Serie A tak ubahnya menjadi wajah rupawan dari sepak bola Italia. Salah satu kompetisi paling bergengsi itu akan selalu menjadi tontonan utama para pecinta sepak bola indah.
Serie A adalah tentang bakat kelas dunia, ketidakpastian, persaingan menantang, dan kisah-kisah tak terlupakan.
Kala itu, tepat pada musim 2001/02, Hector Cuper yang menjadi satu-satunya pelatih non-italia setelah Carlo Ancelotti menggantikan Fatih Terim, memimpin anak asuhnya di Inter Milan untuk mengejar scudetto pertamanya sejak 1989.
Di musim tersebut, meski AS Roma menjadi juara bertahan, Inter Milan menjadi yang paling dijagokan. Hal itu sangat terasa wajar. Pasalnya La Beneamata benar-benar merombak skuat demi meraih trofi scudetto.
I Nerazzuri mempersiapkan timnya dengan amat serius. Belajar dari kegagalan finish di tiga besar selama tiga musim sebelumnya, Inter melalui pemilik legendarisnya, Massimo Moratti, melancarkan manuver transfer lewat dana senilai 102,5 juta euro atau setara 1,5 triliun rupiah untuk merevolusi skuat.
Pertama, mereka ingin mendatangkan pelatih berkualitas. Kala itu, pilihan klub yang bermarkas di Giuseppe Meazza berada dalam diri Hector Cuper. Pelatih yang dibawa dari Valencia itu dianggap mumpuni karena sukses membawa tim kelelawar masuk ke final Liga Champions dua kali secara beruntun.
Setelah pelatih, Inter mulai soroti kelemahan skuatnya. Jadilah mereka datangkan bintang-bintang besar Serie A seperti Francesco Toldo, Sergio Conceicao, Marco Materazzi, hingga Cristian Zanetti. Belum lagi para youngster muda macam Emre Belozoglu, Gonzalo Sorondo, Mohammed Kallon, dan si bocah ajaib Adriano Leite.
Para bintang baru tersebut nantinya akan akan dipadukan dengan Ivan Cordoba, Clarence Seedorf, Luigi Di Biagio, Alvaro Recoba, Christian Vieri, dan sang Il Fenomeno, Ronaldo Luiz Nazario de Lima.
Melihat nama-nama besar tersebut, kita semua pasti dibuat merinding bukan main. Ya, deretan pemain itu memang tangah bersinar pada masanya. Dengan demikian, harapan para penggemar, dan manajemen Inter sendiri begitu besar. Mereka ingin kembali menguasai Italia melalui peran para pemain berbakat dunia.
Disisi lain, saingan mereka, Juventus, juga tak tinggal diam. Bertaruh dengan menjual nama Zinedine Zidane, dan memecat Carlo Ancelotti, Si Nyonya Tua menarik sejumlah nama tenar seperti Gianluigi Buffon, Lilian Thuram, Pavel Nedved dan Marcelo Salas. Diposisi pelatih, mereka menunjuk allenatore asal Italia, Marcelo Lippi.
Dalam perburuan scudetto kala itu, AS Roma yang masih nyaman dengan skuat nya terus membayangi Inter dan Juventus.
Perombakan skuat Inter Milan mulai tunjukkan hasil. Di giornata pertama, mereka mampu kandaskan perlawanan Perugia dengan skor 4-1 di kandang. Meski akhirnya gagal jadi Campione d’Inverno, La Beneamata mengakhiri paruh musim di posisi ketiga, dengan hanya berselisih satu poin dari Roma di puncak klasemen.
Di paruh kedua, performa Inter makin trengginas. Mereka tampil lebih konsisten dan terus tunjukkan permainan-permainan atraktif.
Tercatat hingga bulan Maret, Inter bisa sedikit jemawa karena tempati posisi pertama klasemen sementara. Saat itu boleh dibilang peran Ronaldo de Lima untuk Inter Milan sangat terasa. Meski baru sembuh dari cedera, Ronaldo berhasil catatkan tujuh gol hanya dalam 10 pertandingan saja.
Duetnya dengan Bobo Vieri saat itu menjadi yang paling mengerikan. Kombinasi keduanya menghasilkan total 29 gol, dimana Vieri sukses menceploskan 22 gol di musim tersebut.
Namun, Inter terlalu lengah untuk diikuti dua kompetitor terberatnya, yaitu Juventus dan AS Roma.
Sudah unggul enam angka dari Juve, Inter kalah dari Atlanta dan hanya mampu bermain imbang dengan Chievo. Di pekan terakhir selisih angka Inter dengan Juve pun hanya terpaut satu angka.
Dalam periode yang sama, Juventus justru mampu meraih kemenangan secara beruntun dalam empat laga berikutnya. Hasil tersebut membuat La Baneamata berada dalam posisi terjepit untuk mempertahankan posisi puncak klasemen.
Secara keseluruhan, Inter hanya unggal datu angka dari Juve, dan hanya unggul dua angka dari AS Roma. Jadi bisa disimpulkan, siapa pun yang tergelincir di partai terakhir, maka dipastikan tim tersebut gagal meraih gelar juara.
Saat itu, Fabio Capello yang membesut AS Roma sempat berfikir kalau jarak poin tersebut akan bertahan hingga akhir musim. Artinya, Inter yang akan menjadi juara, sementara Juventus dan AS Roma mengikuti diposisi kedua dan ketiga.
Namun prediksi sang pelatih salah besar. Inter yang sangat diunggulkan untuk menjadi juara malah menjadi tim yang terpeleset di perebutan juara.
Di penghujung kompetisi kala itu, ketiga kandidat juara harus melakoni partai tandang. Juve ke stadion Friulli, kandang Udinese. Roma bertandang ke Turin, untuk menghadapi Torino. Sedangkan Inter, bertandang ke stadion Olimpico, berhadapan dengan Lazio.
Jika dilihat, Inter menjadi tim yang mendapat lawan agak berat. Lazio saat itu memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Mereka tidak akan tinggal diam demi menjaga reputasi tim.
Pertemuan antara Inter melawan Lazio juga semakin diperburuk dengan rekor pertemuan keduanya. Inter, seperti yang sudah dicatat, tak pernah menang melawan I Biancocelesti dalam 11 pertemuan terakhirnya di Serie A!
Tak ingin kehilangan Scudetto yang terakhir dirasakan 13 tahun silam, Inter sebagai tamu mampu menguasai penuh jalannya pertandingan. Mereka lantas raih keunggulan cepat di menit 12 melalui Vieri, memanfaatkan blunder Angelo Peruzzi.
Di menit ke 20, Karel Poborsky sempat menyamakan kedudukan melalui sepakan first time nya. Namun, Inter kembali unggul berkat gol tandukan Di Biagio empat menit berselang.
Akan tetapi lagi-lagi Poborsky membuat para penggemar Inter dituntut untuk terus berdoa. Pemain asal Ceko mencetak gol keduanya akibat blunder Vratislav Gresko di pengujung babak pertama.
Memasuki paruh kedua, Inter yang terlalu bernafsu mengejar kemenangan sampai lupa untuk menyeimbangkan lini belakang. Tak heran bila Lazio sukses mencuri gol lewat aksi Diego Simeone dan Simone Inzaghi. Khusus Simeone, dia enggan merayakan gol-nya karena pernah besar bersama Tim Biru Hitam.
Tertinggal dua gol, para penggawa Inter mulai putus harapan. Apalagi, menit sudah menunjukkan angka ke 80. Pemandangan paling diingat tentu saja Ronaldo yang menangis tertunduk sembari menutupi mukanya, disertai tetes air mata yang deras.
Kesedihan para pemain, penggemar, hingga manajemen semakin terlihat nyata, saat dipartai lain, Juventus berhasil menang 2-0 atas Udinese, dan juga Roma yang taklukkan Torino dengan skor 1-0 melalui aksi Antonio Cassano di menit ke 68.
Hasil tersebut membuat Juventus naik ke puncak klasemen dengan mengoleksi 71 poin dan memastikan diri sebagai juara pada musim 2001/02. Sedangkan posisi runner-up ditempati oleh Roma dan posisi ketiga ditempati Inter.
Pada akhirnya, Juventus berhasil menempelkan emblem perisai di jersey mereka. Scudetto ke 26 untuk Si Nyonya Tua!
Selain persaingan antar kedua klub, perang kata-kata antar dua pemain dari kubu Inter dan Juve pun semakin terasa. Saat itu, Marco Materazzi sempat menghina Juve yang kalah atas Perugia sehingga kehilangan scudetto dari Lazio.
Selain itu, bek yang punya perawakan tinggi besar itu pernah menghina Antonio Conte yang memiliki rambut botak dan diminta untuk melakukan transplantasi rambut.
Lalu setelah scudetto yang diraih Juve, Conte membalas dengan kalimat,
“Transplantasi rambut masih terhormat ketimbang harus memakai rambut palsu. Namun sayang bagi Materazzi, transplantasi otak masih belum ada.”
Sulit membayangkan betapa dramatisnya scudetto 2001/02, apalagi persaingan panas antara Juventus dan Inter Milan.