Hamit dan Halil Altintop. Siapa yang tak kenal dengan saudara kembar keturunan Jerman-Turki ini. Hamit dan Halil merupakan mantan pesepakbola yang putuskan pensiun pada 2018 lalu.
Diatas lapangan, Hamit maupun Halil akan selalu dikenang sebagai pelengkap istimewa dalam saudara kembar yang pernah mewarnai sejarah persepakbolaan dunia.
Hanya berselisih 10 menit saat lahir pada 8 Desember 1982, Hamit dan Halil Altintop memiliki kegemaran yang sama, yaitu bermain sepak bola. Mantan pemain tim nasional Turki kelahiran Jerman tersebut juga memilih posisi yang sama di lapangan, yakni gelandang.
Meski kembar indentik, bukan berarti keduanya tidak serius saat berhadapan di lapangan. Sejumlah pertandingan Bundesliga yang mempertemukan kedua putra keturunan imigran Turki di Jerman itu menjadi bukti. Tidak jarang, Hamit melakukan tekel keras kepada Halil. Begitu pula Halil tidak pernah membiarkan Hamit leluasa membawa bola di kaki. Mereka melakukannya karena tuntutan profesi.
Meski merupakan saudara kembar, Hami dan Halil tetap memiliki sisi perbedaan. Rupa keduanya sangat mirip, hanya dibedakan dari gaya rambut dan perbedaan tinggi badan sebanyak 2cm. Tapi dari prestasi, apa yang ditorehkan Hamit lebih membanggakan dibanding Halil.
Ya, Hamit memiliki perjalanan karier yang jauh lebih sukses dari Halil. Hamit terkenal sebagai legenda hidup Turki yang menorehkan sejumlah prestasi mentereng. Ia juga disegani sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dihasilkan Turki selain Arda Turan, Emre Belozoglu, dan Okan Buruk.
Perbedaan Hamit dan Halil juga dikatakan oleh Hannes Bongartz, pelatih yang pernah menangani keduanya di akademi SG Wattenscheid. Bongartz menyoroti gaya permainan Hamit dan Halil yang sangat kontradiktif.
Hamit sangat kuat dalam bertahan, seorang petarung lapangan yang agresif, dan secara alami terlahir sebagai pemimpin. Sementara itu Halil lebih baik dalam hal teknik, tenang, pintar, dan selalu ingin mencetak gol.
Hamit memang lebih defensif. Ia secara natural bermain sebagai gelandang bertahan. Walau begitu ia juga fleksibel, bisa ditempatkan sebagai gelandang serang, gelandang sayap, bahkan bek sayap. Sang adik jauh lebih ofensif. Posisinya gelandang serang, gelandang sayap atau penyerang.
Hamit dan Halil memulai karier profesional dengan memperkuat klub lokal Jerman, Wattenscheld 09. Tiga musim membela Wattenscheld, keduanya berpisah. Hamit memilih bergabung dengan Schalke 04 dan Halil memilih FC Kaiserslautern. Mereka lalu bersatu pada 2006 saat Halil menerima ajakan Hamit untuk membela Schalke, yang merupakan klub tempat kelahiran, Gelsenkirchen.
Sayang, kebersamaan keduanya dalam satu tim tidak berlangsung lama. Pada 2007, Hamit memiliki karier yang terus melejit. Akibatnya, dia dipinang klub raksasa Bundesliga, Bayern Muenchen. Sementara Halil bermain di Schalke empat tahun sebelum hijrah ke Eintracht Frankfurt, Trabzonspor, FC Augsburg, Slavia Praha, sebelum akhirnya kembali ke Kaiserslautern sekaligus mengakhiri karier profesionalnya.
Disisi lain, setelah memenangkan Bundesliga dan DFB-Pokal dua musim berturut-turut, Hamit pindah ke raksasa Spanyol, Real Madrid, pada musim panas 2011. Hanya setahun di sana, ia memenangkan gelar juara La Liga. Namun karena kesempatan bermainnya sangat terbatas, pemain kelahiran 8 Desember 1982 ini pun memutuskan bergabung dengan Galatasaray pada musim panas 2012.
Dengan biaya transfer 3,5 juta euro, Hamit menjadi pemain penting bagi skuat Galatasaray yang memenangkan dua gelar Liga Super Turki, yaitu 2012/2013 dan 2014/2015. Setelah kontraknya habis, ia pun kembali ke Jerman untuk bergabung bersama Darmstadt 98, sebelum akhirnya pensiun di klub tersebut.
Tak hanya di level klub, seperti yang sudah disinggung diawal, Hamit merupakan legenda bagi rakyat Turki. Ia sukses membawa Turki ke semifinal Piala Eropa 2008. Salah satu aksinya yang takkan dilupakan warga Turki adalah mencetak gol di perempat-final melawan Kroasia. Hamit mencetak gol ketiga untuk membawa Turki menang 3-1.
Sayang, di semifinal melawan Jerman, keberuntungan tak berpihak kepada anak-anak Turki.
Meski demikian, prestasi itu sudah menjadi torehan terbaik Turki setelah juara tiga Piala Dunia 2002. Hamit juga terpilih ke dalam “Team of the Tournament” versi UEFA. Tak hanya di situ saja Altıntop sulung ini mengharumkan nama negerinya. Ia juga memenangkan Puskas Award pada tahun 2010. Golnya melalui tendangan voli melawan Kazakhstan pada bulan September 2010 di ajang kualifikasi Piala Eropa 2012, terpilih menjadi gol terbaik dunia versi FIFA.
Dan lagi, sang adik tak mampu menyaingi prestasi kakaknya di level timnas. Halil tercatat hanya tampil sebanyak 38 kali saja. Selain itu, Halil juga tak pernah merasakan tampil di turnamen internasional penting, seperti Piala Dunia dan Piala Eropa.
Halil sendiri menyadari bahwa kariernya tak sebaik karier sang kakak. Menurutnya, salah satu alasan yang membuat perbedaan kariernya ini adalah ia tak seberuntung Hamit yang pernah dilatih Jupp Heynckes di Schalke. Bahkan bisa dibilang Hamit merupakan didikan akademi Schalke, satu angkatan dengan Mesut Ozil. Sementara saat Halil direkrut Schalke, Hamit dan Halil dilatih oleh Mirko Slomka.
Halil memang tidak seperti Hamit yang pernah dilatih oleh pelatih-pelatih top. Selain Heynckes, Hamit pernah juga ditangani oleh Ottmar Hitzfield, Juergen Klinsmann, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Fatih Terim, Roberto Mancini hingga Cesare Prandelli.
Walaupun begitu, Halil tak pernah iri pada sang kakak. Pertempuran diatas lapangan hanya soal profesionalitas. Sementara persaudaraanya, akan selalu menjadi sebuah prioritas.