Pelatih menjadi salah satu komponen utama dari terbentuknya sebuah tim luar biasa. Jika tidak ada pemikir dibalik layar, bisa dipastikan, para pemain sehebat apapun akan berjalan tanpa arah.
Oleh sebabnya, seorang yang duduk di kursi panas sebuah tim haruslah punya kinerja dan pengalaman yang tak sembarangan. Biasanya, mereka yang menjadi juru racik tim telah mengarungi deretan perjalanan panjang. Dari mulai menjadi pelatih, hingga pernah bekerja sebagai asisten para manajer kelas dunia.
Dengan persyaratan semacam itu, setidaknya, mereka yang putuskan terjun kedalam dunia kepelatihan sudah memiliki bekal utama untuk duduk diatas para pemain asuhannya.
Namun begitu, era sekarang tidaklah kaku. Kembali ke sebuah alasan mengapa pelatih adalah jenis profesi yang membutuhkan kecerdasan. Lebih dari itu, mereka juga membutuhkan penghormatan dari orang-orang yang dilatih. Itulah sebabnya mereka cenderung menjadi pihak yang dituakan.
Namun ada beberapa kasus yang menyalahi kebiasaan tersebut. Salah satunya adalah Julian Nagelsman. Saat resmi dikontrak oleh Hoffenheim pada tahun 2016 lalu, ia masih berusia 29 tahun. Tidak banyak yang diharapkan, karena saat itu, tim yang mengontraknya hanya meminta Nagelsman untuk menjadi “bapak” dari para pemain agar tidak kehilangan arah.
Nama Nagelsman tak pernah bersinar sebagai pemain. Ia bahkan hanya mentok membela kesebelasan FC Augsburg.
Sebetulnya, Nagelsman memiliki mimpi untuk menjadi seorang pemain hebat. Namun mimpinya hancur berkeping-keping setelah terkena masalah cedera.
Diceritakan saat masih aktif sebagai pemain, tim dokter menyatakan kalau dirinya memiliki masalah serius pada ligamen. Berminggu-minggu ia menjalani perawatan, tapi kondisi sudah tidak memungkinkan. Ketika Nagelsmann membutuhkan dorongan motivasi dari keluarga dan orang-orang terdekat, ayahnya justru meninggal dunia.
Pelatih yang sejak umur 15 tahun memutuskan hijrah ke Berlin untuk mendapatkan pengalaman sepak bola lebih besar itu lantas mencoba menjauh dari hiruk pikuk sepak bola.
Pada saat dirinya tengah menikmati kesendirian, tawaran datang dari 1860 Munich, yakni menjadi asisten pelatih U-17. Tanpa ragu, ia mengambil kesempatan tersebut.
Sejak saat itu, perjalanan hebatnya dimulai!
Setelah resmi berpaling ke dunia kepelatihan, setapak demi setapak, ia lalu menangani tim muda Hoffenheim di berbagai kelompok umur. Ia banyak menyerap ilmu dari para senior yang ditemuinya.
Di tim junior Hoffenheim, Nagelsman sukses membawa armadanya menjadi juara Bundesliga U-19, dan dua kali rajai Bundesliga South/Southwest U-19.
Ia pun mulai tangani tim senior pada 2013 saat berusia 25 tahun. Kala itu, ia bertindak sebagai asisten Frank Kramer yang jadi pelatih interim. Ia lalu kembali sebagai pelatih tim junior. Tiga tahun kemudian, Hoffenheim mempercayakan kursi pelatih tim utama kepadanya.
Ia memahami betul perbedaan antara melatih bocah akademi dan melatih para pemain profesional. Di akademi, ia menekankan unsur pendidikan demi masa depan mereka. Di tim utama, ia menangani para pemain dewasa yang sudah tahu apa yang harus dituju dan dilakukan. Semua pemain mendengarkannya meski ada beberapa pemain yang berusia lebih tua.
Saat itu, Nagelsman ditunjuk untuk menggantikan posisi Huub Stevens yang memilih mundur karena masalah jantung. Tugas berat langsung dibebankan pada Nagelsman. Kala itu, tugas pertamanya adalah meloloskan klub dari jurang degradasi. Yang lebih buruk, Nagelsman hanya punya 14 pertandingan tersisa.
Namun ia menjawab berbagai tantangan dengan cukup baik. Impresi awalnya dimulai saat klub berhasil menahan imbang Werder Bremen dalam pertandingan debut. Saat menjamu Mainz, Nagelsman bahkan sukses membawa timnya meraih kemenangan.
Di pekan ke 23 saat berhadapan dengan Borussia Dortmund, Hoffenheim kalah dengan skor 1-3. Namun begitu, permainan ala Nagelsman seolah memberi sinyal bahwa mereka mampu lolos dari jurang degradasi.
Dengan segala perjuangan, Julian Nagelsman sukses tuntaskan misi sulit. Mereka lolos dari jurang degradasi dan meraup 23 poin dan bercokol di posisi 15 klasemen akhir.
Hasil itupun membuat nama Julian Nagelsman menjadi sorotan. Meski prestasinya tak terlalu mengagumkan, taktik yang digalakkan patut mendapat acungan jempol.
Menilik struktur sirkulasi bola Hoffenheim, terlihat ada pengaruh Pep Guardiola dan Thomas Tuchel. Namun, Nagelsman bermain jauh lebih vertikal dan tidak terlalu fokus pada bola-bola pendek.
Secara ringkas, Nagelsman penuh dengan eksperimen dan ide taktik, baik dalam fase menyerang maupun bertahan. Meski hingga saat ini dirinya masih terus mengembangkan taktik yang diusung, keberadaan Nagelsman dalam daftar pelatih termuda Bundesliga menjadi sinyal positif bahwa negara maju semakin membuka diri terhadap kehadiran generasi baru.
Pada musim 2016/17, prestasi Hoffenheim benar-benar meningkat di bawah asuhannya. Klub pujaan publik Wirsol Rhein-Neckar-Arena ini lalu finis di urutan keempat, dan lolos ke partai play-off menuju fase grup Liga Champions 2017/18.
Atas pencapaiannya itu, Nageslmann pun berhak atas penghargaan VDV-Manager of the season 2016/17 dan German Football Manager of the Year 2017.
Meski saat itu gagal lolos ke fase grup setelah tumbang di play off, Nagelsman membayar kekecewaan semua pihak yang berada di klub Hoffeinhem dengan sebuah prestasi, dimana ia berhasil membawa klub finis ketiga di klasemen akhir musim 2017/18, sehingga mereka lolos otomatis ke fase grup Liga Champions 2018/19.
Hal ini pun menjadi sebuah prestasi emas. Pasalnya Nagelsman menjadi pelatih pertama dalam sejarah klub yang mampu membawa tim lolos langsung ke fase grup Liga Champions Eropa.
Di usia yang baru menginjak 31 tahun, Nagelsman bahkan tercatat sudah menangani lebih dari seratus laga Bundesliga. Ia begitu menikmati kreasinya di kompetisi tertinggi Jerman.
Hingga tepat pada tahun 2019, Julian Nagelsman resmi ditunjuk sebagai pelatih RB Leipzig.
Di lembaran barunya sekarang, ia dipercaya untuk gantikan Ralf Rangnick yang kini menjabat Kepala Olahraga dan Pengembangan Red Bull GmbH. Sejauh ini, dengan materi pemain yang jauh lebih baik dari Hoffenheim, Leipzig mampu dibawanya menjadi tim yang terus bersaing dalam perebutan juara Bundesliga.
Nagelsman layaknya seorang seniman. Ia selalu memberi “rasa” dalam tim racikannya. Usia muda tak menghalanginya menjadi seorang pelatih hebat. Malah, ia semakin percaya diri untuk terus merintis kariernya menuju panggung juara.