Dua mantan pesepakbola asal Inggris, Jamie Carragher dan Gary Neville, pernah berkata bahwa tidak banyak para pemain muda yang becita-cita untuk menjadi seorang bek kanan. Posisi itu dianggap tidak menarik dan kepentingannya sering diabaikan. Akan tetapi, di Brasil, tempat dimana banyak bakat sepakbola tumbuh, memiliki cerita berbeda tentang posisi seorang bek kanan.
Sejak mendapat reputasi sebagai negara penghasil bakat alami paling konsisten, Brasil terus melahirkan pemain-pemain dengan kualitas tinggi. Di era 1970-an, Carlos Alberto membuat sisi kanan Tim Samba lebih hidup. Dan yang terbaru, nama-nama seperti Maicon hingga Dani Alves menjadi bukti bahwa Brasil dan posisi bek kananya tak pernah habis termakan zaman.
Tentu, dari sekian nama populer itu, ada pemain yang keberadaannya tak boleh disingkirkan. Dia adalah Marcos Evangelista de Morais, atau yang lebih akrab dipanggil dengan nama Cafu. Cafu menjadi satu bakat Timnas Brasil paling ikonik. Dirinya cepat dan kerap berpetualang ke sisi pertahanan lawan.
Tim Nasional Brasil memainkan pertandingan kedua mereka di Piala Dunia 1970. Selecao menghadapi Inggris di Guadalajara. Sekitar 7.836 km ke arah tenggara, di Sao Paulo, seorang bocah bernama Marcos Evangelista de Morais lahir.
Brasil memenangi pertandingan melawan Inggris 1-0. Empat pertandingan setelahnya mereka menangi pula. Sang bocah tumbuh dari hari ke hari. Brasil meraih gelar juara dunia mereka yang ketiga. Dan sang bocah mendapat nama panggilan Cafu.
Cafu tidak bisa dipisahkan dalam sejarah impresif timnas Brasil. Selama itu, pria kelahiran 7 Juni 1970 tersebut tampil sebanyak 142 pertandingan. Jumlah yang menempatkan Cafu sebagai pesepak bola yang paling sering membela Brasil di kancah internasional.
Kisah panjang Cafu berawal pada sebuah malam pada 12 September 1990. Cafu masih berusia 20 tahun pada saat itu. Namun usia muda tak menghalangi cafu untuk mendapat kepercayaan dari pelatih Brasil kala itu, Roberto Falcao. Cafu yang sebelumnya lebih sering dimainkan sebagai winger diplot untuk mengisi posisi bek kanan Selecao untuk tampil melawan Spanyol di Stadion Molinon, di Kota Gijon.
Kesempatan Cafu berseragam Brasil berakhir dengan indah. Ia tampil nyaris tanpa celah dan berhasil membawa tim membantai La Furia Roja dengan skor telak 3-0.
Sebagai pemain, Cafu dikenal sebagai pemain yang memiliki kecepatan luar biasa. Ia dikenal sebagai bek handal yang cerdas dan pandai memanfaatkan peluang. Ditopang kemampuan teknik, kedisiplinan, dan stamina prima, Cafu seakan jadi benteng yang amat sulit ditembus penyerang lawan.
Bak kereta ekspres, sama seperti julukannya yang didapat dari para fans Italia yang menyebutnya ‘Il Pendolino’, Cafu berlari begitu cepat namun tetap tenang dalam mencapai tujuan. Cafu selalu terlihat elegan saat menyusuri sisi pertahanan lawan. Kekuatan yang dimiliki ia mafaatkan untuk mempertahankan bola. Satu per satu lawan ia lewati hanya untuk sekadar mengirim umpan, atau bahkan mengarahkan langsung bola kedalam gawang.
Cafu memang salah satu pemain elit yang pernah dimiliki Brasil. Hal itu terbukti dengan lintasan yang pernah ia lewati sepanjang menyusuri karier sebagai pesepakbola profesional. Tak tanggung-tanggung, Cafu pernah mencicip tiga final Piala Dunia sekaligus.
Banyak pengamat berpendapat bahwa Cafu sebenarnya menyamai, bahkan telah melebihi torehan Pele. Legenda Brasil ini memang mengoleksi tiga Piala Dunia, yaitu pada edisi 1958, 1962 dan 1970. Namun, edisi 1962 bisa diperdebatkan karena sang legenda terkena cedera dan absen dari sisa turnamen itu, sehingga tak tampil di final 1962 melawan Cekoslowakia.
Ketika tampil di Piala Dunia 1994 untuk pertama kalinya, sama sekali tak terpikirkan bagi Cafu untuk menyamai prestasi sang legenda. Ia tampil di turnamen di Amerika Serikat tersebut setelah membantu Sao Paulo mejuarai Copa Libertadores dan Piala Interkontinental.
Perannya tak lebih dari pemain pengganti. Jika bukan karena Jorginho yang alami cedera, ia mungkin tak tampil di final. Sisanya merupakan sejarah, Cafu ikut serta mempertahankan clean sheet bagi Selecao sebelum mengalahkan Gli Azzurri lewat drama adu penalti.
Empat tahun berselang peran Cafu sama sekali berbeda. Ia sudah menjadi pemain utama. Di final, seperti di pertandingan-pertandingan lainnya, Cafu tampil sejak menit pertama. Hasil akhir Perancis 1998, walau demikian, berbeda dengan Amerika Serikat di tahun 1994. Cafu dan Brasil kalah tiga gol tanpa balas.
Kendati begitu, Cafu belajar banyak di kegagalan pada laga puncak tersebut. Sudah menjadi pilihan utama dengan usia yang semakin matang, Cafu membawa penampilan terbaiknya di Piala Dunia edisi 2002.
Bertindak sebagai kapten, ia memimpin rekan-rekannya membukukan kemenangan 2-0 yang mengesankan atas Jerman di Yokohama. Selecao pun resmi menjadi tim pengoleksi gelar Piala Dunia terbanyak sepanjang sejarah dengan lima trofi.
Cafu merasa berada di puncak dunia. Begitu tinggi sampai ia tak sungkan meminta Sepp Blatter dan Pele untuk membantunya memegangi meja pajang trofi Piala Dunia. Cafu naik, dan dengan bangga mengangkat trofi Piala Dunia.
Setelahnya, kiprah Cafu dalam dunia sepakbola masih terus berlanjut. Ia kembali bermain di Piala Dunia 2006. Tidak juara memang, karena pada saat itu Timnas Brasil harus terhenti di perempat final. Cafu kecewa, tapi tak menyimpan banyak penyesalan. Biar bagaimana, ia masih menjadi satu-satunya pemain yang bisa tampil di tiga final Piala Dunia secara beruntun.
Di level klub, pemain yang memulai karier di Sao Paulo ini juga merupakan legenda di Italia, di mana ia memenangkan Scudetto bersama AS Roma dan AC Milan.
Cafu mencicipi gelar Scudetto pertamanya pada tahun 2001, bersama Tim Serigala Roma. Enam musim berseragam Giallorossi, Cafu pindah ke Milan. Kiprah Cafu mencapai puncaknya saat membela il Diavolo Rosso. Setengah dekade merumput di San Siro, Cafu kembali mengangkat gelar Scudetto dan meraih trofi Liga Champions pertama dan satu-satunya pada tahun 2007.
Setelah puas arungi dunia sepakbola, Cafu, sang kereta super cepat, akhiri perjalanannya pada usia ke 39, atau tepat di tahun 2009.