Menurut Aldo Agroppi, pelatihnya di Fiorentina, Roberto Baggio dijuluki sebagai malaikat yang bernyanyi dengan kakinya. Ya, julukan itu nampak tidak berlebihan untuk seorang Baggio.
Penggemar Serie A lawas tentu tak mungkin lupa dengan Roberto Baggio. Pemain kelahiran 18 Februari 1967 tersebut merupakan legenda sepak bola Italia yang punya beragam kisah. Dia setidaknya diingat berkat penampilan rambut kuncir kudanya, yang memang melekat erat di sepanjang kariernya.
Karier Baggio bisa dibilang naik turun. Ia pernah berada di lembah hitam, tapi pernah pula di surga tertinggi. Namun diluar itu semua, Baggio tetaplah menjadi salah satu penggawa Italia yang paling dinantikan kehadirannya.
Di dalam lapangan, Baggio menjalani karier dengan penuh liku. Usianya baru 18 tahun saat ia menderita cedera lutut pertamanya. Ia saat itu baru saja bergabung dengan Fiorentina dari Viacenza. Ia harus mendapat 220 jahitan, dan kehilangan 12 kilogram berat badan selama pemulihan. Dokter bahkan sampai memvonisnya tak bisa bermain lagi.
Namun nyatanya Baggio sanggup bermain lagi 18 bulan kemudian. Ia mempersembahkan 55 gol dalam 136 penampilan untuk Fiorentina selama lima tahun, untuk kemudian memenangi kepindahan ke Juventus pada 1990.
Kepindahan Baggio menuju klub asal Turin sempat sebabkan amarah penggemar La Viola.
Fans Fiorentina mengamuk di Firenze dan menyebabkan kerusuhan. Total 50 orang terluka dalam bentrok dengan pihak keamanan mengingat saat itu Italia juga tengah bersiap menghadapi Piala Dunia 1990 sebagai tuan rumah.
Namun, Baggio mengaku tetap mencintai Fiorentina meski putuskan hengkang ke Juventus.
Saat kali pertama menyambangi kandang Fiorentina sebagai pemain Juventus, Baggio menolak mengeksekusi penalti. Ketika ia hendak diganti, ia juga mengambil sebuah syal ungu Fiorentina ke lapangan.
Keputusan Baggio menolak melakukan tendangan penalti ke gawang Fiorentina dan mencium syal eks klubnya itu, membuat cinta publik Italia makin bertambah padanya.
Bermain sebagai trequartista, Baggio dikenal memiliki insting mencetak gol dan visi mumpuni untuk menjadi playmaker. Pada musim tahun 1993, ia tercatat mencetak rekor pribadi 39 gol, mengantarkan Juventus meraih Piala UEFA, serta membawa Italia lolos ke Piala Dunia 1994.
Tak hanya Fiorentina, fans AC Milan, Bologna, dan Inter Milan pun mencintai Baggio. Padahal, Baggio hanya menghabiskan waktu singkat memperkuat tim-tim tersebut. Bahkan, Baggio tak pernah disoraki meskipun menyebrang dari Milan ke Inter.
Di Brescia yang merupakan klub terakhirnya, Baggio dianggap layaknya dewa. Dia seolah menjadi anugerah untuk klub tersebut. Bersama Baggio, Brescia menjadi perhatian di Serie A. Nomor 10 yang dipensiunkan Brescia adalah bukti besarnya cinta mereka pada Si Ekor Kuda.
Baggio merupakan pemain istimewa. Ia lihai dalam mengolah bola dan menjadi eksekutor penalti handal. Sepanjang kariernya, ia mencetak 108 gol dari titik putih. Rasio keberhasilannya mencapai 85%, yang merentang sejak membela Vicenza, Fiorentina, Juventus, Milan, Bologna, Inter, Brescia, dan timnas Italia.
Sayangnya, ia justru menjadi kambing hitam bagi negaranya di final Piala Dunia 1994.
Roberto Baggio adalah spesialis set piece. Performanya yang memukau mengantar Italia ke final Piala Dunia 1994. Namun kegagalannya mengeksekusi penalti adalah sebuah bencana.
Kalau ada peristiwa-peristiwa yang bisa dianggap sebagai tragedi di sepanjang sejarah Piala Dunia, maka kegagalan penalti Roberto Baggio di 1994 adalah salah satunya. Baggio tak layak mendapatkan kepahitan itu, setelah apa yang dia pertunjukkan di sepanjang turnamen.
Saat itu, 17 Juli 1994, Roberto Baggio menjadi penendang penalti terakhir Italia pada laga final melawan Brasil di Stadion Rose Bowl, Amerika Serikat. Kegagalan pemain bernomor 10 itu membuat Italia kalah 2-3 dari Brasil dalam adu penalti.
“Kegagalan penalti di Final Piala Dunia 1994 adalah momen terburukku. Jika aku bisa menghapus momen dalam karierku, maka itu mungkin menjadi salah satu bagian yang akan aku hapus,” kata Baggio (dikutip dari FourFourTwo)
“Itu luka yang tidak pernah sembuh. Aku selalu bermimpi main di final Piala Dunia melawan Brasil. Tetapi kenyataannya, aku gagal mengeksekusi penalti,”
Roberto Baggio merasa dia pantas disalahkan dalam kegagalan Italia. Kegemilangannya dalam membawa Italia ke final dengan aksinya seolah terhapus begitu saja.
Tapi, bagaimanapun, Baggio merupakan nama besar Italia. Ia sebenarnya tak bisa dianggap bermain buruk atau gagal di klub besar dan tim nasional. Toh, rakyat Italia tetap mencintainya.
Sebuah polling internet pada 2001 bahkan menyajikan hasil bahwa Baggio adalah pemilik status pemain paling dicintai. Penghargaan Most Loved Player yang didapat Baggio di Italian Football Oscars pada 2002 juga menegaskan statusnya sebagai pemain paling dicintai oleh publik Italia.
Baggio menutup kariernya pada 16 Mei 2004, nyaris 10 tahun sejak dia gagal mengeksekusi penalti di final Piala Dunia 1994. Tak hanya di Stadion Mario Rigamonti milik Brescia, di markas AC Milan, Stadion San Siro, Baggio juga mendapat sambutan meriah di laga terakhirnya.
Saat Baggio ditarik keluar lapangan pada menit ke-88, publik San Siro memberikan standing ovation. Tepuk tangan meriah itu diikuti oleh seruan-seruan dukungan kepada sang malaikat yang bernyanyi dengan kakinya.