Gianluigi Buffon yang lahir pada 28 Januari sekitar 41 tahun lalu telah menjadi satu nama yang mmebuat banyak orang mengidolakannya. Meski posisi kiper tak terlalu menjadi favorit, banyak anak-anak di dunia yang ingin menjadi seperti pahlawan Italia pada 2006 silam.
Sama halnya dengan anak-anak yang punya mimpi untuk menjadi jawara dunia, hasrat Buffon untuk menjadi seorang penjaga gawang juga tumbuh kala ia menonton pahlawannya semasa kecil dulu, Thomas N’kono.
Perlu diketahui, Buffon memulai kariernya bukan sebagai penjaga gawang. Dulu, ia adalah seorang gelandang. Namun kariernya berubah saat ia menyaksikan aksi heroik kiper Kamerun di Piala Dunia 1990, Thomas N’Kono.
N’Kono, sang idola, menjadi salah satu tipologi penjaga gawang sukses kala itu. Ia dikenal sebagai kiper atletis, dan agresif. Ia juga terbilang sebagai penjaga gawang atraktif, terutama ketika melakukan penyelamatan-penyelamatan. Ia seringkali meninju bola-bola umpan silang yang menghujam ke arah kotak penaltinya.
Berkat aksi gemilang sang kiper itulah, Buffon bermimpi untuk main di Piala Dunia bersama Italia sebagai penjaga gawang.
Setelah resmi berposisi sebagai penjaga gawang, Buffon memegang teguh janjinya kepada diri sendiri. Ia terus berlatih keras dan mencoba untuk tidak merasa takut, karena pada dasarnya, seorang kiper tidak boleh memiliki rasa takut.
Buffon memulai kariernya melalui akademi sepak bola muda di klub AC Parma pada 1991 di usia 15 tahun. Dia kemudian lulus dari tim junior pada tahun 1995. Buffon lalu memulai debut Serie A saat Parma melawan AC Milan pada 19 November 1995, dimana dalam pertandingan ini Parma berhasil menahan imbang Milan dengan skor 0-0.
Dari situlah, namanya mulai dipertimbangkan. Pasalnya, boleh dibilang Buffon menjadi pahlawan dalam laga melawan AC Milan yang notabene merupakan salah satu tim terkuat di Eropa.
Selama kiprahnya di Parma, Buffon melahap lebih dari 200 pertandingan, dan pada musim keempatnya di 1998/99, dia berhasil mengantar Parma menjadi juara Piala UEFA serta Coppa Italia.
Setelah puas berseragam I Gialoblu, Buffon menjadi salah satu pemain yang didatangkan Juventus di musim 2001/02 bersama rekan setimnya di Parma yaitu Lilian Thuram. Pada musim pertamanya dengan Juventus, Buffon menjadi langganan penjaga gawang utama di mana ia tampil dalam 45 pertandingan resmi.
Di Juventus, boleh dibilang menjadi perjalanan luar biasa bagi seorang Buffon. Ia banyak memenangkan gelar disana. Dan yang terpenting, ia tetap menjaga Si Nyonya Tua untuk terus berjalan meski sempat tersungkur ke kompetisi Serie B.
Namun, Buffon yang nampak sekarang tidak lahir dari perjalanan cemerlang. Ia mengaku sempat alami depresi akut dan gangguan mental serius.
Buffon sempat berfikir mengapa ia menjadi seorang pesepakbola. Ia yang dulunya menganggap pemain sepakbola sebagai superhero, seketika berfikir bahwa mimpinya salah.
Ia merasa sebagai seorang pria biasa. Dan faktanya, ia memang menjalani hari-hari seperti robot. Tekanan profesi hingga rutinitas layaknya didalam penjara, semua itu terus dirasakan oleh seorang Buffon.
Dan suatu ketika, rutinitas yang dianggapnya banyak memberi tekanan itu berubah menjadi mimpi buruk. Suatu pagi, saat akan pergi latihan, ia merasakan kakinya bergetar hebat. Buffon merasa sangat lemah dan bahkan untuk mengendarai mobil pun sulit.
Awalnya, Buffon merasa bahwa itu adalah efek kelelahan. Namun setibanya di tempat latihan, keadaan semakin buruk. Saat latihan, satu penyelamatan saja sangat sulit ia ciptakan. Hal itu bahkan berlangsung selama kurang lebih tujuh bulan.
Buffon sulit menemukan sukacita dalam sepakbola yang dulu sangat diidamkannya.
“Jika kalian menjalani hidup tanpa nilai dan hanya memikirkan sepak bola, hidup kalian akan mulai layu. Akhirnya, kalian akan merasa tertekan bahkan sampai tidak ingin meninggalkan tempat tidur,” tutur Buffon (dikutip dari Joe).
Perasaan tertekan itu semakin menjadi kala ia hijrah dari Parma ke Juventus pada tahun 2001 lalu. Status sebagai kiper termahal dan bermain untuk salah satu klub terbesar Liga Italia membuatnya merasa sangat tertekan.
Tepat di tahun 2005, atau musim keempatnya bersama Juventus, Buffon merasa dalam titik terendah dalam hidupnya.
Buffon yang tidak disebutkan alasannya mengaku mendapat kepanikan hebat jelang laga melawan Reggina diajang Liga Italia. Ia merasa jauh dalam lingkungan dan merasa dalam kesendirian jelang turun dilaga tersebut.
Beruntung, Buffon mampu tampil apik meski ia mengaku ada “topeng” dibalik semangatnya kala itu. Juventus berhasil menang dengan skor 1-0 dan ia masih bertanya-tanya, mengapa perasaan aneh itu datang disaat yang tidak tepat.
Pasca laga tersebut, Buffon mencoba untuk menyebuhkan kecemasannya dengan hal diluar dugaan. Ia pergi ke galeri seni di Turin dan merasa jatuh cinta dengan lukisan karya Chagall, berjudul ‘La Passeggiata’.
Ia merasa bahwa hal-hal kecil dapat membantunya untuk menikmati hidup. Dari hal kecil berupa lukisan, Buffon merasa lebih baik hingga hal tersebut dilakukannya secara rutin.
Namun tetap saja, satu hal yang membuatnya merasa lebih baik adalah sepakbola. Ia pun tak mengelak bahwa sepak bola lah yang menyelamatkan hidupnya.
“Sepak bola mengajarkan bagaimana caranya meyakinkan diri bahwa kalian adalah seseorang yang spesial,” tandas Buffon (dikutip dari theplayerstribune).
Berhasil keluar dari keterpurukan, Buffon yang telah menjadikan sepakbola sebagai hal yang amat istimewa mampu meraih banyak kebahagiaan. Ia meraih kesuksesan bersama Juventus dan juga timnas Italia.
Bersama Juventus, Buffon sukses meraih sembilan gelar scudetto Serie A Italia dan empat trofi Coppa Italia. Di level internasional, ia merupakan anggota timnas Italia saat meraih gelar juara Piala Dunia 2006.