Claudio Marchisio resmi memutuskan mundur dari dunia sepakbola diusianya yang telah menginjak 33 tahun. Meski tergolong kedalam usia yang masih memungkinkannya untuk beraksi, Marchisio merasa sudah lelah dan putuskan bahwa usianya itu adalah saat yang tepat untuk nya menutup cerita.
Claudio Marchisio menghabiskan sebagian besar kariernya bersama raksasa Italia, Juventus.
Mengutip sebaris lirik dalam hymne Juventus, “storia di un grande amore”, atau kisah tentang cinta yang agung, begitulah potret perjalanan karier Claudio Marchisio bersama I Bianconeri. Berawal dari sekedar tifosi, pria asli Turin itu kini tumbuh jadi salah satu simbol klub.
Sebelum pada akhirnya menutup karier di klub Russia, Zenith, Marchisio telah mengiring bola diatas lapangan selama kurang lebih 25 tahun bersama Si Nyonya Tua. Klub yang tergolong tua itu turut menemani perjalanan pemain yang lahir di Turin.
Lahir dan besar di Turin membuat Marchisio punya kaitan erat dengan Juventus. Marchisio kecil maupun Marchisio dewasa tetap orang yang sama, yaitu sama-sama mencintai Juventus.
Marchisio adalah perwujudan Juventus, dan sejak debutnya untuk tim utama, perannya telah berevolusi menjadi kekuatan terpenting dalam diri sang nyonya. Marchisio, berada di lini tengah untuk menjadi pelindung melodi garis belakang I Bianconeri.
Sepakbola Italia sangatlah romantis. Begitu pula hubungan Marchisio dengan Juventus.
Marchisio memulai karier di titik paling rendah bersama Juve, yaitu saat Tim Zebra terdegradasi akibat calciopoli dan ditinggal sejumlah bintang. Namun dengan rasa cinta yang besar, ia mampu mengangkat performa tim hingga akhirnya mencatat sejarah lewat rentetan scudetto beruntun. Sang Pangeran kini menjelma Raja, produk sepak bola terbaik yang pernah dilahirkan Italia.
Il Principino. Si Pangeran Kecil. Begitulah Marchisio dijuluki selama bermain untuk Juventus. Meski kerap berurusan dengan cedera, langkah Marchisio tak pernah lelah untuk menggiring bola demi Sang Nyonya. Dengan cara yang sederhana namun krusial, Marchisio mampu kendalikan pertandingan dengan menjadi penghubung antara lini belakang ke lini serang.
Sebelum menjadi sorotan publik sang jawara Italia, Marchisio lebih dulu bertindak sebagai ballboy di stadion Delle Alpi. Saat itu, matanya kerap tertuju pada penyerang legendaris Italia, Alessandro Del Piero. Ya, seperti kebanyakan anak-anak di akademi Juventus, Marchisio sangat mengidolai Del Piero. Ia bahkan sempat ingin menjadi seorang penyerang seperti Del Piero. Namun pada akhirnya, gelandang tengah lah yang menjadi destinasinya.
Marchisio memulai karier bersama tim utama Juventus pada 19 Agustus 2006. Ia melakukan debut tim pertamanya di putaran ketiga Coppa Italia melawan Martina. Kemudian pada bulan Oktober, Marchisio melakukan debut di Serie A melawan Frosinone sebagai pemain pengganti. Sejak saat itu, dari era kepelatihan Didier Deschamps sampai dengan setidaknya awal kedatangan Massimiliano Allegri, ia menjadi pemain andalan di lini tengah Juventus.
Sebanyak 37 gol dan 43 asis dari total 418 penampilan menjadi bukti atas daya magis pemain bertinggi 180 cm ini. Dedikasi Marchisio pun menghasilkan 7 scudetto, 3 Piala Super Italia, serta 4 Coppa Italia.
Selain menjadi awal dari perjuangan Juve untuk meraih kembali kejayaan, Marchisio juga boleh dibilang menjadi awal dari terkumpulnya trofi scudetto beruntun Juve.
Hal itu terbukti ketika Marchisio memulai musim 2011/12 dengan baik. Ia mencetak gol terakhir Juve di pertandingan pembuka kampanye di stadion baru klub dengan skor 4–1 atas Parma, pada 11 September 2011. Di bawah mantan legenda Juventus, Antonio Conte , ia bermain bersama pemain baru Arturo Vidal dan Andrea Pirlo dengan efek yang luar biasa, dan dijuluki gelandang terbaik Juventus oleh pers dan para penggemar.
Musim itu, Marchisio mampu koleksi 10 gol plus trofi Serie A.
Musim demi musim terlewati, Marchisio masih menjadi sosok yang sama. Ia merupakan pengatur ritme permainan Si Nyonya Tua dan terus sumbangkan trofi Serie A.
Berkat kegemilangannya, Marchisio pun disandingkan dengan legenda Juventus, Marco Tardelli. Hal itu diungkapkan oleh mantan pemain AC Milan, Stefano Borgonovo.
“Marchisio sangat bagus dan memiliki kemampuan teknis dan taktik yang luar biasa. Ia memiliki segalanya untuk bermain di level tertinggi: kualitas, kepekaan terhadap taktik, dinamis dan kemampuan yang menjadikannya pemain hebat. Ia memiliki kepribadian, ia mengingatkanku pada Tardelli,” tutur Borgonovo, (dikutip dari thesefootballtimes)
Bak roda yang terus berputar, perjalanan Marchisio di klub Turin juga mulai temui muaranya.
Kehadiran gelandang baru yang lebih muda dalam diri Emre Can, dan masih adanya gelandang-gelandang yang lebih bugar seperti Miralem Pjanic, Sami Khedira, Blaise Matuidi, hingga Rodrigo Bentancur membuat Marchisio bukan lagi opsi utama. Dengan situasi tersebut pemutusan kontrak menjadi keputusan terbaik bagi Marchisio dan Juventus.
Kepergian Marchisio membuat Juventus melewati mercato kala itu dengan penuh kesedihan. Fans wajar kecewa dan juga marah, karena Marchisio lebih dari sekadar pemain bagi para pendukung setia Juventus. Lahir dan besar di Kota Turin, Marchisio adalah definisi terbaik dari Juventino sejati. Dirinya paham luar dalam tentang Lo Spirito Juve yang melegenda. Dia lebih dari sekedar pemain biasa.
Grazie, il Principino!