Dekade 90-an menjadi salah satu masa keemasan tim nasional Brasil di kancah sepak bola dunia. Pada masa itu, tim samba tampil dalam dua laga puncak piala dunia, yang pertama pada tahun 1994 di Amerika Serikat dan kedua tahun 1998 di Prancis.
Khusus piala dunia 1994, mereka bahkan mengakhirinya sebagai pemenang. Ketika itu, tim samba mengalahkan Italia lewat drama adu penalti setelah Roberto Baggio sebagai penendang terakhir Gli Azzuri gagal menunaikan tugasnya.
Selain juru taktik Carlos Alberto Pereira, pahlawan Brasil lain di piala dunia 1994 adalah Romario dan Bebeto. Keduanya berposisi sebagai penyerang, mereka merupakan duet di lini depan tim samba kala mengarungi perjalanan di Amerika Serikat.
Salah satu aksi yang paling diingat dari duet tersebut adalah saat laga antara Brasil melawan Belanda di babak perempat final. Bermain di stadion Rose Bowl dan di saksikan 64.000 penonton, Romario membawa Brasil memimpin 1-0 dengan gol klasiknya setelah memanfaatkan umpan Bebeto dari sisi kiri.
Sepuluh menit kemudian, tim Samba menambah keunggulan, kali ini melalui kaki Bebeto yang sebelumnya melakukan pergerakan melewati kiper Belanda. Sebelum laga dimainkan, istri Bebeto baru saja melahirkan seorang putra yang diberi nama Matheus dua hari sebelumnya.
Sebagai bentuk rasa syukur, Bebeto langsung berlari ke tepi lapangan sambil bergaya menimang-nimang seorang bayi, Romario kemudian diikuti Mazinho bergabung dengannya dan dalam perayaan gol yang menjadi salah satu momen paling ikonik di turnamen akbar itu.
Setelah merayakan gol dengan gaya menimang-nimang bayi tersebut, Bebeto langsung merangkul pemain yang di sebelahnya, dan orang pertama yang dirangkulnya adalah Romario,duetnya di lini depan yang sekaligus juga menjadi saingannya dalam beberapa tahun.
Selebrasi dan ekspresi kebahagiaan dari wajah kedua pemain tersebut seakan-akan menandakan bahwa diantara keduanya tidak ada persaingan. Chemistry antara Bebeto dan Romario di dalam lapangan adalah hal alami, padahal dalam kehidupan pribadi, mereka memiliki hubungan yang tidak harmonis.
Fakta mengungkapkan, di luar lapangan, duet mematikan ini memiliki pandangan, kepribadian, dan gaya hidup yang berbeda sehingga ketika mereka mampu berkolaborasi dengan baik di arena hijau, membuat prestasi mereka sangat menakjubkan.
Bebeto sendiri merupakan seseorang yang bersama keluarganya memiliki hidup bersih serta religius. Sedangkan Romário, adalah ekstrovert, hedonistik, dan gaya hidupnya sering berubah-ubah, lebih tepatnya sifat Romario dalam menjalani kehidupan lebih buruk daripada Bebeto.
Romário sendiri mengungkapkan memiliki perbedaan yang kontras antara dirinya dengan Bebeto,“Kami adalah orang yang berbeda, Bebeto adalah tipe keluarga, tinggal di rumah. Sedangkan saya kucing jalanan. ” (Dikutip dari Thesefootballthemes)
Di Piala dunia 1994 sendiri, secara total delapan gol mereka bukukan untuk Brasil dalam turnamen akbar tersebut. Dengan Bebeto mengoleksi 3 gol sementara Romario sebanyak 5 gol. Kerjasama mereka membuatnya menjadi salah satu duet terbaik di ajang tersebut.
Di luar tim nasional, Jangan pernah ditanyakan, kedua pemain tersebut seperti sudah ditakdirkan berjalan di atas persaingan. Dua sosok tersebut sangat familiar di mata para penggemar sepak bola Rio De Janeiro yang pada 1980-an dan awal 90-an menyaksikan mereka menyumbang gol demi gol untuk Flamengo dan Vasco da Gama, dua klub terbesar kota tersebut.
Selama bertahun-tahun, Persaingan mereka dilevel klub tak bisa dihindarkan. Menjelang piala dunia 1994, Carlos Alberto Pereyra, pelatih Brasil sampai harus menjadi penengah diantara keduanya, hal itu memiliki tujuan jelas agar tim samba berjaya di piala dunia.
Dilahirkan pada Februari 1964 di kota Salvador, Bahia, Bebeto adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ia mampu menempuh pendidikan hingga tingkat SMA. Bebeto lalu mengawali karir juniornya bersama klub lokal, Bahia ketika berusia 16 tahun. Tak lama berselang, ia bergabung dengan rival satu kota, Vitoria.
Setelah tampil mengesankan di level Junior, Bebeto dilirik klub-klub Brasil, hingga pada 1984 ia direkrut tim raksasa Flamengo. Dan pada tahun 1985, pemain yang memiliki kecepatan ini memperkuat timnas, bermain dalam enam pertandingan namun tidak ada satu gol pun yang ia ciptakan, hal ini membuat keraguan publik yang mengharapkannya untuk menjadi penerus Careca, striker timnas Brasil kala itu.
Setelah tampil buruk, dalam tiga tahun beruntun, Bebeto sama sekali tidak dipanggil kembali oleh Brasil. Perannya di lini depan Brasil kemudian di jalankan oleh Romario. Berbekal akselarasi yang cepat, kontrol bola yang baik, dan penyelesaian yang klinis membuat Johan Cruyff kala itu memuji Romario dengan “seorang jenius dari kotak penalti”.
Berbeda 180 derajat dari Bebeto, Romario yang dilahirkan tahun 1966 mempunyai kehidupan awal yang sangat memprihatinkan. Bahkan, Orang tuanya bekerja hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makannya saja.
Saat kecil, Romario sering memainkan bola di jalanan. Hingga ia tumbuh dan berkembang. Kemampuannya menarik minat klub bernama Olaria, tak butuh waktu lama bagi Romario untuk kemudian bergabung dengan Vasco Da Gama, Rival utama Flamengo. Ia lalu membuat debut profesionalnya pada tahun 1985.
Baik Bebeto maupun Romario sama-sama menjadi pemain andalan di klubnya masing-masing, selama kurun waktu empat tahun mereka bersaing memperebutkan gelar domestik maupun penghargaan individu seperti topskor maupun titel pemain terbaik.
Setelah mampu bermain gemilang bersama Vasco, Romario membuat debutnya untuk timnas Brasil pada 1987. Tidak seperti Bebeto, Romario berhasil beradaptasi dengan baik di kancah Internasional, mencetak empat gol dalam enam penampilan pertamanya.
Di sisi lain, Bebeto yang tampil bagus bersama Flamengo kembali dipanggil untuk memperkuat Brasil pada ajang Olimpiade Seoul 1988. Di kompetisi inilah baik Romario dan Bebeto untuk kali pertama bermain dalam satu tim, meninggalkan sejenak rivalitas mereka di level klub.
Di Oimpiade Seoul, Romario tampil jauh lebih unggul daripada Bebeto. Mencetak 7 gol dan membawa Brasil keluar sebagai runner-up. Performa gemilang Romario membuatnya menarik perhatian PSV Eindhoven yang merekrutnya pada musim panas 1988.
Kepergian Romario ke PSV, membuat Vasco Da Gama kesal. Hingga kemudian, yang paling membuat kontroversi serta sangat mengejutkan publik kota Rio De Janeiro, mereka memboyong Bebeto yang notabene berasal dari klub Rival, Flamengo pada 1989.
Musim pertama Bebeto bersama Vasco dilalui dengan cemerlang, ia menjadi topskor dan meriah gelar liga Brasil. Tak hanya itu, Ia juga dinobatkan sebagai pemain terbaik Amerika Selatan. Di sisi yang lain, Romario juga tampil memuaskan bersama PSV.
Mereka kemudian membela Brasil di Copa America 1989 yang berlangsung di negara sendiri. Kerjasama mereka sukses membawa Samba finis sebagai pemenang. Meski tampil sebagai playmaker, Bebeto lah yang keluar sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan 6 gol.
Setelah tiga tahun bersama Vasco, Bebeto lalu merambah eropa dan menikmati kesuksesan saat memperkuat Deportivo La Coruna dari 1992 hingga 1996.
Sedangkan bagi Romario, setelah menjalani beberapa musim yang sempurna di Eredivisie, ia lalu memperkuat Barcelona pada 1993 hingga 1995, hal itu membuatnya kembali bersaing dengan seteru abadinya, Bebeto di ajang domestik Spanyol.
Meskipun sama-sama hebat di level klub dan hampir selalu terlibat persaingan sengit. Baik Romario dan Bebeto mampu mengesampingkan urusan itu ketika tampil membela negaranya di kancah Internasional. Gol demi gol mereka ciptakan dan membawa Brasil kepada kejayaan.
Romario mengakhiri karirnya sebagai pesepak bola pada 2009, sementara Bebeto lima tahun sebelumnya. Di level timnas, Romario lebih menjanjikan dengan cetak 55 gol dari 70 penampilan, sementara Bebeto menciptakan 39 gol dari 75 laga.
Setelah cukup lama tidak bersama, keduanya kemudian terlibat kerjasama di panggung politik pada tahun 2017.