangun serangan dari lini bawah.
Emerson dan Damiano Tommasi di duetkan di lapangan tengah dibantu dua sayap pekerja keras yakni Vincent Candela dan Marcos Cafu. Sementara lini depan merupakan kekuatan utama dari AS Roma.
Dengan Francesco Totti sebagai playmaker, Fabio Capello punya stock striker yang kesemuanya haus gol. Gabriel Batistuta dan Vicenzo Montella memang sering kali dipasang sebagai starter. Akan tetapi, jika keran gol AS Roma macet, masih ada Marco Delvechio yang bisa digunakan.
AS Roma saat itu di kapteni Francesco Totti, ia bukan sekadar pemimpin tim, melainkan juga nyawa permainan Roma. Dia mampu memberikan umpan matang kepada rekannya, memompa semangat bertanding, serta sesekali mencetak gol krusial penentu kemenangan. Pada musim itu, Totti mengemas 16 gol di semua ajang.
Keberhasilan AS Roma di ajang Liga tidak diikuti di kompetisi lain, di mana mereka tersingkir dari babak 16 besar Coppa Italia serta hanya sampai di putaran ke empat piala UEFA.
Setelah gelar Scudetto yang bersejarah itu, seperti di singgung di awal, AS Roma belum bisa kembali merasakan manisnya mengangkat trofi Serie A. Pencapaian terbaik mereka hanya finis di posisi runner up seperti yang terjadi musim 2007/08.
Selain itu, di saat para pemain yang memperkuat AS Roma ketika memenangkan Scudetto satu per satu mulai meninggalkan ibukota, Francesco Totti dengan gagah masih setia bersama serigala Roma hingga akhir karirnya.