Samuel Eto’o telah resmi menyelesakan karier sepakbolanya. Di usianya yang sudah menginjak 38 tahun, Eto’o mengukir nama Qatar SC sebagai pelabuhan terakhirnya.
Dalam sebuah unggahan di media sosial instagram pribadinya, Eto’o menulis,
“Berakhir. Menuju tantangan baru,”
“Terima kasih semua. Cinta yang begitu besar”.
Dalam rentang karir 22 tahun di jagat sepakbola, mantan pemain internasional Kamerun itu sudah pernah mencicipi klub-klub bergengsi Eropa, termasuk di antaranya Real Madrid, Barcelona, ​​Inter Milan, Chelsea, dan Everton.
Mengawali karier sepakbolanya, Eto’o bergabung dengan Real Madrid sebagai pemain muda pada 1997 dan melanjutkan untuk menghabiskan tiga tahun berikutnya bersama Los Blancos. Tetapi, ia tidak pernah bisa memperkuat posisinya di tim utama.
Alasannya sederhana, di akhir 1990-an dan awal era 2000-an, Los Blancos dipenuhi para penyerang kelas dunia dengan kemampuan eksepsional. Misalnya saja Nicolas Anelka, Predrag Mijatovic, Fernando Morientes, Raul Gonzalez, dan Davor Suker.
Kondisi itu membuat manajemen Madrid lebih sering meminjamkan Eto’o ke klub-klub lain di Negeri Matador selayaknya Leganes, Espanyol, dan Real Mallorca.
Pada tim yang disebut belakangan, nama Eto’o akhirnya melambung lantaran sanggup bertransformasi jadi mesin gol nan hebat. Berkat performa itu, Mallorca sepakat untuk menebus Eto’o dari Madrid di bursa transfer musim panas 2000 silam.
Setelah empat tahun memperkuat klub tersebut, Barcelona datang memanggil dan di sanalah dia mendulang ketenaran.
Selanjutnya, dia pindah ke Serie A bersama Inter pada 2009 dan setelah sempat di Rusia bersama Anzhi Makhachkala, penyerang itu kemudian bergabung dengan Chelsea pada 2013 sebelum pindah lagi, kali ini menuju Everton setelah setahun.
Transfer ke Sampdoria pada 2015 diikuti oleh kepindahan ke Turki bersama Antalyaspor, tempat ia menghabiskan tiga tahun sebelum bergabung dengan Konyaspor dan mengakhiri perjalanan di Negri Qatar.
Menilik kembali karier seorang Eto’o, mata kita akan dibuat silau oleh gemerlap prestasi yang pernah dihasilkan pemain asal Kamerun ini.
Eto’o boleh dibilang menjadi simbol kesuksesan seorang penyerang. Datang dari Afrika, bakat Eto’o meliuk mulus diantara para bintang Eropa yang pernah mentas di panggung dunia. Di awal kariernya, Eto’o sempat dibuat tertunduk oleh perilaku rasis para supporter tak bertanggung jawab. Namun, dengan segala keyakinan dan tekad untuk terus maju, dirinya pun mampu atasi permasalahan tersebut.
Karena bakatnya sudah diakui dunia, Eto’o pun dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik asal Afrika. Berkarier selama kurang lebih 17 tahun lamanya, Eto’o berhasil catatkan sejumlah prestasi gemilang. Ditahun 2000, dia berhasil mendapat penghargaan Young African Player of the Year. Penghargaan itu tak luput dari pretasinya kala sukses membawa Kamerun menjadi jawara di benua hitam. Tak hanya itu, Eto’o juga berhasil membawa Kamerun meraih medali emas di Olimpiade 2000 yang berlangsung di Sydney, Australia.
Berkat kegemilangannya bersama Timnas Kamerun, Eto’o berhasil menyabet gelar pemain terbaik Afrika sebanyak empat kali, yaitu pada 2003, 2004, 2005, dan 2010.
Di level klub, seperti yang sudah disinggung diawal, Eto’o sempat mampir di Real Madrid sebelum akhirnya menjadi sorotan saat membela klub Mallorca. Di Mallorca, Eto’o berhasil sumbangkan 70 gol dari 165 pertandingan hingga trofi Copa del Rey pun berhasil ia sumbangkan ke klub berjuluk ‎Los Bermellones.
Di Barcelona, barangkali, menjadi puncak kariernya. Dibeli dengan harga 24 juta euro atau setara 375 milliar rupiah Eto’o benar-benar menjadi superstar lapangan hijau. Tiga gelar La Liga, satu Copa del Rey, dua Supercopa Espana, hingga dua trofi Liga Champions tampaknya cukup untuk menggambarkan siapa yang berdiri tegak di lini depan La Blaugrana.
Meski saat itu Barcelona memiliki banyak bintang di timnya, Eto’o sukses menjadi penentu di dua laga final Liga Champions yang dilakoni Barcelona. Dalam kemenangan trofi Liga Champions 2006 melawan Arsenal, Eto’o membombardir lini pertahanan The Gunners hingga runtuh tak berbekas.
Di final Liga Champions 2009, Eto’o berhasil membawa FC Barcelona membuat sejarah dengan meraih trigelar dalam satu musim kompetisi. Setelah sukses memberi sejarah bagi Barcelona, Eto’o lalu hijrah menuju Inter Milan melalui kesepakatan transfer Zlatan Ibrahimovic yang dilego ke FC Barcelona.
Disana, ia kembali membuat sejarah. Disepanjang musim 2009/10, Eto’o mengemas 18 gol dari 46 penampilan. Dengan perincian 12 gol di Liga Italia, dua Liga Champions dan masing-masing satu di Coppa Italia dan Piala Super Italia.
Hal itu membuat Eto’o mencatatkan rekor. Ia menjadi pesepakbola pertama yang meraih treble winner beruntun bersama dua klub berbeda.
Meski catatkan prestasi gemilang di Inter Milan, sama seperti saat di Spanyol, Eto’o juga sempat menerima perlakuan rasis dari sejumlah penonton di Italia. Saat itu, Eto’o mendapat perlakuan rasis dari supporter Cagliari. Namun ia menjawab hinaan tersebut dengan mencetak gol yang sekaligus menjadi penentu kemenangan bagi klub berjuluk I Nerazzuri.
Walau Eto’o pada akhirnya semakin dicintai tifosi Inter, masa baktinya di Stadion Giuseppe Meazza tidak berlangsung lama, cuma dua musim, sebelum akhirnya hijrah ke klub Rusia, Anzhi Makhachkala, di tahun 2011.
Kabarnya, alasan Eto’o mau berkelana ke Eropa Timur adalah tawaran upah dari Anzhi yang menembus 20 juta euro atau setara 313 milliar rupiah per musim. Bayaran dalam jumlah besar itu membuatnya secara resmi jadi pemain dengan bayaran tertinggi di kolong langit pada kancah sepak bola.
Namun sedikit tragis bagi sang juru gedor hebat, peristiwa itu jadi momen awal redup kariernya. Bersama Anzhi, sosok pengoleksi 118 caps dan 56 gol serta sepasang titel Piala Afrika bersama tim nasional Kamerun tersebut kesusahan untuk mengembalikan kapasitasnya sebagai salah satu penyerang terbaik dunia.
Namun begitu, Eto’o tetap layak dianggap luar biasa. Pundi-pundi uang yang didapatnya dari lapangan hijau tersalur ke ranah sosial.
Sebagaimana kebanyakan pemain asal Afrika yang tumbuh dari lingkungan yang sulit, pun demikian dengan Samuel Eto’o. Karenanya, mantan pemain Inter Milan ini terpanggil untuk melakukan kegiatan sosial di negaranya, Kamerun. Eto’o kemudian mendirikan yayasan amal, Fundacion Privada Samuel Eto’o, di mana kegiatannya berupa pemberian beasiswa, bantuan medis, dan juga peralatan pendidikan kepada masyarakat di berbagai benua.
Apa yang telah dilakukan Eto’o adalah sebuah perjuangan luar biasa. Apalagi selama ia berkarier sebagai pesepak bola profesional, pria yang telah putuskan pensiun ini sering jadi sasaran rasisme. Namun untuk bangsa Afrika, Eto’o merupakan bintang, panutan sekaligus pahlawan.