15 Mei 2016 menjadi hari dimana seorang legenda putuskan untuk tak lagi terbang. Diatas rumput Friuli, Antonio di Natale resmi mainkan laga terakhirnya untuk Udinese. 438 pertandingan dan diselingi dengan torehan 227 gol, Antonio di Natale, sang pangeran calcio, mati-matian untuk membawa tim tercinta keluar dari lubang degradasi.
Saat itu, di laga terakhirnya, di Natale lebih dulu duduk di bangku cadangan. Padahal, para tifosi yang datang sudah siap dengan angka 10 yang akan mereka tunjukkan kepada sang pahlawan. Akhirnya, di Natale turun di menit ke-78.
Riuh penonton menyambut langkah kaki sang legenda, Udinese mendapat pinalti, di Natale datang mengeksekusi, dan bola dengan mudah masuk untuk memberikan kepercayaan diri. Meski pada akhirnya Le Zebrette menyerah dari Carpi, di Natale bisa pergi dengan tenang karena tim yang telah membesarkan namanya tetap bertahan di kompetisi tertinggi.
Dengan raihan 39 poin, Udinese hanya unggul satu poin dari tim yang terdegradasi saat itu.
Langit Udine menjadi saksi dari kepergian sang legenda. Antonio Di Natale mengakui dirinya tak kuasa menahan air mata di ruang ganti usai melakoni laga terakhirnya bersama Udinese, kesebelasan yang ia bela selama 12 tahun.
Bergabung pada 2004 silam dengan tim yang dijuluki Si Zebra Kecil, di Natale menjadi salah satu pemain penting ketika Udinese mengejutkan dunia sepak bola Italia dengan masuk ke zona Liga Champions Eropa.
Di Natale mengatakan bahwa ia sebenarnya santai menghadapi pertandingan terakhirnya, namun ketika berjalan mencapai ruang ganti emosinya memuncak.
“Ketika aku duduk di ruang ganti, aku menangis seperti bayi. Aku memikirkan bahwa 12 tahun ini adalah perjalanan yang hebat bersama-sama,” ujar di Natale (via goal)
“Aku ingin berterima kasih kepada rekan setimku dan juga klub, dan semua orang yang bersamaku di masa itu.”
12 tahun bukan perjalanan singkat bagi seorang pesepakbola. Antonio di Natale adalah perwakilan dari seorang legenda. Di Natale adalah loyalis sejati. Ia setia dan tak cukup baginya ribuan kata indah untuk dedikasinya selama ini.
Ada banyak contoh pesepak bola yang enggan meninggalkan klub yang sudah membesarkan nama mereka, walau ditawari kontrak fantastis dari klub-klub yang lebih mapan di luar Italia.
Dari puluhan atau bahkan ratusan nama pemain dengan loyalitas hebat semacam itu, Antonio di Natale pantas disebut sebagai salah satunya. Namun, untuk ukuran seorang legenda, di Natale tidak pernah membela tim mapan Eropa.
Saat masih aktif bermain, Di Natale sempat diincar Napoli. Namun, ia mengungkapkan alasannya tak bisa bergabung dengan Partenopei.
“Napoli adalah kota yang indah dan bermain di San Paolo merupakan pengalaman yang fantastis. Sebagai seorang Neapolitan dan penggemar Napoli, aku tidak akan bisa memberikan semua yang aku miliki dengan jersey Azzurro. Itu akan sangat membebaniku,” ujarnya (via Football Italia)
“Orang-orang di Napoli tentu akan mengharapkan lebih banyak dariku. Jika itu semua berjalan buruk, kalian akan menderita lebih banyak lagi dan itu tidak akan mudah,”
Selain itu, Di Natale juga pernah menolak ketertarikan dari Juventus. Namun, saat itu ia menolak bergabung ke Turin karena mengaku bahagia bersama Udinese berdasarkan kata hatinya.
Di Natale mengawali karier profesionalnya di kesebelasan Empoli. Pada tahun 1994, ia lebih dulu bergabung dengan tim muda. Setelah hanya dua tahun menimba ilmu di tim muda, kemampuan Di Natale dianggap layak untuk arungi kompetisi bersama tim senior. Barulah pada tahun 1996, ia dipromosikan ke tim senior.
Di Natale memperoleh debut profesional pertamanya pada 26 Januari 1997, saat Empoli bersua Cremonese di ajang Serie B. Menariknya, pelatih yang memberi Di Natale kesempatan tersebut adalah Luciano Spalletti.
Namun, keberadaan sejumlah penyerang senior di tubuh Empoli saat itu, semisal Massimiliano Cappellini dan Carmine Esposito, membuat manajemen klub memilih untuk membiarkan di Natale menimba imu di sejumlah klub terlebih dahulu.
Dalam rentang waktu dua tahun, tercatat ada tiga klub yang pernah disambangi Di Natale muda, mereka adalah Iperzola, Varese, dan Viareggio.
Bersama Viareggio, Di Natale mulai temui kesuskesan. Ia berhasil menjadi tumpuan gol klub tersebut dengan raihan 12 gol dalam 15 pertandingan.
Dengan kegemilangan tersebut, Empoli sudah mulai tertarik untuk memulangkan sang penyerang. Namun sayang, kepulangan di Natale saat itu belum bisa membawa Udinese naik ke Serie A.
Saat itu, ia mencetak 6 gol dan hanya cukup membawa Udinese bercokol di posisi 9 klasemen akhir.
Pada musim 2001/02, di Natale bermain lebih garang. Insting gol nya meningkat, dan itu membuat 16 gol bersarang di gawang lawan. Tak sampai di situ, performa ciamik Di Natale juga membantu Empoli untuk finis di peringkat empat dan menggenggam satu tiket promosi ke Serie A via jalur play-off.
Setelah resmi promosi ke Serie A, Di Natale jelas menjadi andalan di lini serang Empoli. Ia diharapkan menjadi tumpuan utama dengan ketajamannya menjebol gawang lawan.
Namun nahas, di musim pertamanya, ia gagal ulangi kesuksesan seperti musim sebelumnya. Tim tersebut terima hasil minor, menyusul mandulnya di Natale di depan gawang.
Di Natale, dengan torehan 5 golnya tak mampu membawa Empoli untuk sekadar bercokol di posisi 10 besar.
Dengan performa naik turun sang striker, Empoli pun harus puas bercokol di posisi 17 klasemen akhir, di musim berikutnya. Dengan begitu, klub yang bermarkas di Stadion Carlo Castellani harus kembali rasakan kompetisi Serie B.
Menyadari bakat Antonio di Natale, Udinese tertarik untuk datangkan sang penyerang. Tanpa basa-basi, di Natale menerima tawaran tersebut dan memulai petualangan indahnya bersama Le Zebrette. Saat itu, Di Natale diproyeksikan untuk menjadi partner Davide Di Michele dan Vincenzo Iaquinta di lini depan.
Uniknya, ada campur tangan Spalletti lagi dalam proses kepindahan Di Natale ke Stadion Friuli. Pria berkepala plontos yang saat itu duduk sebagai allenatore Udinese, menjadi sosok yang amat getol meminta kubu manajemen untuk merekrut bekas anak asuhnya tersebut.
Tak butuh waktu lama bagi Di Natale untuk moncer dalam strategi racikan Spalletti. Bersama Di Michele dan Iaquinta, ketiganya jadi tridente yang cukup menakutkan di Serie A. Tak tanggung-tanggung, musim pertama di Natale bareng Udinese berakhir dengan sangat cemerlang. Zebrette sukses dibawanya finis di peringkat ke-4 sehingga lolos ke babak kualifikasi ketiga ajang antarklub nomor wahid di Eropa, Liga Champions.
Semenjak saat itu juga, karier Di Natale seakan tak tersentuh oleh warna selain hitam-putih kepunyaan Udinese. Keberhasilan Udinese meramaikan di papan tengah ataupun merangsek sampai papan atas dalam rentang 2004/05 hingga 2015/16, juga tak bisa dilepaskan begitu saja dari perannya sebagai pemain andalan.
Bahkan di musim 2014/15, di Natale membukukan 14 gol di usia yang sudah tergolong uzur.
12 tahun di Natale membela kesebelasan yang bermarkas di stadion Friuli. Waktu sepanjang itu sudah cukup bagi seorang pesepakbola untuk dilabeli loyalis sejati. Apalagi di Natale bukan pemain kelas kacangan.
Kualitasnya bukan tidak pantas bermain di kesebelasan yang lebih superior. Namun seperti yang sudah dijelaskan, Udinese sudah menjadi tempat terindah bagi di Natale. Tawaran megah dari beberapa klub tak mampu rubuhkan kesetiannya dengan warna hitam-putih.
Aroma langit Friuli terasa lebih sejuk bagi di Natale. Oleh sebab itu, masakan lezat dari klub-klub besar Italia tak mampu goyahkan kesetiannya kepada Udinese.
Ujian untuk bertahan di tim sekelas Udinese pun terasa lebih nikmat bagi para pecinta sepakbola manapun. Lagipula, jika diibaratkan, apa susahnya bagi Paolo Maldini untuk bertahan di tim sekuat dan segemilang AC Milan kala itu. Kemudian, apa sulitnya bagi Ryan Giggs untuk terus memakai seragam kebesaran Setan Merah, yang kita tahu, di era Sir Alex Ferguson, prestasi begitu mudah mampir dan tak butuh kinerja ekstra untuk mendapatkannya.
Tanpa bermaksud menyepelekan kesetiaan para legenda tersebut, lagi-lagi, Antonio di Natale adalah representasi sempurna jika sepak bola tak melulu soal gelar juara.