Dalam sebuah pertandingan, kalah menang merupakan hal yang sangat lumrah. Namun jika kekalahan itu diterima disaat-saat krusial seperti partai final, itu akan menjadi hal yang sangat menyakitkan bagi siapapun yang mengalaminya. Apalagi final di turnamen sekelas Liga Champions Eropa.
Jika kalian bertanya tentang bagaimana pahitnya menelan kekalahan di final Liga Champions Eropa, mungkin kisah Mauricio Pochettino bisa sedikit menggambarkan.
Memenangkan trofi Liga Champions Eropa merupakan impian bagi sebagian besar pemain dunia. Bahkan, ada nama-nama tenar seperti Ronaldo de Lima, Zlatan Ibrahimovic, hingga Ruud van Nistelrooy yang sama sekali belum pernah mengangkat trofi Si Kuping Besar. Oleh sebab itu, belum sempurna karier seorang pemain jika belum pernah menjadi kampiun di benua biru.
Namun sebelum berlanjut ke kisah kelam Pochettino bersama Liga Champions, sedikit cerita dari Andrea Pirlo mungkin bisa menguatkan anggapan betapa membanggakannya menjadi jawara di tanah Eropa.
Saat itu, Pirlo yang tergabung kedalam skuat AC Milan harus mengalami mimpi buruk setelah armada Rafael Benitez berhasil menyamakan kedudukan hingga membuat tim yang bermarkas di Anfield mampu juarai Liga Champions Eropa untuk kali kelima.
Karena kalah secara tragis, Andre Pirlo mengaku nyaris ingin menamatkan karier sepakbolanya. Hal ini diungkapkan Pirlo kala meluncurkan otobiografi pertamanya yang bertajuk ‘I Think Therefore I Play’, di mana isinya banyak menceritakan perjalanan kariernya di klub maupun timnas.
“Ketika laga itu tuntas, kami duduk terdiam seperti orang bodoh di ruang ganti. Kami tidak mampu berbicara, kami tidak bisa bergerak sama sekali. Mereka menghancurkan mental kami,”
“Insomnia, depresi, kekesalan, dan pikiran kami kosong. Kami seperti terkena wabah penyakit baru dengan banyak komplikasi: Sindrom Istanbul.”
“Aku merasa ingin pensiun saja saat itu karena aku benar-benar frustrasi. Lebih buruk lagi, aku merasa tak pantas menjadi laki-laki,” ujar Pirlo (dikutip dari FourFourTwo)
Kisah mengerikan Pirlo mungkin bisa menjadi patokan seperti apa kehancuran yang dirasakan Pochettino saat gagal mengangkat trofi Liga Champions bersama Tottenham Hotspurs.
Dilansir dari goal, Pochettino merasa kecewa dengan kekalahan yang diterima di final melawan Liverpool. Dalam pertandingan yang digelar pada awal Juni lalu itu, The Reds berhasil mengandaskan perlawanan Tottenham dengan skor 2-0.
Liverpool langsung menciptakan start sempurna setelah unggul di menit ke-2 lewat eksekusi penalti Mohamed Salah. Penalti ini terjadi setelah Mousa Sissoko melakukan hands ball saat menghalau bola sodoran Sadio Mane di detik 28.
Setelah gol ini tercipta, Tottenham yang baru pertama kali lolos ke final Liga Champions langsung menekan pertahanan Liverpool yang dikomandoi Virgil van Dijk. Harry Kane yang baru sembuh dari cedera pun jadi tumpuan Tottenham dalam menjebol gawang Liverpool yang dijaga Alisson Becker.
Di menit ke 15, Trent Alexander Arnold berhasil menciptakan peluang namun sepakan bek kanan Liverpool itu masih menyamping tipis di sisi kanan gawang Tottenham yang dijaga Hugo Lloris.
Setelah sempat saling jual beli serangan, babak pertama pun berakhir dengan skor 1-0, untuk Liverpool.
Setelah babak kedua dimulai, Tottenham langsung mengambil inisiatif serangan, dan Liverpool lebih banyak menunggu untuk melakukan serangan balik lewat trio, Salah-Mane-Firmino. Setelah dinilai tak memberi andil besar pada pertandingan tersebut, Jurgen Klopp akhirnya mengganti Roberto Firmino dengan Divock Origi.
Taktik itupun berjalan mulus. Divock Origi yang masuk di babak kedua berhasil menjebol gawang Lloris di menit 87 lewat sepakan kaki kiri. Hingga pertandingan usai, skor 2-0 untuk keunggulan Liverpool tidak berubah.
Seketika, harapan para penggemar The Lillywhites, termasuk ekspektasi besar dari pelatih Mauricio Pochettino pun hancur tak berbekas. Hal tersebut terasa sangat wajar mengingat perjalanan yang ditempuh klub besutan pelatih asal Argentina itu tak main-main. Mereka berhasil kandaskan perlawanan Manchester City dan menang secara dramatis melawan Ajax Amsterdam.
Selain itu, dibanding Liverpool yang sudah delapan kali tampil di final Liga Champions dan lima kali sukses meraih trofi si kuping lebar, Tottenham Hotspur hanyalah pendatang baru di final kejuaraan antarklub kasta teratas di Eropa itu. Mereka bisa dibilang sebagai kuda hitam. Setelah kalah dalam dua laga awal pada Liga Champions musim ini, dari Inter Milan dan Barcelona, Tottenham kemudian perlahan meraih poin dan lulus dari fase grup.
Tapi, nasi telah menjadi bubur. Mereka gagal dan tidak bisa meraih mimpi untuk mengangkat trofi Si Kuping Besar. Pasca pertandingan berakhir, Pochettino langsung memesan kereta dari Madrid ke Barcelona. Setelah itu, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia sulit membayangkan mimpi buruk itu dan memutuskan untuk tidak keluar rumah selama sepuluh hari.
Pelatih asal Argentina itu beranggapan bahwa anak asuhnya bermain lebih baik. Mereka sudah mempersiapkan pertandingan selama kurang lebih tiga minggu. Segala detail diperhatikan. Namun tetap saja gagal mewujudkan mimpi para penggemar The LillyWhites diseluruh dunia.
Bagi Pochettino yang saat ini sudah berusia 47 tahun, kekalahan di final Liga Champions merupakan satu dari dua pengalaman buruk dalam kariernya. Sebelumnya, ia juga pernah merasakan kekecewaan yang begitu mendalam saat gagal bermain apik di Piala Dunia 2002. Kala itu, timnya hanya bermain imbang melawan Swedia dan kalah melawan Inggris d fase grup.
Dua momen tersebut adalah pengalaman terburuk sebagai pemain dan sebagai pelatih.
Namun, kegagalan Pochettino dalam memberi gelar juara bagi Spurs membawa berkah tersendiri bagi klub. Pasalnya, Poch bakal pergi kalau ia suskes membawa Spurs menjadi jawara Eropa saat itu. Dirinya mengaku ingin menutup karier sebagai pelatih Tottenham dengan catatan manis. Namun apa daya, rencana nya tak sesuai dengan harapan.
Pochettino bisa dibilang menjadi salah satu manajer terbaik Tottenham. Sejak 2014, kinerjanya selalu dipuji karena mampu membawa Tottenham bersaing di papan atas dan rutin tampil di Liga Champions Eropa.
Meski sempat frutasi berat, Pochettino segera bangkit. Ia mengatakan kalau sang pemenang tidak pantas bersikap seperti ini. Mereka yang tampil ditangga juara selalu lewati berbagai cobaan dan kekecewaan mendalam. Oleh sebab itu, ia tak mau berlama-lama bersedih dan siap menjalani musim 2019/20 dengan penuh semangat.