Brasil merupakan gudangnya pesepakbola hebat. Ratusan hingga mungkin ribuan pesepakbola dengan talenta luar biasa lahir di sana. Dari sederet nama pesepakbola hebat asal Brasil, muskil rasanya mengesampingkan sosok bernama Romario de Souza Faria atau yang akrab di kenal Romario.
Sama seperti banyak bintang sepak bola di Amerika Selatan, kisah Romário dimulai dari kemiskinan. Lahir pada tahun 1966, ia memulai hidup di Jacarezinho, distrik terbesar kedua di kota Rio de Janeiro.
Ayahnya, Edevair, sangat ingin putranya hidup makmur dan sangat antusias ketika anak muda itu mulai mengembangkan bakat untuk permainan yang ia sayangi.
Saat berusia 13 tahun, Romario bergabung dengan Olaria, sebuah klub kecil di pinggiran kota Rio. Di klub tersebut ia berhasil menarik perhatian banyak kalangan. Meskipun bertubuh pendek, Romario mempunyai kelebihan lain yakni dalam segi kekuatan kaki, kecepatan dan kontrol bola yang mumpuni.
Saat masih remaja, Romario juga kerap berlatih memainkan si kulit bundar di pantai. Setelah tampil apik di level amatir bersama Olaria, ia direkrut oleh Vasco de Gama pada tahun 1981. Dan ia lalu mencatatkan debut profesionalnya pada tahun 1985.
Bertahan selama tiga musim, ia memberikan dua gelar prestis, yakni Campeonato Carioca pada 1987 dan 1988. Penampilan apiknya di Vasco membuat ia masuk dalam daftar pemain Timnas Brasil untuk Olimpiade Musim Panas 1988. Di mana ia menjadi pencetak gol terbanyak dan membuatnya direkrut PSV Eindhoven.
Kala itu, PSV dbawah asuhan Guus Hidink sedang dalam masa jaya-jayanya. Musim sebelum Romario datang di capai dengan treble winners. Kehadiran Romario pun sempat menjadi buah bibir pada saat itu.
Pada musim pertamanya, Romario mencetak 19 gol Eredivisie dan membantu PSV mempertahankan gelar domestiknya.
Kehebatan Romario dengan skill olah bola yang memukau serta kelincahannya membuat Guus Hidink terpesona dengan penampilan penyerang asal Brasil itu di lapangan hijau.
“Dia adalah pemain paling menarik yang saya latih sejauh ini. Ketika dia melihatku tegang, dia akan datang dan berkata, ‘Santai, coach, aku akan mencetak gol dan kita akan menang’. Yang luar biasa adalah delapan dari sepuluh kali dia seperti itu, ia mencetak gol dan kita menang.” Ujar Hidink. (Dikutip dari TheseFootballThemes).
Selama lima musim di Belanda, Romario memberikan tiga gelar Eredivisie yakni pada tahun 1989, 1991, dan 1992. Secara total ia mencetak 127 gol dari 142 penampilan bersama PSV.
Romario kemudian hengkang ke Barcelona pada musim 1993/94 dan menjadi bagian dari tim impian bersama pelatih Johan Cruyff, dan pemain-pemain seperti Hristo Stoichkov, Josep Guardiola, Michael Laudrup dan Ronald Koeman.
Di musim pertamanya, Romario sukses membantu Los Cules memenangkan gelar La Liga, plus ia meraih prestasi individu sebagai top skor liga dengan mencetak 30 gol dalam 33 pertandingan. Salah satu momen yang paling dikenang, tentu saja, ketika ia mencetak hat-trick untuk membantu Barca melumat Real Madrid dengan skor 5-0 di Camp Nou.
Kehebatan Romario bahkan mendapatkan pengakuan dari Cruyff. Dalam suatu kesempatan, Cruyff menyebut Romario sebagai pemain terbaik yang sempat ia latih. Cruyff menyebut, “Itu pasti Romário. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan terjadi padanya. Tekniknya luar biasa, dan dia mencetak gol dari setiap sisi.” (DIKUTIP DARI THESEFOOTBALLTHEMES)
Meskipun hebat. Romario adalah tipe pemain yang tidak begitu antusias ketika berlatih. Maksudnya, ia tidaklah disiplin-disiplin amat. Yah, tipikal orang Brasil yang menganggap sepak bola adalah permainan; bukan sesuatu yang patut di seriusi terlalu berlebihan.
Nama Romario semakin dikenal luas saat tampil di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat. Turnamen tersebut menjadi panggung paling megah yang mempertontonkan kehebatan Romario. Bersama rekan duetnya, Bebeto, Timnas Brasil dibawa menuju ke tangga juara Piala Dunia 1994.
Romario menyebut rekan duetnya itu sebagai saudaranya dari dunia yang lain. Kehebatan mereka mampu mengakhiri paceklik juara dunia Timnas Brasil. Penantian 24 tahun itu akhirnya berakhir.
Romario diganjar sebagai pemain terbaik Piala Dunia 1994. Ia juga masuk dalam All Star World Cup 1994 bersama dengan Roberto Baggio. Padahal awalnya, pelatih Brasil, Carlos Alberto Pereyra enggan untuk menyertakan Romario dalam skuadnya.
Baginya, Romario adalah pemain egois yang bisa merusak ritme permainan tim. Namun ketika begitu banyak media massa dan masyarakat menekan agar nama Romario kembali masuk tim inti, Perreira akhirnya menyerah.
Kehebatan Romario sebagai pesepak bola telah menjadi inspirasi bagi anak-anak di tanah kelahirannya. Bagi orang Brasil, Romario lebih dari sekedar Superstar Global. Romario telah menjalani apa yang sedang menjadi mimpi bagi anak-anak Brasil.
Pada tahun 1997, Romario bertandem dengan daun muda, Ronaldo ketika meraih juara piala konfederasi, duet tersebut mendapat julukan Ro-Ro. Kemudian, ikatan keduanya yang mematikan di lapangan membawa Brasil meraih Copa América 1997 dan lolos ke Piala Dunia 1998 di Prancis.
Sayang, cedera jelang perhelatan piala dunia 1998 membuat Romario absen membela Brasil. Setelah era keemasan Romario, Ronaldo Luis Nazario da Lima menjadi pewaris untuk menggantikannya sebagai bomber Brasil. Ketajaman Ronaldo kemudian mengantarkan Brasil menjadi juara di piala dunia 2002. Dan deretan penyerang mematikan Brasil lainnya kemudian mengikutinya.
Romario sendiri telah membukukan 55 gol dari 77 penampilan bersama timnas Brasil. Laga terakhirnya bersama kuning biru khas Brasil terjadi di tahun 2005 melawan Guatemala dalam laga persahabatan yang dimenangkan Brasil dengan skor 3-0.
Kariernya berakhir pada 2009 di klub Brasil, America FC. Saat itu Romario memutuskan gantung sepatu di usia 43 tahun. Setelah pensiun, ia banting setir menjadi politikus di Brasil. Pada pemilihan umum 2010, ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Sosialis Brasil.
Romario menjadi seorang legenda sepakbola dengan segudang prestasi, baik di level klub maupun tim nasional. Tapi ia tak semata dikenal karena prestasi dan kemampuan olah bolanya yang menawan. Lebih dari pada itu, ia juga dikenal karena sikapnya yang kontroversial dan cenderung seenaknya.
Romario berlidah pedang. Kata-katanya begitu tajam menyindir apa yang tak ia sukai. Bahkan, perseteruan panjangnya dengan Pele pun berhulu dari perang kata-kata. Selain itu, ia juga dikenal karena kegilaannya pada ingar-bingar kehidupan malam. Baginya, kehidupan malam adalah teman terbaik, dan menjadi energinya untuk tampil impresif di pertandingan.
Salah satu kontroversi Romario yang paling populer tentu saja klaim koleksi 1000 gol. Ia mengklaim gol ke-1000 yang ia ciptakan pada 20 Mei 2007, ketika ia mencetak gol melalui titik putih ke gawang Sport Recife, ketika membela Vasco Da Gama.
Media Brasil mengklaim bahwa dia adalah salah satu dari sedikit pemain dalam sejarah sepakbola profesional yang berhasil mencapainya, setelah Pele dan Puskas.
Tentu saja, hal itu kemudian mengundang perhatian dari media di seluruh penjuru dunia. Hingga ditemukan adanya keraguan terhadap validitas klaim tersebut, karena tim peneliti Romario juga menghitung gol sang bintang ketika bermain di usia muda, uji coba dan juga pertandingan tidak resmi.
FIFA memberi selamat kepada Romario atas pencapaian itu, tetapi tetap menyatakan bahwa pemain asal Brasil itu secara resmi masih mencetak 929 gol, karena 77 gol lahir di sepakbola usia muda, dan lainnya di laga uji coba.