Bicara tentang liga Prancis, Paris Saint Germain tentu akan menjadi topik utama. Tim elit asal ibukota sukses bertransformasi menjadi salah satu kekuatan terbesar di dunia pasca akuisisi investor asal Qatar, Nasser Al-Khelaifi.
Neymar Jr, Kylian Mbappe, Edinson Cavani, hingga awal dari dominasi PSG, Zlatan Ibrahimovic, semua nama itu tlah mengubah klub yang bermarkas di Parc de Prince Stadium menjadi kekuatan terbesar di persepakbolaan Negri Anggur.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa liga Prancis pernah memiliki dominasi terbesar lainnya, tentunya sebelum era PSG yang menjadi klub instan dan sarat akan prestasi.
Menarik mundur ke belakang, Prancis memiliki klub-klub kuat seperti AS Monaco, FC Nantes, Girondins de Bordeaux, Olympique Marseille, hingga Saint Ettiene. Lalu, satu nama yang akan selalu lekat dengan histori Ligue One adalah Olympique Lyon.
Pada era 60 hingga 70an, Prancis memiliki nama Saint Ettiene dengan dengan delapan gelar liga Prancis dalam kurun waktu 12 tahun. Ada juga nama Bordeaux yang mendominasi era 80an. Yang tak ketinggalan pula nama Marseille yang hingga saat ini masih menjadi satu-satunya klub asal Prancis yang mampu juarai kompetisi Liga Champions Eropa.
Namun, Lyon, disisi lain, mereka berhasil merubah pandangan penggemar sepak bola Prancis, dengan tujuh gelar liga secara beruntun.
Tidak seperti PSG, kejayaan Lyon hadir dari sebuah perjuangan keras. Lyon merupakan kota kedua terbesar di Prancis, setelah Paris. Salah satu daya tarik di kota tersebut adalah klub sepakbola mereka Olympique Lyonnais.
Sebelumnya, Lyon masih berstatus klub semi-profesional. Karena perkembangan sepakbola yang semakin pesat, mereka dituntut untuk segera beralih menjadi klub profesional demi mengejar prestasi yang lebih tinggi dan konsisten.
Para petinggi klub saat itu, Felix Louot, Jean Mazier dan Abert Triliat, sepakat untuk mengubah klub mereka sebagai klub profesional dan mengubah nama klub menjadi Olympique Lyonnais pada 1950. Di era tersebut, Lyon mengalami performa naik turun. Mereka kerap gagal tampil di divisi utama dan tak jarang terjerembab ke kasta kedua sepakbola Prancis.
Barulah pada era 80an, akuisisi Jean-Michael Aulas menjadi sebuah awal dari kejayaan Lyon. Lyon bertransformasi perlahan-lahan dari klub divisi bawah menjadi kekuatan baru nan kokoh di level teratas. Aulas pun dianggap sebagai salah satu presiden klub paling revolusioner dalam sejarah sepak bola Prancis.
Sempat menunjuk Raymond Domenech hingga Guy Stephan, Lyon akhirnya sampai pada era Jacques Santini. Santini ditunjuk sebagai pelatih untuk menggantikan Stephan pada musim 2000/01. Di musim pertamanya, Santini langsung memberikan gelar Piala Liga dan membawa Lyon berada di peringkat kedua di Ligue One.
Dari prestasi tersebut, dominasi Lyon baru saja dimulai. Santini seolah memegang kontrol atas kedigdayaan Lyon di kompetisi Ligue One dan merubah tim tersebut menjadi sebuah karya agung yang akan selalu diingat dalam sejarah.
Pada musim 2001/02, Lyon berhasil menjuarai Ligue One. Prestasi tersebut terulang sampai musim 2007/08. Diawal dominasi Lyon, mereka kedatangan pemain asal Brasil yang nantinya akan menjadi ikon klub, Juninho Pernambucano.
Dalam perjalanannya, Lyon setidaknya dilatih oleh empat juru taktik. Namun, pergantian tersebut tidak mempengaruhi performa Lyon untuk terus mendominasi persepakbolaan Prancis.
Setelah Santini mundur dari kursi kepelatihan karena dianggap gagal di Liga Champions, Lyon kedatangan pria yang kini berusia 55 tahun, Paul Le Guen. Meski sempat diragukan kapasitasnya oleh media-media setempat, Le Guen malah berhasil menyumbangkan tiga trofi Ligue One secara beruntun bagi Lyon.
Hingga tepat pada musim 2003/04, Lyon mendapati musim terbaiknya. Selain teruskan dominasi di liga domestik, mereka juga berhasil lolos dari fase penyisihan grup Liga Champions untuk pertama kalinya.
Saat itu, Lyon berhasil menumpaskan perlawanan Real Sociedad sebelum terhenti oleh perlawanan FC Porto yang pada akhirnya menjadi juara.
Di musim berikutnya, Lyon kembali masuk perempat-final, sebelum disingkirkan PSV Eindhoven melalui adu tendangan penalti.
Meski tergolong memiliki catatan apik, Le Guen secara mengejutkan hengkang dari Lyon pada akhir musim 2004/05. Para fans dibuat kecewa. Pasalnya, mereka sangat berharap sang pelatih mau menerima perpanjangan kontrak yang ditawarkan.
Pasca kepergian Le Guen, pelatih berpengalaman Gerald Houllier ditunjuk sebagai suksesor. Mantan pelatih Liverpool ini kembali melanjutkan dominasi Lyon di Ligue One. Houlier diwarisi pemain-pemain berbakat seperti Juninho Pernambucano, Sylvain Wiltord, Sidney Govou, Florent Malouda hingga Gregory Coupet.
Dibawah tangan dingin Houlier, Lyon mampu meraih dua trofi ligue One yaitu pada musim 2005/06 dan 2006/07. Setelah dua musim yang sukses, Houllier mengundurkan diri dan kemudian digantikan oleh Alain Perrin.
Diketahui, mundurnya Houlier adalah karena ia tak setuju dengan kebijakan manajemen. Saat itu, langkah Houlier untuk meracik tim terhambat setelah manajemen melarangnya untuk membeli seorang striker.
Dibawah arahan Perrin, Lyon masih mampu meraih gelar Ligue one. Mereka mampu meraih tropi juara Ligue One musim 2007/08, dan di musim itu Lyon juga menempatkan pemainnya yaitu Karim Benzema sebagai topskor dengan raihan 20 gol.
Jika Olympique de Marseille diakui sebagai salah satu klub terbesar Prancis karena masa lalunya yang gemilang, Lyon dianggap sebagai klub terbesar Prancis karena dominasi fenomenalnya.
Selain meraih tujuh trofi Ligue One Prancis, Lyon juga sukses persembahkan gelar lain seperti Copa de France dan Thrope des Champions. Bahkan di musim 2009/10, mereka mampu melaju hingga semifinal Liga Champions Eropa.
Untuk era dominasi Lyon selama tujuh musim beruntun, para penggemar harus berterima kasih kepada pemain-pemain seperti Eric Abidal, Florent Malouda, Michael Essien, Edmilson, Sonny Anderson, Sidney Govou, Karim Benzema, dan tentunya sang maestro Juninho Pernambucano.