Belanda termasuk sebagai salah satu negara kuat di sepak bola eropa. Kompetisi mereka juga termasuk yang cukup disegani. Sama halnya seperti di kompetisi sepak bola negara kuat lainnya, di Belanda juga terdapat pertandingan dengan tensi panas.
Laga tersebut mempertemukan dua klub dari dua kota terbesar di negeri kincir Angin, yakni Ajax Amsterdam versus Feyenoord Rotterdam. Pertandingan bertajuk De Klassieker (Dibaca tetap) tersebut selalu menyajikan aroma panas baik di dalam maupun di luar lapangan.
Setiap dilangsungkannya laga tersebut, tak jarang selalu melahirkan kekacauan, kerusuhan, perkelahian, hingga kematian. Kedua kelompok suporter biasa saling baku hantam, bahkan walau kedua tim sedang tidak menjalani pertandingan.
Sedikit berbeda dengan beberapa partai klasik yang lahir akibat pandangan politik, tatanan sosial dan bahkan sektarianisme, persaingan panas yang terjadi di antara Ajax dan Feyenoord lebih diakibatkan oleh riak kultural dari masyarakat di mana kedua tim bermarkas, Amsterdam dan Rotterdam.
Semenjak Amsterdam dan Rotterdam mendapat status kota dari pemerintah kerajaan Belanda pada abad ke-13 atau jauh sebelum Ajax dan Feyenoord didirikan, masing-masing wilayah memang tumbuh dan berkembang dengan budaya yang berlainan.
Amsterdam lebih identik sebagai pusat kesenian di tanah Belanda yang menarik perhatian banyak orang, khususnya para seniman, untuk berbondong-bondong mendatangi dan tinggal di kota ini guna mengasah dan mengembangkan kemampuannya.
Sebaliknya, Rotterdam yang merupakan kota pelabuhan terbesar dan pusat industri di Belanda, lebih banyak dijejali oleh kaum pekerja yang datang dari penjuru negeri untuk bekerja sebagai buruh pelabuhan, kelasi kapal, dan lain sebagainya.
Gaya bermain Ajax juga telah lama menjadi sumber kebanggaan bagi para pendukung, dan salah satu kekesalan bagi para penggemar Feyenoord. Para Rotterdammers merasa bahwa mereka yang berasal dari Amsterdam memiliki khayalan yang sangat tinggi.
Bahkan ada pepatah yang mencerminkan sentimen-sentimen tersebut: “Ketika Amsterdam bermimpi, Rotterdam bekerja”. Rotterdam dipaksa untuk bekerja setelah di bom dalam Perang Dunia Kedua oleh Nazi. Kota pelabuhan, penduduknya bangga akan etos kerja mereka, namun kesal terhadap kecakapan Amsterdam.
Rivalitas Ajax dengan Feyenoord ini sudah berlangsung cukup lama. Kedua kubu sudah bertemu untuk pertama kali pada 9 oktober 1921 di Rotterdam. Laga itu banyak diwarnai kontroversi, Pertandingan awalnya berakhir 3-2 untuk kemenangan Ajax.Â
Namun, tak lama kemudian laga secara resmi dinyatakan menjadi imbang 2-2 karena kubu tuan rumah memprotes gol yang diciptakan pemain AJax yang mereka yakini sebagai gol yang tidak sah.
Persaingan kedua kota juga terjadi dalam hal stadion, pada era 1930-1940 an, kedua kota memiliki stadion yang termasuk dua terbesar di Belanda pada saat itu. Olympic Stadium dibangun pada tahun 1928 dan memiliki kapasitas 31.600 yang merupakan terbesar di Belanda.Â
Lalu pada tahun 1934 Stadion De Meer dibangun dengan kapasitas 22.000. Ajax menggunakan Stadion Olimpic untuk pertandingan kontinental dan stadion De Meer untuk pertandingan kancah domestik.Â
Namun, status Stadion Olimpic milik Ajax sebagai yang terbesar di Belanda berubah pada tahun 1937 ketika Feyenoord meresmikan stadion De Kuip dengan kapasitas 64.000. Tak mau kalah, Amsterdam meresponnya dengan menambahkan kapasitas Stadion Olimpic juga di tahun yang sama. Lalu Feyenoord menambah kapasitas De Kuip menjadi 69.000 pada tahun 1949.Â
Rivalitas kedua kubu semakin sering terjadi sejak kompetisi Eredivisie mulai dibuka pada musim 1956/57. Puncaknya terjadi pada awal 1970-an. Kala itu, masing-masing klub yang jadi penguasa di Belanda sukses menembus empat partai final Piala Champions secara beruntun dan satu final Piala UEFA.
Ajax memang bisa berbangga hati sebagai klub Belanda dengan trofi Piala Champions Eropa terbanyak. Tapi Feyenoord bisa berbangga karena mereka adalah klub Belanda pertama yang berjaya di Eropa. Feyenoord lebih dulu berjaya Eropa pada musim 1969/70.
Tapi setelah itu, Feyenord dilewati oleh Ajax dengan raihan 3 trofi eropa beruntun. Pencapaian hebat Ajax tersebut kemudian dijawab sekali lagi oleh Feyenoord setelah mereka keluar sebagai juara Piala UEFA di musim 1973/74.
Di era 70-an, para penggawa dari masing-masing tim juga menjadi tulang punggung lahirnya Totaal voetbal yang legendaris serta memikat banyak orang di Piala Dunia 1974. Meski gagal meraih trofi, timnas Belanda besutan Rinus Michels tersebut akan selalu dikenang sebagai salah satu tim dengan performa terbaik sepanjang sejarah dan menjadi cikal bakal permainan modern di dunia sepak bola.
Menariknya lagi, legenda sepak bola Belanda, Johan Cruyff, juga pernah membuat friksi di antara kedua tim semakin meninggi. Hal ini terjadi pada era 1980-an. Cruyff yang ketika itu semakin menua dianggap manajemen Ajax tak layak untuk diberi perpanjangan kontrak.
Merasa geram, Cruyff lantas pindah ke kubu Feyenoord di musim 1983/84. Proses kepindahan ini sendiri menghadirkan gelombang protes dari suporter kedua tim. Pendukung Ajax marah kepada manajemen karena Cruyff adalah pemain penting yang dianggap pantas memperoleh perpanjangan kontrak. Tak peduli bahwa usianya ketika itu mencapai 36 tahun.
Sedangkan pendukung Feyenoord naik pitam karena manajemen bersedia menampung sosok yang di sepanjang kariernya justru identik dengan rivalnya. Sejumlah pendukung Feyenord bahkan berjanji untuk tidak datang ke Stadion De Kuip untuk menyaksikan tim kesayangannya berlaga selama Cruyff masih ada di sana.
Ajaibnya, Cruyff yang pikiran dan hatinya dipenuhi motivasi balas dendam, justru berhasil mengantar Feyenoord menjadi kampiun Eredivisie di pengujung musim, sebelum akhirnya pensiun dan mengejar karier di dunia kepelatihan.
Sejak 1970-an, ada banyak bentrokan yang melibatkan kedua suporter, namun yang paling populer tersaji pada tahun 1997, ketika menjelang laga Feyenord melawan AZ Alkmaar, dua faksi hooligans dari kubu Feyenord dan Ajax terlibat pertikaian.
Pertikaian tersebut menghasilkan satu nyawa melayang yakni pendukung Ajax bernama Carlo Picornie, ketika itu Carlo dipukuli oleh para pendukung Feyenord. Tragedi ini sendiri lantas dikenal dengan sebutan Perang Beverijk. Atas insiden itu, kedua Klassiekers pada musim 1997/98 dimainkan tanpa penonton.
Pertandingan De Klassieker pada Februari 2016 di Stadion Johan Cruyff Arena, markas Ajax, juga berjalan panas karena berbau pengkhianatan.
Beberapa pihak geram karena pendukung Ajax menggantung boneka berseragam Kenneth Vermeer yang menjaga gawang Feyenoord pada waktu tersebut. Vermeer yang merupakan mantan kiper Ajax dianggap telah berkhianat setelah bergabung dengan Feyenoord pada musim panas 2014.
Padahal Vermeer memutuskan pergi dari Ajax karena kalah bersaing dengan Jasper Cillessen untuk menjadi kiper utama pada masa itu. Kejadian ini menjadi bukti bahwa de klassieker bisa panas hanya karena pengkhianatan setitik.
Bagai El Clasico di Spanyol, Der Klassiker di Jerman dan Superclasico di Argentina, rivalitas sengit dalam wujud De Klassieker yang mempertemukan Ajax dan Feyenoord adalah laga prestisius yang selalu ditunggu-tunggu khalayak yang menggemari sepak bola.
Atmosfer panas, gengsi, dan harga diri yang selalu meliputi pertemuan kedua klub merupakan substansi yang tak lekang oleh waktu meski gengsi Eredivisie justru semakin menukik dalam rentang dua dekade terakhir. Sampai kapanpun, De Klassieker yang melibatkan Ajax dan Feyenoord bakal selalu jadi pemanis dari eksistensi Eredivisie di jagad sepak bola dunia.
Hingga musim 2018/19 berakhir, De Klasieker telah terjadi 192 pertandingan, Dengan Ajax mencatatkan total 86 kali menang, Feyenord 58 kemenangan dan sisanya imbang. Pemain AJax, Sjaak Swart menjadi pencetak gol terbanyak dengan gelontoran 18 gol.