Diego Costa lahir pada 7 oktober 1988 di Lagarto, Brasil. Costa merupakan putra dari pasangan Jose Silva Costa, ayahnya dan Josileide da Silva Costa, ibunya. Ibunya adalah sosok ibu rumah tangga dengan tingkat kecemasan yang cukup tinggi, sedangkan bapaknya adalah petani ketela dan tembakau.
Ayahnya memberinya nama ‘Diego’ sebagai bentuk kekagumannya kepada sang legenda, Diego Maradona, meskipun Brasil dan Argentina merupakan rival abadi. Diego Costa memiliki saudara laki-laki bernama Jair dan saudara perempuan bernama Tallita.
Ketika berusia beberapa bulan, Diego Costa yang masih balita hampir saja meninggal ketika sebuah ular mematikan masuk ke dalam ruangan di mana ia sedang tertidur. Beruntung saat itu, sang ibu bergerak cepat dengan menyingkirkan ular tersebut.
Diego Costa dan saudaranya tumbuh di sebuah daerah terpencil di negara bagian Sergipe di timur laut Brasil. Costa lahir dari keluarga yang cukup sederhana. Orang tuanya selalu memberikan perhatian penuh, yang mampu mencukupi kebutuhan Costa saat masih kecil.
Saat masih kecil, Costa sering merayakan hari ulang tahunnya dengan mengundang sejumlah teman-temannya ke rumahnya. Costa kecil juga hobi bermain bola, klub idolanya adalah Palmeiras.
Seperti pesepakbola Brasil kebanyakan, Costa pun besar lewat sepakbola jalanan ala Brasil. Ia bermain di jalanan hingga usia 16 tahun. Dan menurutnya, sepakbola jalanan lebih berarti dari akademi sepakbola.
Costa dan teman-temannya tak pernah bermimpi bisa menjadi pemain profesional karena daerah tempat ia tinggal, Lagarto di Sergipe, merupakan salah satu lokasi paling tertinggal di Brasil. Baginya bermain sepak bola hanyalah untuk sebuah kesenangan semata.
Meski begitu, karena saking cintanya terhadap dunia si kulit bundar, Costa mencoba peruntungan dengan bergabung di klub kecil di daerah kelahirannya yaitu Atlético Clube Lagartense. Costa bermain di sana sejak usia 9 tahun.
Walau sudah memiliki wadah untuk bermain, Costa masih tak bisa meninggalkan kebiasaannya dengan bermain sepak bola di jalanan. Sejak kecil, Costa memang sudah mempunyai sifat temperamental. Saat bermain bersama teman-temannya, Costa tak segan untuk baku hantam jika sang lawan bermain kasar.
Costa banyak menghabiskan waktu bermain bola dengan saudaranya, Jair. Ia dan saudaranya selalu berusaha untuk menjadi yang paling baik di timnya. Menurut Jair, Costa merupakan anak yang tidak mau kalah begitu saja, jika timnya kalah atau Costa tidak setuju adanya pelanggaran, maka Costa akan marah, bahkan rekan satu timnya sendiri banyak yang takut terhadap Diego Costa.
Pada usia 15, Costa disuruh orang tuanya pergi meninggalkan kampung halamannya dan pindah ke São Paulo untuk bekerja di toko pamannya, Jarminho.Â
Meskipun selama masa kecilnya, Costa belum pernah bergabung di klub profesional, namun sang paman, Jarminho memiliki koneksi dalam sepakbola dan merekomendasikan keponakannya tersebut ke klub Barcelona Esportivo Capela.
Dan tepat di usia 16 tahun, Costa direkrut Barcelona Esportiva Capela. Di klub tersebut, ia bermain di tim junior dan mendapat gaji sekitar 1 juta rupiah per bulan. Di awal karirnya inilah, reputasi beringasnya mulai terbentuk. Costa sering memperoleh hukuman dari wasit akibat menyerang pemain lawan atau ofisial pertandingan.
Setelah bermain untuk tim junior Barcelona Esportiva Capela, Langkah pertama Costa menjadi pemain profesional hadir saat ia menandatangani kontrak dengan klub Portugal, SC Braga pada februari 2006. Sayangnya, ia gagal merebut posisi inti dan hanya menjadi pemanis bangku cadangan.
Karena minimnya kesempatan bermain, pihak klub memutuskan melepas Costa ke klub divisi dua, Penafiel dengan status pinjaman pada musim panas 2006. Ketika itu, Costa sanggup menjaringkan lima gol dari 13 kali kesempatan.
Pada akhir 2006, Costa lantas direkrut oleh salah satu klub peserta La Liga, Atletico Madrid dengan biaya transfer sebesar 1,5 juta euro atau sekitar Rp 24,6 miliar. Meski sudah menjadi milik Los Rojiblancos, namun ia tetap dipinjamkan ke Braga hingga akhir musim.
Dua tahun berikutnya, Costa kembali dipinjamkan klub Segunda Division sepak bola Spanyol, Celta Vigo dan Albacete. Di dua klub ini, Costa mulai mencetak gol, dengan masing-masing lima gol untuk 30 penampilan bersama Celta Vigo dan sembilan gol untuk sembilan penampilan bersama Albacete.
Kembali ke Madrid, kariernya di Atletico sempat mengalami ‘kiamat kecil’ ketika klub tersebut memutuskan untuk menukarnya dengan penjaga gawang Real Valladolid, Sergio Asenjo pada 2009.
Untungnya, Atletico kemudian memutuskan untuk mendatangkannya kembali sebagai pelapis Diego Forlan dan Sergio Aguero. Cederanya Aguero memberikan Costa kesempatan dan setelah mencetak satu-satunya gol di pertandingan melawan Real Zaragoza.
Costa kembali mencetak gol ke gawang Sevilla, Getafe, dan Rosenborg. Ia kemudian mencetak hat-trick pertamanya bagi klub dalam kemenangan 3-2 di Osasuna.
Namun, selama menunggu giliran menjadi pemain utama, Costa lagi-lagi menerima tawaran peminjaman selama setengah musim ke Rayo Vallecano pada 2012. Di mana ia menikmati masa-masa yang subur di depan gawang, dengan mencetak 10 gol dalam 16 penampilan.
Sekembalinya dari masa tugas di klub lain, Costa banyak mendapat pelajaran, ia pun dipercaya sebagai pemain inti Atletico untuk musim 2012/13, ia melakukan comeback dengan sempurna. Ini dibuktikannya dengan membawa Atletico meraih juara Copa Del Rey seusai memenangkan laga derby ibukota melawan Real Madrid di partai final.
Selain menjuarai turnamen, kemenangan ini juga merupakan yang pertama Atletico atas Madrid dalam 25 pertandingan berturut-turut sejak 1999. Costa juga sukses menjadi top skor turnamen dengan lesakan delapan gol, unggul satu gol atas bintang Real Madrid, Cristiano Ronaldo.
Pada 2013/14 Costa meningkatkan permainannya ke level yang berbeda, di mana gol-golnya menginspirasi Atletico untuk melampaui Real Madrid dan Barcelona guna memenangkan gelar juara La Liga Spanyol. Pada musim tersebut, Costa berhasil membukukan 36 gol dari 52 penampilan di semua kompetisi.
Gelar juara La Liga ternyata tidak dibarengi dengan prestasi di Liga Champions, di mana Costa harus menelan pil pahit karena takluk dari Real Madrid di partai final. Di musim itu juga menjadi akhir dari kisahnya di Atletico, Ia mengakhirinya dengan catatan 64 gol dalam 134 penampilan.
Babak baru dalam karier Diego Costa akhirnya datang seiring kepindahannya ke Liga Inggris. Chelsea menjadi rumah barunya, dan ia menjadi andalan utama pelatih Jose Mourinho. Costa yang telah mengubah kewarganegaraannya menjadi Spanyol, mencatatkan rekor manis.
Ia mencetak 20 gol hanya dalam 26 penampilan di musim pertamanya di Liga Premier. Kontribusinya itu menjadi salah satu kunci sukses Chelsea menjuarai Liga inggris musim 2014/2015.
Namun, setelah Antonio Conte mengambil alih kursi kepelatihan Chelsea, posisi Costa di lini depan pun tak lagi aman. Meski kolaborasi mereka membuahkan satu lagi gelar juara Liga Inggris, yaitu pada musim 2016/17.
Perseteruan keduanya mencapai puncak pada awal musim 2017/18. Costa yang terdesak keluar dari tim utama Chelsea sudah sedikit lagi pindah ke klub Liga Cina, Tianjin Quanjian. Sayang, klub tersebut terbentur aturan jumlah maksimal pemain asing.
Maka, ketika Atletico Madrid kembali menawarinya untuk bergabung, Costa pun tak buang-buang waktu untuk berpikir dua kali. Meskipun baru bisa bermain pada 1 Januari 2018, ia tak peduli. Atletico Madrid adalah rumah yang dicintainya, dan ia akan dilatih oleh Diego Simeone yang selalu menghargainya.
Pertandingan pertamanya setelah kembali ke Atletico dihiasi dengan sebuah gol yang ia cetak ke gawang Lleida Esportiu dalam pertandingan 16 Besar Copa del Rey. Costa lalu membantu Atletico menjuarai Europa League setelah mengalahkan Marseile di final.
Dalam pertandingan pertama Atlético pada musim 2018/19 di ajang Piala Super eropa, Costa mencetak dua gol – termasuk dalam 50 detik pertama – dalam kemenangan 4-2 setelah perpanjangan waktu melawan Real Madrid. Gol cepatnya itu membuat namanya masuk ke dalam buku rekor.
Pada bulan April 2019 Costa dikenai larangan 8 pertandingan karena menyalahgunakan wasit. Dan secara keseluruhan, Costa tampil 21 pertandingan dan mencetak 5 gol. Musim kompetisi 2019/20, Costa kembali menjadi pemain utama Atletico.
Di level Internasional, Penampilan gemilang Costa bersama Atletico Madrid pada saat itu, membuat Timnas Brasil dan Spanyol menginginkannya. Pada 5 Maret 2013, Costa sempat dipanggil oleh pelatih tim nasional Brasil, Luiz Felipe Scolari untuk bermain di pertandingan persahabatan kontra Italia di Jenewa dan melawan Rusia di London.
Namun, September 2013, Federasi Sepakbola Kerajaan Spanyol mengirim surat permintaan izin resmi ke FIFA untuk memanggil Costa guna memperkuat timnas Spanyol. Sebelumnya Costatelah mendapatkan kewarganegaraan Spanyol di awal musim panas 2013, Polemik mengenai kewarganegaraan ini sempat menuai kontroversi.
Costa akhirnya memutuskan bahwa ia ingin bermain untuk timnas Spanyol. Ia pun mengirimkan surat resmi ke Konfederasi Sepakbola Brasil (CBF) atas keputusannya tersebut. Keputusan itu sontak membuat publik Brasil berang.
Pada Februari 2014, Costa membuat debutnya bersama tim matador dalam kemenangan 1-0 atas Italia di Vicente Calderon. Costa kemudian tampil di ajang piala dunia 2014, di mana ia bermain dalam dua pertandingan saat Spanyol tersingkir di fase grup.
Costa mencetak gol pertamanya untuk Spanyol dalam kemenangan tandang kualifikasi UEFA Euro 2016 ke Luksemburg pada 12 Oktober 2014. Di mana Spanyol menang 4-0.
Setelah tampil di piala dunia Brasil, empat tahun kemudian ia menjadi salah satu striker Spanyol di piala dunia Rusia 2018. Di mana ia mencetak 3 gol dalam perhelatan tersebut. Costa telah tampil sebanyak 24 pertandingan dan mencetak 10 gol untuk La Furia Roja.
Kelakuan nakal Costa tak hanya terjadi di dalam lapangan saja. Diluar lapangan pun ia dikenal sebagai pemain yang penuh dengan hal kontroversi. Suatu hari, mantan pacarnya mengaku bahwa ia diselingkuhi oleh mantan pemain Chelsea tersebut.
Parahnya lagi, Costa disebut berselingkuh dengan sahabat dan saudara perempuan dari mantan pacarnya itu. Mantan pacarnya, Michele Zouanne, menyebut bahwa ia memergoki Costa dan saudara perempuannya disebuah pesta.
Meskipun dikenal temparemental, satu-satunya pemain yang ditakuti oleh Costa adalah Adebayo Akinfenwa. Costa mengaku bahwa pemain tersebut memiliki tubuh yang lebih besar dan lebih kuat darinya.
Saat Costa sempat mengalami insiden dengan mantan kapten Liverpool, Steven Gerrard, karena menginjak kakinya pun, ia mengaku bahwa dirinya diancam oleh Adebayo Akinfenwa untuk tidak mengulangi hal itu lagi.
Costa memiliki julukan ‘The Governor’. Hal itu hadir karena dirinya selalu terlihat paling kuat diantara yang lain. Julukan itu juga hadir karena ia selalu memiliki caranya sendiri untuk memnangkan duel dengan sang lawan.
Meskipun sudah sukses sebagai pesepak bola, Diego Costa tak pernah melupakan kampung halamannya, ia banyak membantu pemain muda yang ada di daerah kelahirannya. Saat ini saja, Costa memiliki akademi sepak bola sesuai dengan namanya yang sudah mempunyai ratusan murid.
Meskipun terkenal karena kegarangannya dan sikap buruknya, namun Costa juga akan selalu di ingat sebagai penyerang mematikan yang pernah menghiasi sepak bola dunia.