Halo football lovers, jumpa lagi dengan kami yang akan terus memberikan informasi dan kisah menarik seputar dunia sepakbola.
Buat kamu yang gak mau ketinggalan info dan kisah menarik tentang dunia sepakbola, jangan lupa untuk klik tombol subscribenya..
Pada pembahasan kali ini, kami akan mengajak kalian sedikit mundur ke belakang. Kenapa? karena kita akan mengenang sosok wasit paling legendaris di dunia, yaitu Pierluigi Collina.
Khusus pecinta bola era 90an, siapa sih yang gak kenal sama pria plontos dan bermata bulat menonjol ini?
Nah, Pierluigi Collina ini adalah wasit yang berasal dari Italia. Meskipun punya sifat yang galak, Collina sukses membuat para pecinta bola saat itu jatuh hati.
Sebelum lanjut, mungkin ada yang masih bingung kenapa Collina disebut sebagai wasit yang galak.
Selain memang sifatnya, Collina juga menjadi “musuh” bagi pemain yang gemar berlaku curang. Pasalnya, ia dikenal sebagai wasit yang punya sorot mata menakjubkan.
Bisa dilihat dalam tayangan-tayangan video yang memperlihatkan proses pekerjaannya sebagai seorang wasit. Pasti kalian kerap melihat aksinya bersitegang dengan kebanyakan pemain.
Meski terkesan galak, sikap tersebut justru menjadi kunci kekuatan Collina. Kekuatan yang membuat para pemain menaruh kepercayaan penuh pada sistem, sehingga bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.
Para pengamat juga menyebut Collina sebagai orang yang sangat teliti dan mau bersusah payah demi mendapatkan posisi sedekat mungkin dengan pusat permainan.
Karena sifat galak dan tegas itulah, sampai-sampai kerap ada slogan yang berbunyi “semua orang di atas lapangan tunduk jika Collina yang memimpin jalannya sebuah pertandingan”.
Slogan itu seolah mampu membawa Collina menuju berbagai tumpukan prestasi. Bahkan bisa dibilang, prestasi pria kelahiran Bologna, Italia, di kancah perwasitan ini sangat luar biasa.
Anak semata wayang pasangan Elia yang merupakan pegawai negeri, dan Luciana yang berprofesi sebagai guru SD ini tercatat pernah meraih penghargaan Premio Bernardi sebagai wasit pendatang baru terbaik Serie A di musim kompetisi 1991/1992.
Selain itu, dia juga menerima penghargaan Premio Dattilo atau wasit Internasional Italia terbaik musim 1996/1997, serta Premio Mauro atau wasit terbaik Serie A musim 1998/1999.
Belum cukup dengan penghargaan dari Asosiasi Wasit Italia, hasil poling Asosiasi Pesepakbola Italia juga menghadiahkan medali Oscar del Calcio untuk Collina pada tahun 1997, 1998, dan 2000.
Hmm gimana nih.. Hebat banget kan?
Tapi kalau kalian ngerasa penghargaan-penghargaan itu tadi sudah cukup membuat Collina terbilang hebat, maka kalian salah besar!
Ternyata, Induk organisasi sepakbola sejagad, FIFA, juga memilihnya sebagai wasit terbaik sebanyak empat kali, yaitu di tahun 1998, 1999, 2000, dan 2001. Wow!
Puncak prestasi Collina sendiri terukir saat FIFA mempercayainya menghakimi partai final Piala Dunia 2002. Duel yang sangat diidam-idamkan wasit di seluruh dunia itu begitu berkesan buat pria 59 tahun ini.
Dengan terpilihnya Collina pada laga final tersebut, ia praktis menjadi wasit asal Italia kedua yang memimpin sebuah partai akbar setelah Sergio Gonella pada 1978.
Namun seperti apa yang semua orang bilang, “Nahkoda yang hebat tidak lahir dari lautan yang tenang.”
Agaknya, ungkapan itu sangat cocok untuk Collina.
Jalan Collina untuk menjadi seorang wasit sangat tersusun, tapi tidak terencana. Loh kok bisa? Iya!
Awalnya, suami Gianna ini melanjutkan sekolahnya pasca SMA ke Fakultas Ekonomi Universitas Bologna dan lulus dengan sangat memuaskan pada 1984. Bahkan sejak kecil, ia tidak terlalu menyukai sepakbola melainkan basket!
Sejak 1991, dia tinggal di Viareggio dan membina karier sebagai penasihat keuangan. Namun karena tidak terlalu menguasai basket, ia lalu bergabung dengan kesebelasan Don Orione, Bologna.
Setelah di klub tersebut hanya menjadi penghangat bangku cadangan, ia akhirnya hijrah ke klub Pallavicini.
Uniknya, dua tahun bermain sebagai bek tengah, pria yang fasih berbicara dalam beberapa bahasa, termasuk Inggris, itu ternyata cukup sering diganjar kartu merah, lantaran ganjalan-ganjalannya dianggap membahayakan.
Nah, kira-kira udah punya gambaran belum nih tentang cerita selanjutnya?
Ya bener banget! Kartu meraih yang sering didapatnya itu seolah jadi bekal awal buat Collina di lapangan hijau. Sebelum berhak mengusir pemain dari lapangan, yaa dia sudah merasakan sendiri pahitnya diusir wasit.
Berkat segala “pengusiran” itu, Collina tertarik menjadi seorang wasit. Ialalu memutuskan untuk mengajak seorang temannya mendaftar kursus wasit. Itu terjadi sekitar tahun 1977.
Dari hal yang “tidak terencana” itulah, Collina mulai “menyusun” strategi agar hidupnya berubah, dari penasihat keuangan menjadi seorang wasit sepakbola!
Dasar memang berbakat, Pierluigi Collina cuma butuh waktu tiga tahun untuk langsung berkancah di level regional. Tercatat tahun 1983, dia sudah lulus ujian tingkat nasional dan mulai berkeliling Italia. Sedangkan tahun 1988, sudah mewasiti divisi tiga. Gimana? Keren kan?
Setelah itu, jalan menuju Serie A dan Serie B seperti terbuka lebar.
Tahun 1991 menjadi tahun keberuntungan buat Collina. Selain sukses meminang dan menikahi Gianna, di tahun itu pula, tepatnya 15 Desember 1991, dia memuiai langkah besarnya di Serie A, saat Verona menjamu Ascoli.
Akhirnya.. jalan mulus terus menghampiri Collina setelah tahun 1995, namanya masuk kedaftar wasit eksklusif FIFA! Wow!
Meski pernah menjadi wasit di pertandingan sekelas final Piala Dunia, Collina gak menyebut kalau partai itu adalah yang terbaik buatnya. Menurut wasit asal Negri Pizza itu, pertandingan yang paling diingatnya adalah waktu dia jadi wasit di final Liga Champions Eropa antara Manchester United vs Bayern Munchen!
Bagi Collina, momen dalam final itulah yang bikin dia merinding tiap kali mengingatnya.
Sebelum lanjut, kami akan bahas sedikit tentang sisi kemanusiaan wasit yang terkenal “galak” ini.
Masih di partai final Liga Champions favoritnya, Collina melakukan hal yang sangat luar biasa. Saat itu, United merayakan gol di injury time dari Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer.
Di pertandingan itu, Collina berusaha untuk menghibur pemain-pemain FC Bayern yang kebingungan pada akhir dari apa yang sekarang ia gambarkan sebagai “salah satu akhir yang paling mendebarkan untuk pertandingan sepakbola”.
Selain prestasi-prestasi yang pernah diraih Collina, kalian pernah berfikir gak sih kenapa dia memiliki kepala plontos. Atau paling tidak, kenapa dia memilih untuk berkepala plontos?
Nah biar gak muter-muter, langsung aja nih kami kasih tau.
Usut punya usut, kepala plontos Collina ini bukan karena kemauannya sendiri loh! Melainkan karena wasit legendaris ini punya penyakit Alopecia. Emang apa sih Alopecia itu?
Menurut situs hallosehat.com, Alopecia atau yang lebih dikenal dengan kebotakan adalah kondisi di mana jumlah rambut yang rontok lebih banyak dari rambut yang tumbuh.
Dalam kondisi yang normal, rata-rata rambut manusia bisa rontok 50-100 helai per hari. Nah, kebotakan ini terjadi apabila rambut rontok lebih dari 100 helai per hari. Tergantung dari gejala dan penyakitnya itu sendiri.
Dengan kepala plontos dan ditekankan oleh kedua bola matanya yang melotot, membuat bentuk fisiknya sangat mudah dikenali.
Dalam perjalanan kariernya ia juga dikenal sebagai sosok yang sangat bersih. Artinya, Collina sangat menolak segala bentuk sogokan atau melakukan hal-hal yang melanggar kode etik perwasitan.
Salah satu buktinya adalah ketika panggung Serie A diguncang Calciopoli yang sangat memalukan. Tercatat, Collina adalah salah satu dari dua wasit Italia yang bersih akan kasus-kasus tersebut. Wah, hebat banget ya!
Tapi nih, meski punya catatan perwasitan yang sangat mengkilap, akhir perjalanan kariernya tidak berjalan mulus. Kembali lagi, Collina bukanlah sosok malaikat. Ia hanya manusia biasa yang sering melakukan kesalahan.
Saat itu, Pierluigi Collina mengundurkan diri setelah dilarang memimpin lagi di pertandingan Liga Italia.
Ia dianggap terikat kontrak dengan Opel yang notabene juga mensponsori AC Milan, dan beberapa kali mewasiti latihan klub merah-hitam itu. Kemudian, ia sempat dituntut oleh tim AS Roma karena telah mengelurkan keputusan yang fatal.
Dalam dakwaannya, Collina dianggap membuat kesalahan saat memimpin partai AS Roma melawan Bologna, Modena, Brescia, Lazio, Perugia, Piacenza, dan Parma.
Peristiwa yang menurunkan kredibilitas Collina itu membuka mata bahwa wasit berdedikasi tinggi dan intelek sekelas Pieriuigi Collina pun bisa berbuat salah.
Pasca pensiun, Collina sempat menjabat sebagai Ketua Wasit UEFA. Namun karena alasan pribadi, ia memilih mundur.
Di bawah kepemimpinannya, UEFA berhasil mengembangkan program untuk memperbaiki teknik wasit, kebugaran dan standar nutrisi, serta memastikan pengetahuan tim dan taktik menjadi bagian dari persiapan mereka untuk setiap pertandingan.
Nah, melihat karakter dan kedisiplinannya, kira-kira Indonesia butuh gak sih wasit seperti Pierluigi Collina?