Anderson Luis de Souza, atau yang lebih akrab dipanggil Deco, merupakan salah satu talenta emas yang pernah mengisi panggung dunia. Dalam hal ini, lapangan hijau menjadi tempat baginya untuk kesankan ribuan pasang mata. Mata sayu, langkah sederhana, namun mematikan dalam mengolah bola, merupakan perwakilan kalimat dari seorang Deco.
Tepat ketika menginjak usia 15 tahun, ia menerima kontrak profesional bersama Corinthians. Pemain kelahiran 27 Agustus 1977 ini lahir di Sao Bernardo do Campo, Sao Paulo, menjadi anak ketiga dari enam bersaudara, dan menjadi remaja dengan berkah sepak bola di kakinya.
Sejak remaja, sejak sebelum mendapatkan kontrak profesional, Deco memang menonjol di antara teman-teman sebayanya. Sejak belia, Deco sudah menunjukkan kontrol bola yang mengagumkan. Anggun, adalah salah satu kata yang digunakan kala itu untuk menggambarkan kemampuannya mengendalikan si kulit bundar.
Di usia 19 sang pemain hijrah ke Portugal setelah Benfica menebusnya dari Centro Sportivo Alagoano. Alih-alih berseragam merah klub ibu kota, Deco langsung dibawa ke Alverca untuk menjalani masa pinjaman selama semusim. Pada 1998 Deco dilepas ke klub divisi kedua, Salgueiros.
Romansanya bersama Benfica memang tergolong tragis. Saat itu, Benfica dilatih Graeme Souness, dan pelatih asal Skotlandia ini lebih memilih memainkan Mark Pembridge dan Steve Harkness. Seperti yang sudah diceritakan, Deco sendiri langsung dipinjamkan ke Alverca selama satu musim penuh. Masa peminjaman yang menjadi mimpi buruk, anjloknya performa, dan kehilangan kepercayaan dari klub yang membawanya ke Portugal.
Maka ketika Deco dilego ke Salguieros, suporter Benfica tak ambil pusing. Ia hanya dianggap sebagai satu dari banyak anak muda yang gagal, yang tak perlu disesali kepergiannya.
Kala itu, Graeme Souness dianggap telah menyia-nyiakan bakat Deco satu kali, dan tak pernah mendapat kesempatan untuk menebus kesalahannya. Pengambilan keputusan yang keliru merugikan Benfica.
Masa-masa singkat bersama Salguieros pun penuh kesedihan. Rentetan cedera membuat Deco hampir absen di separuh pertandingan musim itu. Namun, meski menit bermainnya sangat tipis, manajemen FC Porto sudah cukup yakin bahwa di tangan yang tepat dan cakap, Deco akan menjadi pemain penting.
FC Porto dengan senang hati, pada 1999, mengambil Deco dari divisi kedua. Namun semuanya tidak seketika menjadi baik-baik saja untuk sang pemain. Di Porto, Deco baru bisa bahagia setelah Jose Mourinho menduduki kursi kepelatihan tim.
Tahun 2002, ketika Jose Mourinho datang, dengan skema 4-4-2, Deco menjadi pusat permainan. Di bawah arahan Mourinho, Deco menjadi pemain yang lebih lengkap. Bermain di belakang dua penyerang, Deco tetap pemain nomor 10 yang diberi kebebasan berkreasi. Namun kepadanya pula dibebankan tugas bertahan dan pemahaman taktik yang lebih mendalam.
Perlahan tapi pasti, Deco dengan baik menjalankan perintah Mourinho karena pada dasarnya dia adalah seorang pekerja keras. Dia bukan pemain box-to-box tapi tidak pernah lelah meminta bola ke sana ke mari, melibatkan diri sebanyak mungkin di sana-sini.
Kemampuan olah bola dan kreativitas yang dibarengi kemauan bekerja keras membuat Deco menjadi pemain kunci dalam keberhasilan Porto menjuarai Piala UEFA 2003. Pertandingan dramatis di partai puncak ketika mengalahkan Celtic menjadi pameran ketangguhan Porto, dengan Mourinho sebagai otak, dan Deco memimpin orkestra di lapangan.
Saat itu, berkat skill olah bola yang luar biasa dan sekaligus menjadi kreator serangan klub asal Portugal, Deco langsung diminati banyak klub Eropa. Sebut saja FC Bayern dan FC Barcelona. Kedua tim itu langsung mengungkapkan minat untuk mendapatkan Deco. Namun, Presiden Porto kalau itu, Jorge Nuno Pinto da Costa menahan Deco. Ia ingin Deco menjadi bagian dari usaha Porto mempertahankan gelar. Dan memang, musim selanjutnya, menjadi musim terbaik bagi Porto dan Deco.
Berhasil mengantarkan Porto lolos ke final Liga Champions Eropa, Deco lagi-lagi sangat berjasa bagi keberhasilan skuat asuhan Mourinho dalam ukir cerita. Melawan AS Monaco, sebuah final, yang menjadi antiklimaks bagi Monaco, namun menjadi suka cita Deco dan Porto. Final itu berakhir dengan skor 3-0 untuk kemenangan Porto, dan Deco mencetak salah satu gol.
Sebuah puncak, sebuah kemenangan yang menjadi penegasan bakat sekaligus kemegahan Deco yang sempat dibuang Benfica.
Setelah menciptakan sebuah dongeng bersama FC Porto, Deco akhirnya jatuhkan pilihan ke Barcelona. Salah satu klub terbesar di dunia itu dipilih karena memang, Catalan sudah menjadi idolanya semasa kecil dulu. Padahal, saat itu banyak yang menyangka kalau Deco bakal ikuti jejak Mourinho yang teruskan tinta emas di klub London, Chelsea.
Di Barcelona, Deco tetap mainkan peran-peran yang tak kalah penting. Ia tetap menjaga aliran bola dengan umpan-umpan pendek, dan yang pasti, tetap menjadi pengatur serangan dengan umpan-umpan kunci dan pergerakan tanpa henti.
Meski saat itu perannya sedikit goyah akibat keberadaan Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, Deco mampu cari alternatif lain dengan menciptakan duet maut bersama Ronaldinho. Duetnya besama pria samba pun banyak mendapat sanjungan, tak terkecuali dari pelatih berpengalaman, Luis Felipe Scolari.
Semua kemampuan dan pengalaman yang dikumpulkannya sejak pertama kali menyepak bola membantunya sukses di Barcelona. Dua tahun sejak mengangkat tinggi Si Kuping Besar sebagai pemain Porto, Deco menjuarai Liga Champions Eropa bersama Blaugrana.
Setelah meniti karier cemerlang di Barcelona, Deco akhirnya bergabung dengan Chelsea. Meskipun berhasil mengantarkan Chelsea meraih beberapa trofi penting, seperti Liga Primer Inggris dan trofi Piala FA, Deco merasa tidak bahagia di London. Karena ketidakbetahannya, ia pun pergi meninggalkan London pada 2010 dan kembali ke Fluminense.
Satu yang paling diingat dari perjalanan Deco saat berseragam The Blues adalah ketika ia lesatkan tendangan jarak jauh melawan Portsmouth. Gol debut nya itu membuat David James tak berdaya. Selebrasi dingin dengan hanya mengangkat tangan kanannya, riuh penonton yang diiringi dengan pelukan hangat rekan setimnya, membuat Deco sukses menunjukkan kualitasnya di tanah Britania.
Di Fluminense, atau tepatnya pada tahun 2013 setelah tiga tahun manapakkan kaki di Estadio das Laranjeiras, Deco resmi akhiri masa kerjanya sebagai seorang pesepakbola profesional. Total selama menyepak si kulit bundar, Deco sudah mencetak 44 gol dan 87 asis dari 381 penampilan.